Flores Timur Terkini

Sepenggal Rasa di Lembah Lewotobi Usai 22 Bulan Mengungsi

Sejak Gunung Lewotobi Laki-laki murka 3 November, kami semua pergi, termasuk saya yang berdiri dengan gawai kecil untuk merekam setiap detak panik

Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/PAUL KABELEN
Seorang penyintas di Hunian Sementara (Huntara), tempat tinggal pengungsi sebelum pindah ke hunian tetap. Huntara dibanguan pemerintah di Desa Konga, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Paul Kabelen

POS-KUPANG.COM, LARANTUKA - Waktu berpacuh kencang, namun denyut kesadaran mengalun lamban menuju realitas bagi sesama penyintas erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur, NTT.

Kamis (23/10/25), genap 22 bulan kami menyandang status sebagai penyintas erupsi. Label itu melekat kuat dalam seluruh dimensi kehidupan setelah erupsi 23 Desember 2023, hingga tiba kiamat kecil 3 November 2024.

Pemerintah setahun lebih ini masih berkutat dengan urusan menyiapkan lahan relokasi. Agenda proyek relokasi warga dari zona rawan ke titik aman itu dilakukan lewat pembangunan Hunian Tetap (Huntap).

Pemerintah akan melakukan relokasi dengan Huntap, namun kelanjutan atas proyek ini bisa dibilang belum berprogres baik. Meski begitu, penyintas tetap bersyukur dan mengapresiasi perhatian pemerintah dan para pihak terkait selama hampir dua tahun terakhir.

Yang direlokasi meliputi empat desa di wilayah Kecamatan Wulanggitang, yaitu Desa Klatanlo, Hokeng Jaya, Nawokote, Dusun Podor, Dusun Kampung Baru. Kemudian Desa Dulipali serta Desa Nobo, Kecamatan Ile Bura. Wilayah zona merah ini dipastikan direlokasi.

Desa Hokeng Jaya dulunya sejuk sekali. Musim dingin terasa menyejukkan, dan musim panas sungguh menghangatkan. Potensi buah dan beragam komoditi melimpah ruah di tanahnya yang subur. Saya tahu persis karena lahir dan dibesarkan di lingkungan yang permai ini. Singkat kata, saya juga penyintas.

Di sana berdiri SMAS Seminari San Dominggo Hokeng, sekolah yang mencetak imam katolik, kemudian Biara SSpS yang berkontribusi besar terhadap pelayanan kesehatan serta spiritual iman bagi umatnya.

Para petani gigih bekerja. Menggarap dengan ketekunan hingga anak-anaknya punya gelar dan berprestasi dalam karirnya. Banyak sekali kenangan. Tidak akan habis jika diceritakan di sini. Kini segalanya lenyap. Hawanya jauh lebih panas lantaran pohon-pohohnya tak serindang dulu. Semua habis disapu erupsi.

Desa ini biasanya ramai dengan gelak tawa bocah SD, remaja SMP dan SMA saat pergi maupun pulang sekolah. Di sepanjang jalan desa, kendaraan hilir mudik tak berhenti. Mirip kota namun ini desa yang bakal maju pesat. Aktivitas ekonomi hidup sekali di bawah lembah Lewotobi Laki-laki itu.

Pagi tadi, Kamis (23/10/25), suasana Desa Hokeng Jaya, satu dari lima desa zona merah, tampak sepi. Di antara rumah-rumah yang hancur berantakan, terlihat beberapa warga sedang beraktivitas. Mereka datang untuk bekerja.

Tetangga saya memanen sayur, memetik kelapa, memberi makan ternak, lalu pulang saat hari kian petang. Namun jam bukanlah satu-satunya alasan. Kadang mereka bergegas lebih cepat ketika Lewotobi Laki-kaki meletus. 

Oni Huar, salah satu warga, memikul beberapa berkas kayu kemudian menenteng jeriken berisi air bersih untuk dibawa ke Hunian Sementara (Huntara) III di Desa Konga, Kecamatan Titehena.

Oni menumpang mobil pickup dari rumahnya di Desa Hokeng Jaya ke Huntara III, berjarak 20 kilometer. Dia merogoh kocek Rp 20.000, biaya pergi maupun pulang dengan kendaraan itu.

Sejak Gunung Lewotobi Laki-laki murka 3 November, kami semua pergi, termasuk saya yang berdiri dengan gawai kecil untuk merekam setiap detak panik sesama penyintas, lalu meramunya menjadi naskah berita.

Baca juga: Aktivitas Vulkanik Lebih Dominan di Kedalaman Dankal Lewotobi Laki-laki

Sumber: Pos Kupang
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved