Opini

Opini: Urgensi Redenominasi Rupiah Dalam Timbangan Etika Kemanfaatan

Pemerintah harus memastikan kesiapan infrastruktur keuangan, kestabilan harga, dan literasi publik sebelum kebijakan ini diterapkan.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI DWISON A RENLEEUW
Dwison Andresco Renleeuw 

Oleh: Dwison Andresco Renleeuw
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Nusa Tenggara Timur. 

POS-KUPANG.COM - Akhir-akhir ini, wacana redenominasi rupiah kembali mencuat dalam percakapan publik dan kebijakan ekonomi nasional. 

Pemerintah bersama Bank Indonesia kembali membicarakan langkah penyederhanaan nilai nominal rupiah dengan menghapus beberapa digit nol, tanpa mengubah daya beli riil masyarakat. 

Secara sederhana, bila sebelumnya harga nasi goreng Rp10.000, maka setelah redenominasi nilainya akan menjadi Rp10, dengan daya beli yang sama.

Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah cukup kuat. Redenominasi diyakini akan membawa efisiensi sistem transaksi, keseragaman pencatatan keuangan, serta meningkatkan citra rupiah di mata dunia. 

Baca juga: Prabowo: Tidak Boleh Ada Mafia dalam Pemerintahan, Setiap Rupiah Harus Dijaga untuk Rakyat

Kebijakan ini juga dianggap sebagai bagian dari upaya modernisasi ekonomi Indonesia, agar lebih sejajar dengan negara-negara maju yang memiliki sistem moneter sederhana dan efisien.

Namun di balik semangat tersebut, muncul pertanyaan mendasar yang tak kalah penting: apakah redenominasi benar-benar membawa manfaat terbesar bagi masyarakat luas, atau justru menjadi kebijakan simbolik yang mahal dan berisiko? 

Pertanyaan ini penting karena kebijakan publik bukan hanya persoalan teknis ekonomi, tetapi juga persoalan etika dan kemanusiaan. 

Sebab, di balik angka-angka statistik, ada nasib rakyat kecil yang akan merasakan langsung dampak kebijakan itu di pasar, di warung, dan di rumah tangga mereka.

Etika Kemanfaatan Sebagai Ukuran Moral

Untuk menilai kebijakan ini, kita dapat menggunakan pandangan etika utilitarianisme yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. 

Prinsip dasarnya, the greatest good for the greatest number, yang artinya, tindakan dinilai sejauh ia menghasilkan kebahagiaan dan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.

Dari kacamata ini, kebijakan redenominasi hanya dapat disebut etis apabila manfaat yang dihasilkan jauh lebih besar daripada kerugian yang ditimbulkannya. 

Dengan kata lain, kita perlu menghitung secara rasional apa yang disebut Bentham sebagai kalkulus utilitarian, yaitu, menimbang total “utility” dan “disutility” yang akan dialami masyarakat.

Manfaat: Efisiensi dan Citra Mata Uang

Dari sisi kemanfaatan, redenominasi menawarkan beberapa keuntungan nyata. Pertama, efisiensi transaksi. 

Penyederhanaan nominal mempermudah pencatatan, pelaporan, dan transaksi keuangan di berbagai sektor. 

Kesalahan input berkurang, sistem lebih cepat, dan proses administrasi menjadi lebih hemat waktu.

Kedua, penyederhanaan sistem teknologi perbankan. Dengan berkurangnya jumlah digit dalam sistem pembayaran dan akuntansi, kecepatan pemrosesan data meningkat, dan resiko kesalahan menurun.

Ketiga, efek psikologis positif. Masyarakat akan melihat rupiah sebagai mata uang yang lebih “bernilai”. 

Misalnya, harga barang yang sebelumnya Rp10.000 menjadi Rp10 tanpa mengubah daya beli. 

Ini memperkuat kepercayaan diri nasional dan memperbaiki persepsi terhadap kestabilan ekonomi.

Keempat, peningkatan citra internasional. Negara-negara seperti Turki dan Korea Selatan telah berhasil memperkuat kredibilitas ekonomi setelah melakukan redenominasi. 

Bila dijalankan dengan baik, Indonesia pun bisa menunjukkan kesiapan struktural dan keuangan yang lebih matang di mata dunia.

Kerugian: Biaya Transisi dan Resiko Sosial

Namun, setiap kebijakan besar memiliki konsekuensi. Dari sisi kerugian (disutility), beberapa hal patut dicermati.

Pertama, biaya implementasi. Pemerintah perlu mengeluarkan dana besar untuk mencetak uang baru, memperbarui sistem ATM dan pembayaran, serta menyosialisasikan perubahan kepada publik.

Kedua, resiko kebingungan masyarakat, terutama di wilayah terpencil. Perubahan nominal dapat membingungkan warga bila sosialisasi tidak merata, membuka peluang salah hitung atau bahkan kecurangan dalam transaksi.

Ketiga, kemungkinan inflasi psikologis. Pedagang cenderung melakukan pembulatan harga ke atas dalam masa transisi, yang secara perlahan dapat menaikkan harga barang dan jasa di pasar.

Keempat, beban bagi usaha mikro dan kecil. Penyesuaian sistem akuntansi, label harga, dan kontrak bisnis akan menambah beban administrasi bagi pelaku usaha yang modalnya terbatas.

Kebijakan yang Etis dan Bijak

Dalam kerangka utilitarianisme, redenominasi hanya layak dilakukan bila total manfaat jangka panjangnya lebih besar daripada total biaya dan risikonya di masa transisi. 

Pemerintah harus memastikan kesiapan infrastruktur keuangan, kestabilan harga, dan literasi publik sebelum kebijakan ini diterapkan.

Redenominasi bukan semata urusan menghapus nol di belakang angka rupiah. Ia merupakan refleksi moral tentang bagaimana negara menata sistem ekonominya secara efisien dan manusiawi. 

Bila dijalankan dengan hati-hati, transparan, dan bertahap, redenominasi bisa menjadi simbol kedewasaan ekonomi Indonesia. 

Namun, bila tergesa-gesa tanpa kesiapan sosial, manfaatnya justru akan hilang di tengah kebingungan masyarakat.

Pada akhirnya, dalam timbangan etika kemanfaatan, redenominasi hanya bermakna bila benar-benar menambah kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat banyak. 

Bukan sekadar mempercantik angka, tetapi memperkuat martabat ekonomi bangsa. (*)

Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved