Baliho dan Interpersonal Communication Campaign

Media komunikasi kasat mata seperti baliho mengundang hasrat orang. Transparansi

Editor: Dion DB Putra
SIMON PETRUS SELI TUPEN
Massa pendukung paket TABE menyaksikan kembang api pada kampanye perdana di Lapangan Umum Betun, Kamis (15/10/2015) 

Oleh Gabriel Adur, SVD
Pemerhati Masalah Sosial Politik, Tinggal di Belanda

POS KUPANG.COM - Kehadiran baliho mencirikan tata cara perubahan media komunikasi politik dan berpolitik. Sebuah tata cara baru berkomunikasi para kandidat dengan masyarakat mulai dari pilih anggota legislastif, pilih bupati dan wakil bupati sampai pemilihan Presiden. Sebuah transparansi politik? Baliho menjadi media komunikasi outdor (eksternal) yang sudah menebarkan kesemarakannya sejak pilih caleg tahun 2009. Kehadirannya menjadi alat peraga kampanye yang mengundang banyak simpati dari rakyat.

Media komunikasi kasat mata seperti baliho mengundang hasrat orang. Transparansi kehadirannya siang dan malam menjadi sahabat kehidupan masyarakat. Di daerah Manggarai (Tengah) baliho-baliho terpasang mulai dari Kota Ruteng sampai di pelosok-pelosok.

Terlihat pada jalur jalan yang beraspal sampai di pematang sawah dan kebun rakyat. Memenuhi tiang-tiang listrik, tembok perumahan dan pertokoan. Bahkan pondok rakyat yang reyot karena tidak bisa diperbaiki juga menjadi tempat singgahnya. Mereka mampu bersaing dengan iklan-iklan dari berbagai produk sabun, pakaian, shampo, rokok sampai iklan motor dan mobil.

Senyum: Sebuah Ibadah
Senyum dan slogan politik dari para kandidat yang tertulis dengan indah dan rapi membedakan baliho politik dengan iklan-iklan produk. Penyampaian slogan politik secara elegan dipadukan dengan senyum manis calon bupati dan wakil bupati.

Senyuman pada baliho menjadi sebuah sapaan awal terhadap rakyat sekaligus mengundang untuk mengenal keduanya sebagai pemimpin masa depan. Senyum adalah bahasa non verbal yang mengajak simpatisan untuk membangun hasrat menjejaki siapa mereka. Tentu ada harapan bahwa mereka mampu membawa masyarakat ke masa depan yang lebih baik.

Dengannya senyuman pada baliho kandidat-kandidat menghiasi dan mewarnai kehidupan rakyat. Tak mengenal waktu. Siang dan malam. Baik hujan maupun di saat gemuruh angin menghantui kehidupan. Semuanya tetap tersenyum di saat rakyat sedang berduka karena kelaparan dan nasib yang tak menentu, juga pada saat mereka berbahagia.

Setiap senyuman mengekspresikan suasana batin yang positif. Dengannya setiap senyuman memiliki kekuatan dari dalam diri manusia. Bahkan Santa Teresa memahami senyum sebagai ekspresi cinta kasih terhadap seseorang dan menjadi anugerah besar bagi orang yang menerima senyumanmu.

"Every time you smile at someone, it is an action of love, a gift to that person, a beautiful thing". Secara psikologis, menurut Marita R. Inglehart, senyum yang jujur memiliki dampak yang kuat terhadap interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Memberi bobot pada kepercayaan diri. Juga mampu menstimulasi persepsi orang terhadap orang lain.

Bagi setiap orang beriman, senyum merupakan sebuah anugerah yang murah untuk dibagikan kepada orang lain. Senyum akan menciptakan suasana kegembiraan dalam jemaat. Meski menjadi warna hidup di saat senang juga pada waktu-waktu sulit.

Senyum mengekspresikan nilai-nilai positif. Tanpa kata. Secara eksternal senyuman membahasakan hal-hal positif dalam diri setiap pribadi. Tapi bukan senyum sinis. Dengan senyuman yang jujur setiap orang menginvestasi kekuatan-kekuatan positif dalam dirinya kepada lingkungan sosial. Bayangkan kalau setiap orang tersenyum meski keadaan serba sulit, dunia akan damai.

Melampui Pencitraan Diri
Senyum para kandidat dalam konteks persaingan politik menuju takhta kekuasaan diharapkan menjadi sebuah manifestasi diri yang jujur. Artinya, sebagai pribadi yang betul-betul bertanggung jawab terhadap keinginannya menjadi pemimpin. Pencalonan diri menuju takhta kekuasaan, tetapi sekaligus berhasrat menjadi pelayan masyarakat.

Dalam konteks PILKADA, belajar dari berbagai pengalaman masa lampau, sistem merebut suara mayoritas dalam pemilihan yang tak lama lagi bisa saja menciptakan interpretasi lain akan kehadiran baliho-baliho para kandidat. Dalam arti, sistem suara terbanyak berisiko tinggi. Para kandidat menjadikan baliho sebagai iklan. Pengiklanan diri yang mengarah pada sebuah pencitraan diri an sich.

Interpretasi bebas seperti ini bukan tanpa alasan yang logis. Ketika mata kita beradu dengan senyum kandidat-kandidat, lalu otak kita menganalisa pesan-pesan dari slogan-slogan politik mereka. Ada beberapa hal yang urgen perlu menjadi bahan pembelajaran politik.

Pertama, pesan politik yang hampir sama kalau tidak mau dibilang nyaris seragam. Tidak banyak hal baru. Mungkin juga tanpa banyak makna yang menjadi model untuk mencerdaskan politik dalam kehidupan sosial.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved