BPK: Antara Suap dan Penodaan Integritas

Nilai integritas dan kredibilitas sebagai lembaga terhormat dan anti korupsi kini justru meninggalkan luka batin di

Editor: Dion DB Putra
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
ilustrasi 

Oleh: Yandris Tolan
Tinggal di Desa Narasaosina, Adonara Timur

POS KUPANG.COM - Ibarat hujan sehari menghapus kemarau setahun. Itulah ungkapan yang sepatutnya dialamatkan kepada kinerja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saat ini. Segala usaha dan perjuangan hanya sia-sia dikenang rakyat kebanyakan.

Nilai integritas dan kredibilitas sebagai lembaga terhormat dan anti korupsi kini justru meninggalkan luka batin di benak publik. Serentak euforia publik dari Sabang hingga Merauke lantas bertanya, quo vadis Indonesia?

Kesejahteraan dan keadilan sosial yang menjadi harapan utama seluruh rakyat sedang dinodai suatu lakon korupsi yang dramatis. Sangat miris memang bila dibicarakan lebih komprehensif.

Baca: Auditor Utama Keuangan Negara III BPK, Rochmadi Saptogiri Resmi Jadi Tersangka yang Ditangkap KPK

Sebab ruang kritik yang tercipta di kalangan masyarakat luas adalah konsep irasionalitas dan nihilnya nilai etis-moral yang sejatinya menjadi dasar nurani untuk membendung segala bentuk ketamakan yang melekat dalam diri para anggota BPK serta jaringan lainnya.

Indonesia dalam beberapa pekan terakhir disibukkan dengan berbagai persoalan. Di balik suhu sosio-politis yang bertendensi memecah-belah, lagi dan lagi kita harus kembali berurusan dengan fenomena "suap" yang merupakan bias dari korupsi.

Berbagai media melansir berita yang meninggalkan nada kausalitas serta menyekap daya imajinasi publik ke arah tafsiran retoris. Suatu tanda tanya yang sejatinya tak harus dibicarakan sebab BPK menjadi role model serta pemeran utama dalam usaha menjaga stabilitas dan kredibilitas kelembagaan publik lainnya.

Baca: Auditor BPK yang Ditangkap KPK Belum Lapor LHKPN Sejak 2014

Pada ranah ini, BPK dan fakta suap hadir sebagai skandal yang mencederai dan menodai integritas kelembagaan di benak publik. Berhubungan dengan fakta suap yang melibatkan BPK, saya ingin mengajak pembaca untuk mendalami lebih jauh tentang esensi dan substansi suap sebagai bias dari tindakan korupsi.

Antusiasme publik menyoal fenomena suap yang melibatkan BPK dalam beberapa hari belakangan mengingatkan saya tentang suatu opini yang ditulis Herry Priyono, dosen dan Ketua Program Studi Magister Filssafat pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Dalam ulasannya, beliau coba mendeskripsikan bagaimana kronologi sejarah kelam tentang suap yang pernah terjadi di Amerika Serikat puluhan tahun silam.

Baca: Diduga Ada Kaitan dengan Ahok, Pejabat BPK yang Kena OTT KPK Punya Jejak Mengejutkan

Sebelum tahun 1977, tidak ada undang-undang yang melegalkan apakah suap yang dilakukan perusahan Amerika Serikat (AS) kepada para pejabat negara-negara lain untuk memenangi kontrak bisnis merupakan korupsi. Dikisahkan bahwa sampai pertengahan tahun 1977 "terungkap sedikitnya 400 perusahan AS menyuap para pejabat pemerintah lain dengan jutaan dollar untuk memenangi kontrk bisnis di luar negeri.

Matarantai skandal yang bermula dari kisah Watergate (17 Juni 1972) sampai praktik suap yang luas tersebut telah memicu penetapan undang-undang antikorupsi yang disebut Foreign Corrupt Practices Act, yang kemudian ditandatangani Presiden Jimmy Carter, 19 Desember 1977.

Sejak saat itu, segala bentuk suap yang dilakoni perusahan AS kepada para pejabat, perantara, dan pelaku bisnis untuk tujuan apa pun dikategorikan sebagai korupsi (baca: Herry Priyono, Menggeledah Korupsi, dalam Tuhan, Manusia, dan Kebenaran, F.Budi Hardiman (edt), 2016: p.201).

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved