Baliho dan Interpersonal Communication Campaign
Media komunikasi kasat mata seperti baliho mengundang hasrat orang. Transparansi
Kedua, slogan-slogan politik yang pragmatis. Dalam arti banyak yang mendesain pesan politiknya berpihak pada kepentingan rakyat. Padahal intensitasnya tidak demikian. Mereka lupa bahwa jargon politik yang oportunis akan sulit mereka realisasikan.
Ketiga, penyederhanaan komunikasi politik. Dalam bentuk memperalat baliho sebagai pasar politik (political marketing). Dalam hal ini bisa saja rekam jejak sebagai penguji minus malum kandidat dianggap kurang penting. Di sini, kata-kata manis, lip service, kandidat bisa saja melampaui pengabdian sosial kandidat pada masyarakat.
Keempat, di tengah pencarian masyarakat yang belum mengenal calon seutuhnya, baliho bisa saja hanya menjadi political brand (kemasan) politik. Kemasan yang dipandang sebagai yang indah dan dapat diterima ketimbang kerja dan pelayanan sosial kandidat terhadap masyarakat.
Kandidat yang mengenal, peka dan tahu kebutuhan masyarakat bisa saja menjadi pihak yang kurang atraktif kalau brand balihonya kurang menarik. Bahkan brand politik bisa saja mengalahkan realitas dan rasionalitas perpolitikan.
Multitafsir terhadap Baliho
Efektivitas kehadiran baliho pada masa kampanye modern tak bisa dinegasikan. Dalam ranah politik praktis tampilan baliho-baliho menjadi media komunikasi yang membahasakan pesan-pesan politik-singkat, padat tapi belum tentu jelas. Jargon atau slogan politik yang dibahasakan secara singkat sebagai motto membutuhkan sebuah artikulasi yang lebih jelas untuk semua kalangan.
Uniformitas pesan politik pada baliho untuk masyarakat pada seluruh level dan tingkatan pendidikan kadang mencirikan kefatalan pesan komunikasi. Artinya, para kandidat kurang peka terhadap karakteristik massa pendukungnya.
Perbedaan interpretasi pesan politik yang dibahasakan oleh massa pendukung pun berbeda. Antara massa pendukung yang mengedepankan ratio dan massa pendukung yang menginterpretasi secara emosional. Tentunya juga berdasarkan tingkat pendidikan. Tidak dielakkan ada kesalahanpahaman publik dalam berbagai multitafsir terhadap political message yang mau menjangkau publik.
Seting pembuatan baliho, sebagai misal, kadang tidak dibuat berdasarkan situasi sosial, emosi, kehendak politik dan preferensi calon pemilih. Dapat dipantau pula bahwa baliho-baliho lahir dari perspektif fotografer. Juga kriteria dan kehendak politik kandidat. Dengan demikian, misalnya, sosok kandidat tetap tersenyum meskipun massa pendukung mengalami kedukaan. Mungkin juga menangis sedih dan kesal atas calon.
Baliho jelas memiliki stimulasi sosial seperti magnet yang mengundang hasrat dan daya tarik pada publik. Dengan demikian baliho-baliho memiliki ukuran yang besar sehingga menarik perhatian pemilih juga lebih besar. Jangka waktu pemasangan yang lama sampai pada hari H juga menciptakan efek perhatian tinggi.
Komunikasi politik baliho yang memiliki kekurangan dan menciptakan multitafsir tetap memiliki peran dan membawa political awareness (kesadaran politik) pada masyarakat. Dalam arti bahwa pemilih yang memiliki hak pilih (Wahlrecht ) bisa saja dengan sadar memilah calon dari sekian banyak calon dan dari sekian visi-misi mereka pada baliho-baliho yang ada.
Interpersonal Communication Campaign
Menjadi calon pemimpin masa depan memang tidak hanya bisa diekspresikan dengan pencitraan diri yang instan lewat baliho-baliho jelang pemilihan. Dalam pengertian komunikasi yang sebenarnya, komunikasi diri yang jujur, face to face communication memiliki efek yang penting terhadap seorang calon pemimpin. Termasuk mengenal rekam jejak dan track record sosialnya terhadap masyarakat. Entah itu calon pemimpin yang sudah lama dikenal oleh masyarakat, juga calon-calon pemimpin yang baru mulai dikenal.
Komunikasi diri yang jujur akan mendukung kampanye melalui media sosial seperti baliho. Suplementasi komunikasi diri yang jujur memboboti pencitraan diri dalam media (Bdk, Lazarrsfeld dan Merton, Kotler 1989). Komunikasi dari muka ke muka, juga dari hati ke hati membahasakan diri dengan yang lain menjadi sumber kekuatan untuk memimpin.
Kandidat-kandidat perlu menjadikan face to face campaign ini sampai pesta demokrasi tiba sebagai alat peraga politik yang simpatis, baik secara pribadi maupun dengan tim sukses. Tentunya dengan retorika dan narasi yang bisa menarik perhatian dan simpati masa pendukung. Dalam perspektif sosial, semuanya juga didukung oleh citra diri yang jujur yang dikenal oleh masyarakat sekitarnya.
Pada hari pemilihan toh rakyat yang menentukan. Mereka yang akan memilih. Tapi para kandidat tetaplah tersenyum secara jujur dalam berkampanye. Senyum yang memberikan kegembiraan sosial terhadap rakyat. Senyum yang memberikan diri secara pribadi pada rakyat pemilih. Bukan saja tersenyum seperti pada baliho, tapi senyum jujur yang tidak menciptakan kegenitan sosial yang memalukan. Selamat berkampanye sampai pada hari pemilihan.*
