Saatnya Membumikan Gerakan Literasi di NTT, Begini Caranya
Di balik potret keterbelengguan kultur yang stagnan, pemerintah tergerak hati, membuka mata, serta memperlebar ruang imajinasi
Oleh:Yandris Tolan
Alumnus Seminari Hokeng
POS KUPANG.COM - Pesatnya arus digitalisasi saat ini menjadi suatu ancaman serius bagi eksisnya budaya literasi. Tanpa kita sadari, arus globalisasi pun turut mereduksi berbagai tatanan nilai sosial yang terakumulasi dalam jenjang-jenjang pendidikan. Konsep pendidikan riil atau bersentuhan langsung dengan realitas semakin minim diadopsi oleh lembaga-lembaga pendidikan.
Di balik potret keterbelengguan kultur yang stagnan, pemerintah tergerak hati, membuka mata, serta memperlebar ruang imajinasi untuk mengedepankan budaya literasi sebagai sebuah wadah untuk menjawabi realitas-realitas batas yang tengah menuai polemik.
Terminologi literasi secara leksikal lebih merujuk pada konsep melek aksara. Memposisikan kemampuan membaca dan menulis sebagai satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Dalam dunia pendidikan, misalnya, gerakan literasi digalakan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang diterapkan dalam diri siswa-siswi di sekolah.
Literasi menjadi locus yang menampung hingga menjadi mediator bagi sekian banyak orang yang awalnya terbelenggu dalam kultur minus membaca kepada lingkup budaya yang gemar membaca dan terus membaca. Gerakan literasi penting dibumikan dalam dinamika kehidupan untuk memperkaya daya imajinasi manusia dalam mencari pengalaman eksistensialnya. Melalui literasi, kita terbantu untuk lebih dalam memahami bagaimana cara membaca dan menulis yang benar. Sebab membaca bukan sekedar mengeja kata-kata yang tertera di balik buku, melainkan merengkuh ikhtiar di balik kata-kata.
Menyikapi betapa penting dan urgen budaya atau gerakan literasi dalam dunia pendidikan, Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) cabang Flores Timur berinisiatif menggelar diskusi pendidikan di bawah tema yang kedengaran persuasif, "Gerakan Literasi Ciptakan Iklim Ilmiah di Flores Timur" yang berlangsung pada hari Senin, 19 Juni 2017 dan bertempat di Sekretariat Agupena Flotim. Forum diskusi ini mendatangkan para pembicara di antaranya, Gusty Richarno (Pemred MP Cakrawala NTT), Silvester Hurit (pengamat literasi), Wentho Eliando (jurnalis), serta moderator oleh Grace Grasella, mahasiswi yang menekuni kuliah Hubungan Internasional di Kampus Veteran Yogyakarta.
Sebagai salah satu anggota dalam forum diskusi, saya begitu terkesima menyimak catatan kritis para pembicara serta anggota diskusi lainnya. Menariknya lagi, momentum diskusi pendidikan ini pula dihadiri oleh Wakil Bupati Flores Timur, Agustinus Payong Boli selaku inspirator dan penasehat. Ada beberapa catatan penting yang hemat saya relevan untuk disampaikan kepada publik.
Saya menilai catatan-catatan penting tersebut layaknya suatu amunisi baru yang memiliki daya ledak yang mahadasyat. Menjadi suatu suguhan idealisme yang menarik dan merintis aneka jalan baru untuk membumikan gerakan dan budaya literasi di NTT dan di Kabupaten Flores Timur, khsusnya.
Gusty Richarno yang mendapat kesempatan pertama mengutarakan gagasan begitu memukau peserta diskusi lewat catatan empiris gerakan literasi yang membumi di sekolah-sekolah. Beliau tidak memandang gerakan literasi dari sisi yang kedengarannya konseptual atau teoritis tetapi yang ditekan adalah konsep praktis-aktual yang diadopsi ke dalam gerakan literasi.
Menurutnya, literasi adalah sarana demi kemajuan dunia pendidikan.Oleh karena itu, literasi harus membumi dalam prinsip dan konsep pendidikan yang bersinergi dan berkolaborasi secara efektif. Mutu dan kemajuan dunia pendidikan hanya bisa tercapai apabila keterampilan menulis dan ketekunan membaca menjadi prioritasnya.
Catatan dia seakan menstimulasi ruang imajinasi peserta saat itu. Menariknya, konsep mengenai actus dalam budaya literasi disempurnakan oleh Silvester Hurit (pengamat literasi). Retorika dan aura yang sekan menghipnotis suasana diskusi, beliau menampilkan satu sisi pemahaman yang unik atas gerakan literasi. Beliau coba memahami konsep literasi lewat suatu ilustrasi yang menghadirkan kultur-kultur klasik yang telah menyatu dalam jiwa dan relasi sosial kita.Baginya, literasi menjadi media yang mengantar orang untuk menjelajahi realitas kultur yang kadang sukar untuk dibaca.
Ilustrasi tenun ikat yang diuraikan saat itu menjadi bahasa sakral. Bahasa yang menggugah para peserta untuk sejenak menyelami lebih jauh tentang eksistensi tenun ikat yang kaya akan keterampilan. Sebab pada selembar tenun ikat tersimpan ribuan bahkan jutaan makna tentang perjuangan manusia dengan susah paya merangkai seni dalam keberagaman motif, tersimpan simbol dan tanda, makna kosmologi, arsitektur tradisional, sastra lisan, musikulitas dan jutaan ritual sakral.
Pengamat literasi ini mengakhiri catatannya lewat satu pertanyaan reflektif, pernahkan kita membaca wajah-wajah tenun ikat? Sebab bagi beliau, membaca adalah melihat itu dan mengekalkannya dalam tulisan.
Amanat dan petuah yang begitu menggugah nurani akhirnya disempurnakan lewat pernyataan Wentho Eliando (jurnalis). Membaca baginya bukan soal buku tetapi lebih kepada realitas secara umum. Budaya literasi yang diakomodir oleh Agupena Flotim harus bisa membantu siswa-siswi dalam dunia pendidikan untuk bisa membaca realitas.
Terlepas dari pandangan subjektif ketiga pembicara ini, peserta diskusi yang lain pun kritis membaca esensi literasi secara mendalam. Wakil Bupati Flores Timur, Agustinus Boli yang hadir sebagai penasehat dengan kritis membaca budaya dan gerakan literasi serta perkembangannya. Beliau menilai bahwa perjuangan Agupena Flotim dalam memfasilitasi berbagai gerakan literasi belum seberapa memberi gema baru. Akan tetapi, apresiasi penting ditujukan karena Agupena telah satu langkah lebih dekat yakni membawa budaya literasi untuk membaca realitas sosial. Tiga kata kunci yang diutarakan adalah soal bagaimana kita melihat,menganalisa, dan bertindak secara cermat dalam ruang gerak literasi.