Baliho dan Interpersonal Communication Campaign
Media komunikasi kasat mata seperti baliho mengundang hasrat orang. Transparansi
Oleh Gabriel Adur, SVD
Pemerhati Masalah Sosial Politik, Tinggal di Belanda
POS KUPANG.COM - Kehadiran baliho mencirikan tata cara perubahan media komunikasi politik dan berpolitik. Sebuah tata cara baru berkomunikasi para kandidat dengan masyarakat mulai dari pilih anggota legislastif, pilih bupati dan wakil bupati sampai pemilihan Presiden. Sebuah transparansi politik? Baliho menjadi media komunikasi outdor (eksternal) yang sudah menebarkan kesemarakannya sejak pilih caleg tahun 2009. Kehadirannya menjadi alat peraga kampanye yang mengundang banyak simpati dari rakyat.
Media komunikasi kasat mata seperti baliho mengundang hasrat orang. Transparansi kehadirannya siang dan malam menjadi sahabat kehidupan masyarakat. Di daerah Manggarai (Tengah) baliho-baliho terpasang mulai dari Kota Ruteng sampai di pelosok-pelosok.
Terlihat pada jalur jalan yang beraspal sampai di pematang sawah dan kebun rakyat. Memenuhi tiang-tiang listrik, tembok perumahan dan pertokoan. Bahkan pondok rakyat yang reyot karena tidak bisa diperbaiki juga menjadi tempat singgahnya. Mereka mampu bersaing dengan iklan-iklan dari berbagai produk sabun, pakaian, shampo, rokok sampai iklan motor dan mobil.
Senyum: Sebuah Ibadah
Senyum dan slogan politik dari para kandidat yang tertulis dengan indah dan rapi membedakan baliho politik dengan iklan-iklan produk. Penyampaian slogan politik secara elegan dipadukan dengan senyum manis calon bupati dan wakil bupati.
Senyuman pada baliho menjadi sebuah sapaan awal terhadap rakyat sekaligus mengundang untuk mengenal keduanya sebagai pemimpin masa depan. Senyum adalah bahasa non verbal yang mengajak simpatisan untuk membangun hasrat menjejaki siapa mereka. Tentu ada harapan bahwa mereka mampu membawa masyarakat ke masa depan yang lebih baik.
Dengannya senyuman pada baliho kandidat-kandidat menghiasi dan mewarnai kehidupan rakyat. Tak mengenal waktu. Siang dan malam. Baik hujan maupun di saat gemuruh angin menghantui kehidupan. Semuanya tetap tersenyum di saat rakyat sedang berduka karena kelaparan dan nasib yang tak menentu, juga pada saat mereka berbahagia.
Setiap senyuman mengekspresikan suasana batin yang positif. Dengannya setiap senyuman memiliki kekuatan dari dalam diri manusia. Bahkan Santa Teresa memahami senyum sebagai ekspresi cinta kasih terhadap seseorang dan menjadi anugerah besar bagi orang yang menerima senyumanmu.
"Every time you smile at someone, it is an action of love, a gift to that person, a beautiful thing". Secara psikologis, menurut Marita R. Inglehart, senyum yang jujur memiliki dampak yang kuat terhadap interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Memberi bobot pada kepercayaan diri. Juga mampu menstimulasi persepsi orang terhadap orang lain.
Bagi setiap orang beriman, senyum merupakan sebuah anugerah yang murah untuk dibagikan kepada orang lain. Senyum akan menciptakan suasana kegembiraan dalam jemaat. Meski menjadi warna hidup di saat senang juga pada waktu-waktu sulit.
Senyum mengekspresikan nilai-nilai positif. Tanpa kata. Secara eksternal senyuman membahasakan hal-hal positif dalam diri setiap pribadi. Tapi bukan senyum sinis. Dengan senyuman yang jujur setiap orang menginvestasi kekuatan-kekuatan positif dalam dirinya kepada lingkungan sosial. Bayangkan kalau setiap orang tersenyum meski keadaan serba sulit, dunia akan damai.
Melampui Pencitraan Diri
Senyum para kandidat dalam konteks persaingan politik menuju takhta kekuasaan diharapkan menjadi sebuah manifestasi diri yang jujur. Artinya, sebagai pribadi yang betul-betul bertanggung jawab terhadap keinginannya menjadi pemimpin. Pencalonan diri menuju takhta kekuasaan, tetapi sekaligus berhasrat menjadi pelayan masyarakat.
Dalam konteks PILKADA, belajar dari berbagai pengalaman masa lampau, sistem merebut suara mayoritas dalam pemilihan yang tak lama lagi bisa saja menciptakan interpretasi lain akan kehadiran baliho-baliho para kandidat. Dalam arti, sistem suara terbanyak berisiko tinggi. Para kandidat menjadikan baliho sebagai iklan. Pengiklanan diri yang mengarah pada sebuah pencitraan diri an sich.
Interpretasi bebas seperti ini bukan tanpa alasan yang logis. Ketika mata kita beradu dengan senyum kandidat-kandidat, lalu otak kita menganalisa pesan-pesan dari slogan-slogan politik mereka. Ada beberapa hal yang urgen perlu menjadi bahan pembelajaran politik.
Pertama, pesan politik yang hampir sama kalau tidak mau dibilang nyaris seragam. Tidak banyak hal baru. Mungkin juga tanpa banyak makna yang menjadi model untuk mencerdaskan politik dalam kehidupan sosial.
Kedua, slogan-slogan politik yang pragmatis. Dalam arti banyak yang mendesain pesan politiknya berpihak pada kepentingan rakyat. Padahal intensitasnya tidak demikian. Mereka lupa bahwa jargon politik yang oportunis akan sulit mereka realisasikan.
Ketiga, penyederhanaan komunikasi politik. Dalam bentuk memperalat baliho sebagai pasar politik (political marketing). Dalam hal ini bisa saja rekam jejak sebagai penguji minus malum kandidat dianggap kurang penting. Di sini, kata-kata manis, lip service, kandidat bisa saja melampaui pengabdian sosial kandidat pada masyarakat.
Keempat, di tengah pencarian masyarakat yang belum mengenal calon seutuhnya, baliho bisa saja hanya menjadi political brand (kemasan) politik. Kemasan yang dipandang sebagai yang indah dan dapat diterima ketimbang kerja dan pelayanan sosial kandidat terhadap masyarakat.
Kandidat yang mengenal, peka dan tahu kebutuhan masyarakat bisa saja menjadi pihak yang kurang atraktif kalau brand balihonya kurang menarik. Bahkan brand politik bisa saja mengalahkan realitas dan rasionalitas perpolitikan.
Multitafsir terhadap Baliho
Efektivitas kehadiran baliho pada masa kampanye modern tak bisa dinegasikan. Dalam ranah politik praktis tampilan baliho-baliho menjadi media komunikasi yang membahasakan pesan-pesan politik-singkat, padat tapi belum tentu jelas. Jargon atau slogan politik yang dibahasakan secara singkat sebagai motto membutuhkan sebuah artikulasi yang lebih jelas untuk semua kalangan.
Uniformitas pesan politik pada baliho untuk masyarakat pada seluruh level dan tingkatan pendidikan kadang mencirikan kefatalan pesan komunikasi. Artinya, para kandidat kurang peka terhadap karakteristik massa pendukungnya.
Perbedaan interpretasi pesan politik yang dibahasakan oleh massa pendukung pun berbeda. Antara massa pendukung yang mengedepankan ratio dan massa pendukung yang menginterpretasi secara emosional. Tentunya juga berdasarkan tingkat pendidikan. Tidak dielakkan ada kesalahanpahaman publik dalam berbagai multitafsir terhadap political message yang mau menjangkau publik.
Seting pembuatan baliho, sebagai misal, kadang tidak dibuat berdasarkan situasi sosial, emosi, kehendak politik dan preferensi calon pemilih. Dapat dipantau pula bahwa baliho-baliho lahir dari perspektif fotografer. Juga kriteria dan kehendak politik kandidat. Dengan demikian, misalnya, sosok kandidat tetap tersenyum meskipun massa pendukung mengalami kedukaan. Mungkin juga menangis sedih dan kesal atas calon.
Baliho jelas memiliki stimulasi sosial seperti magnet yang mengundang hasrat dan daya tarik pada publik. Dengan demikian baliho-baliho memiliki ukuran yang besar sehingga menarik perhatian pemilih juga lebih besar. Jangka waktu pemasangan yang lama sampai pada hari H juga menciptakan efek perhatian tinggi.
Komunikasi politik baliho yang memiliki kekurangan dan menciptakan multitafsir tetap memiliki peran dan membawa political awareness (kesadaran politik) pada masyarakat. Dalam arti bahwa pemilih yang memiliki hak pilih (Wahlrecht ) bisa saja dengan sadar memilah calon dari sekian banyak calon dan dari sekian visi-misi mereka pada baliho-baliho yang ada.
Interpersonal Communication Campaign
Menjadi calon pemimpin masa depan memang tidak hanya bisa diekspresikan dengan pencitraan diri yang instan lewat baliho-baliho jelang pemilihan. Dalam pengertian komunikasi yang sebenarnya, komunikasi diri yang jujur, face to face communication memiliki efek yang penting terhadap seorang calon pemimpin. Termasuk mengenal rekam jejak dan track record sosialnya terhadap masyarakat. Entah itu calon pemimpin yang sudah lama dikenal oleh masyarakat, juga calon-calon pemimpin yang baru mulai dikenal.
Komunikasi diri yang jujur akan mendukung kampanye melalui media sosial seperti baliho. Suplementasi komunikasi diri yang jujur memboboti pencitraan diri dalam media (Bdk, Lazarrsfeld dan Merton, Kotler 1989). Komunikasi dari muka ke muka, juga dari hati ke hati membahasakan diri dengan yang lain menjadi sumber kekuatan untuk memimpin.
Kandidat-kandidat perlu menjadikan face to face campaign ini sampai pesta demokrasi tiba sebagai alat peraga politik yang simpatis, baik secara pribadi maupun dengan tim sukses. Tentunya dengan retorika dan narasi yang bisa menarik perhatian dan simpati masa pendukung. Dalam perspektif sosial, semuanya juga didukung oleh citra diri yang jujur yang dikenal oleh masyarakat sekitarnya.
Pada hari pemilihan toh rakyat yang menentukan. Mereka yang akan memilih. Tapi para kandidat tetaplah tersenyum secara jujur dalam berkampanye. Senyum yang memberikan kegembiraan sosial terhadap rakyat. Senyum yang memberikan diri secara pribadi pada rakyat pemilih. Bukan saja tersenyum seperti pada baliho, tapi senyum jujur yang tidak menciptakan kegenitan sosial yang memalukan. Selamat berkampanye sampai pada hari pemilihan.*
