Reba Diaspora dan Restrukturasi Keadaban Publik

Hasil yang menonjol tahun lalu adalah penggagalan penyelundupan 60 kg sabu dari Tiongkok yang disembunyikan

Editor: Dion DB Putra
Ist
Para penari tandak O Uwi pada acara pesta adat Reba Langa, di Kampung Namu, Desa Bela, Kecamatan Bajawa. Gambar diambil Rabu (15/1/2014) 

Oleh Dr. Watu Yohanes Vianey, M.Hum
Dosen Unwira Kupang

POS KUPANG.COM - Fenomena di awal tahun baru dewasa ini masih diwarnai oleh beberapa gejala dan kecemasan kebiadaban publik yang mempraktikkan tindakan-tindakan yang tidak etis dalam hubungan antarinsan di wilayah publik.

Pertama, fundamentalisme pasar dengan jaringan narkobanya. Mata kita terbuka misalnya ketika Polri (Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya) bahu-membahu membongkar berbagai modus penyelundupan sabu dan ganja.

Hasil yang menonjol tahun lalu adalah penggagalan penyelundupan 60 kg sabu dari Tiongkok yang disembunyikan di dalam mesin genset; pengiriman 1,6 ton ganja dari Aceh, serta pengiriman 20 kg sabu dari Malaysia (Kompas, 22 Desember).

Kedua, fundamentalisme agama, seperti yang diperankan oleh ISIS dan terorisme transnasionalnya. Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan terima kasih kepada Polri, yang menjaga ketertiban perayaan Natal dan Tahun Baru. Umat Kristiani (Katolik dan Protestan) yang mengungkapkan imannya bebas dari bahaya pemboman kaum teroris dan hanya terganggu dengan ucapan kebencian dari beberapa pihak, yang melecehkan Anak Allah Yang Mahatinggi (Lk 1:32).

Ketiga, fundamentalisme tubuh dengan fenomena pemalsuan obat dan vaksin. Untung Polri berhasil menggulung para penipu di sentra perdagangan obat di Pasar Pramuka dan pabrik obat palsu yang beromzet miliaran rupiah di Cakung, Jakarta Timur.

Semua kasus di atas memperlihatkan fakta kebiadaban tersebut. Manusia butuh pembaharuan semangat dan sikap hidup yang etis dalam berbisnis, beragama, bernegara, bermasyarakat, pada tahun yang baru 2017, di abad ke-21 dewasa ini.

Arti Reba
Pembaharuan semangat dan sikap hidup beradab, di awal tahun baru Masehi untuk orang Ngada (etnik Bajawa), baik di Kabupaten Ngada maupun yang berada di di kabupaten lain di seluruh Nusantara, biasa dirayakan dalam sebuah ritus siklus musim tahunan (reti siwa) yang disebut Reba.

Perayaan ini dirayakan di seluruh kampung tradisional orang Ngada setiap tahun. Perayaan ini diawali di Kampung Bena, Kecamatan Jerebu'u, dan di Kampung Watu, Kecamatan Inerie pada masa sesudah Natal (akhir Desember), dilanjutkan di Langa dan kampung-kampung sekitarnya di Kecamatan Bajawa pada pertengahan Januari, yang mirip dengan penanggalan perayaan Siwaratri (bdk. istilah `reti siwa') dalam tradisi Hindu transnasional. Perayaan Reba ini berakhir pada pertengahan Februari di Kampung Loga di Boba, Kecamatan Golewa Selatan dan juga di beberapa kampung tradisional lainnya yang merayakan pada bulan bersangkutan.

Apa itu Reba? Dari sisi botani, kata "reba" mengacu pada nama pohon yang hijau sepanjang tahun, yang juga menjadi tempat merambatnya tumbuhan "uwi" yang menjadi salah satu sumber pangan lokal dan juga menjadi tempat bertenggernya ayam-ayam kampung. Dari sisi asal-usul kata, kata ini kemungkinan besar terkait dengan kata Jawa Kuno/serapan Sansekerta, `rwa' = roh; jamak dari kata `arwah'. Karena secara substansial perayaan Reba ini kental dengan kenangan terhadap perjalanan genealogis dan perjalanan spiritual -moral -etika dari para leluhur dari komunitas masing-masing Woe dan Sa'o Ngaza.

Namun, secara kolektif, sebagaimana terungkap pada tuturan adat dan juga dalam teks-teks Misa Inkulturasi, dinyatakan bahwa leluhur orang Ngadha itu pada mulanya berasal dari Sina One. Secara geografis arti dari "Sina One" = `China bagian dalam'. Secara spiritual -moral -etika perspektif kajian budaya, "Sina One" artinya; sina = sinar ; one = ruang inti, ruang dalam. Makna kulturalnya "Sumber dan terang dari kedalaman Terang (spiritual)", "ada dan menjadi terang bagi sesama" (moral); dan cahaya keutamaan (etika). Apa warna cahaya keutamaannya?

Dalam dunia mistik Kabbala (Yudaisme) hitam adalah cahaya misterius sebagai nexus mystrioum dari Yang Mahamisteri, yang terkait dengan Yang Kekal, sebagai Asal Segala Terang (bdk. Yak 1:17) yang darinya terbit cahaya yang lain. Dengan demikian, cahaya yang lain seperti cahaya "merah" dan "kuning" adalah emanasi (pancaran) dari yang "hitam".

Dalam ungkapan diadik, Pata Dela menegaskan: Pu'u Sina Mite Olo Toro. Mite Mata Raga -Toro Papa Bhoko (`Berawal dari Cahaya Hitam Mendahului Merah. Seperti Hitam "Mata Raga" - Merah "Papa Bhoko'). Dalam tradisi kristiani, metafora "ada dan menjadi cahaya", yaitu dengan serius terlibat untuk menjadi terang dunia adalah salah satu isi warta dari Kotbah Yesus di Bukit (Mat 5-7).

Dia meminta para pendengar sabda-Nya untuk menjadi terang bagi sesama (Mat 5:13). Salah satu tanda dan sarananya adalah dengan jangan mencap orang lain atau melakukan ujaran kebencian pada sesama. Jangan mengatakan bahwa mereka adalah kafir dan jahil (Mat 5:22). Dalam tuturan Reba, tegas dinyatakan "ma'e mazi go ngaza ngata" (`jangan memfitnah sesama manusia').

Reba Diaspora dan Restrukurasi Keadaban Publik
Reba diaspora adalah perayaan Reba yang dilakukan oleh komunitas etnik Bajawa di luar Kabupaten Ngada dan kampung tradisionalnya, seperti di Kupang dan Jakarta. Masih ada perdebatan tentang pantas dan tidaknya perayaan itu dilakukan di luar dari tata ruang adat istiadat seperti di kampung-kampung tradisional di Ngada. Karena itu di Kupang, para pegiat Reba Diaspora itu menggantinya dengan istilah `Syukuran Reba".

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved