BPK: Antara Suap dan Penodaan Integritas
Nilai integritas dan kredibilitas sebagai lembaga terhormat dan anti korupsi kini justru meninggalkan luka batin di
Bertitik tolak dari sejarah kelam di atas, kita bisa menyimpulkan peran dan esensi hukum yang diberlakukan dalam berbagai ranah kehidupan bisa mengubah definisi tentang suatu aksi yang awalnya bukan korupsi menjadi korupsi. Meminjam pemikiran John T.Noonan Jr, padahal sudah cukup pasti bahwa suap (bribe) merupakan model paradigmatik korupsi dan dipandang sebagai kejahatan besar, bahkan sejak ribuan tahun (Herry Priyono, ibid.p.202).
Hemat saya, model paradigmatik sebagaimana diutarakan John Noonan mengindikasikan kerangka berpikir dalam menjustifikasi esensi serta makna substantif dari suap yang merupakan juga bagian dari korupsi. Fakta suap yang melibatkan pihak BPK dan beberapa anggota Kementerian Desa turut menstimulasi aspek rasionalitas publik untuk berpikir kritis menggugat fenomena korupsi.
Sejarah seperti diutarakan di atas adalah satu dari sekian juta kasus suap di dunia yang belum termediasi ke ranah hukum. Dari dan melalui sejarah, saya mengajak pembaca untuk menilai kembali pengertian substantif dari korupsi.
Memahami Esensi Korupsi
Secara etimologis, kata korupsi berasal dari kata bahasa Latin, corruptio (tindakan atau kondisi busuk, rusak dan merosot), kata kerja corrumpere (merusak, membusukan, mencemarkan), sementara corruptor artinya perusak, pemerdaya, penyuap (baca: Kamus Latin-Indonesia disusun oleh K. Prent; dkk, 1969: p.200).
Dari pengertian etimologis kita secara sederhana mengartikan bahwa merusak atau kerusakan adalah deskripsi tentang fenomena kehancuran secara fisik (bentuk dan keutuhan). Gambaran aspek sosial tercermin dalam fenomen kerusakan dari kemurnian hakiki. Sementara secara moral bisa mengindikasikan suatu bingkai kehancuran soal integritas dan tatanan. Di sinilah, penodaan integritas atas suatu lembaga bisa terjadi.
Penodaan integritas persis terjadi ketika BPK yang dipandang santun sebagai lembaga terhormat terlibat dalam pelbagai aksi yang bertentangan dengan nilai moral. Penodaan integrtas kelembagaan terjadi karena BPK menjadi pelaku protagonis di balik aksi suap. BPK seolah-olah mereduksi esensi korupsi yang menjunjung tinggi nilai moral label atau kalim etis-normatif sekaligus. BPK seakan melegalkan tindakan yang seharusnya tidak terjadi secara moral.
Hal ini mengindikasikan bahwa lakon dramatis berupa suap yang melibatkan BPK tak jauh berbeda dengan kisah puluhan tahun silam sebagaimana dialami Amerika Serikat. Di satu sisi, kepekaan sosial yang ditunjukan BPK dalam menerima suap untuk memenuhi aspirasi Kemendes berupa Opini Wajar Tanpa Pengecualian secara moral tak dibenarkan. Di sisi yang lain, tindakan BPK telah melanggar hukum.
Dari peristiwa ini, kemudian muncul banyak pertanyaan guna mempersoalkan tentang fenomena korupsi. Ada pihak yang bertanya begini, mengapa orang yang melakukan pencopetan uang tidak dikategorikan sebagai koruptor? Sementara ada pejabat negara yang menggelapkan dana diklasifikasikan sebagai aksi korupsi?
Sembari menyimak pertanyaan di atas, saya berpikir bahwa pertama-tama kita penting membedakan tentang aksi koruspi yang lebih melibatkan integritas personal dengan korupsi yang melibatkan integritas secara kelembagaan tertentu. Berpijak pada esensi pertanyaan publik ini, saya bisa menilai keterlibatan BPK menerima suap adalah aksi korupsi yang menodai integritas kelembagaan.
Sebab BPK secara struktural kelembagaan memiliki badan hukum dan karenanya segala aksi yang bertentendsi korup dinilai imoral. Berkaitan dengan kasus suap yang melibatkan BPK saya menganjurkan agar negara tetap konsisten pada tata kelola hukum positif untuk menghukum secara bijak semua pelaku apabila terbukti bersalah. *