Breaking News

Sidang Kasus Prada Lucky

Tanggapan Akademisi Unwira Sidang Perdana Prada Lucky Namo

Artinya, keadilan harus ditegakkan tanpa emosional, tapi juga tanpa mengabaikan rasa kemanusiaan keluarga korban.

Penulis: Irfan Hoi | Editor: Oby Lewanmeru
POS KUPANG/HO
MIKHAEL FEKA - Akademisi dari Unwira Kupang, Dr. Mikhael Feka, SH, MH 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

POS-KUPANG.COM, KUPANG  - Akademisi Unwira Dr Mikhael Feka memberi tanggapan terhadap sidang perdana meninggalnya almarhum Prada Lucky Namo di Batalyon Teritorial 834 Nagekeo, NTT beberapa waktu lalu. 

Sidang perdana, Senin (27/10/2025) itu diagendakan pembacaan dakwaan terhadap 
Ahmad Faisal selaku komandan kompi, tempat tugas Prada Lucky Namo

Sidang menghadirkan lima saksi, termasuk orang tua dari Prada Lucky Namo. Pelaksanaan sidang berlangsung di Pengadilan Militer Kupang. Dalam perkara ini ada tiga berkas untuk 22 terdakwa. 

"Pemisahan berkas untuk 22 terdakwa bisa dimaklumi secara hukum, karena biasanya peran dan bukti tiap prajurit berbeda," kata Mikhael. 

Meski begitu, pengajar hukum Unwira itu mengatakan, yang paling penting adalah keterbukaan masyarakat dan keluarga korban berhak tahu siapa berperan apa, supaya tidak muncul kesan tebang pilih atau ada yang dilindungi. 

Baca juga: Prada Richard: Saya dan Lucky Dicambuk, Dia Teriak, Ibu Saya Tidak Pernah Pukul Saya

"Keadilan tidak boleh dibagi-bagi,” sambungnya. 

Mikhael juga merespons permintaan keluarga agar semua terdakwa dipecat sangat bisa dipahami. Sebab, keluarga kehilangan anak dan ingin ada tanggung jawab moral dari institusi. 

Namun secara hukum, pemecatan tetap harus melalui proses pembuktian bagi masing-masing pelaku.

Artinya, keadilan harus ditegakkan tanpa emosional, tapi juga tanpa mengabaikan rasa kemanusiaan keluarga korban.

Secara prinsip, kata dia, sidang di pengadilan militer bisa terbuka dan independen. Tapi semua orang tahu kekhawatiran publik soal intervensi, itu nyata. 

Karena itu, penting sekali agar proses ini diawasi secara eksternal dan informasi dibuka seluas mungkin. Keluarga korban, publik, dan institusi militer sendiri sebenarnya sama-sama membutuhkan keadilan yang terang dan tidak tertutup.

Jika Komandan Kompi (Danki) berada di tempat kejadian namun tidak mencegah penganiayaan, hal itu dapat dianggap sebagai pembiaran dan melanggar prinsip tanggung jawab komando karena ia memiliki kewenangan untuk mencegah tindakan bawahannya. 

Perubahan keterangan saksi di persidangan yang berbeda dengan BAP menunjukkan adanya tekanan struktural, rasa takut, atau solidaritas korps, fenomena yang sering terjadi dalam sistem militer yang hierarkis.

Alasan bahwa korban dianiaya karena terindikasi LGBT sama sekali tidak dapat dibenarkan, sebab merupakan bentuk kekerasan dan diskriminasi yang melanggar HAM dan hukum pidana.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved