Opini

Opini - Belajar dari Alam: Menemukan Makna Pembelajaran Kontekstual di Kupang

Kekayaan potensi yang dimiliki Kota Kupang belum sepenuhnya hadir dalam proses pembelajaran di sekolah. 

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
Fatmawati H.A. Zakariah, Magister Pedagogi pada Universitas Muhammadiyah Malang. 

Oleh: Fatmawati H.A. Zakariah

(Magister Pedagogi, Universitas Muhammadiyah Malang)

POS-KUPANG.COM - Kupang memiliki karakter geografis yang khas yaitu wilayah yang panas, berbatu, dan relatif kering. Namun, di balik keterbatasan ekologis tersebut tersimpan potensi besar bagi pengembangan pendidikan kontekstual yang berakar pada kearifan lokal. 

Alam yang tampak gersang justru menyimpan nilai-nilai ketangguhan dan kreativitas hidup masyarakatnya. Sayangnya, kekayaan potensi itu belum sepenuhnya hadir dalam proses pembelajaran di sekolah. 

Peserta didik mempelajari konsep ekosistem dari buku teks, tetapi jarang diajak untuk mengamati langsung tanaman lokal seperti kelor yang tumbuh di sekitar rumah. 

Mereka memahami teori daur air tanpa melihat bagaimana masyarakat setempat beradaptasi dengan kekeringan melalui praktik penampungan air hujan di musim kemarau.

Fenomena ini mencerminkan tantangan nyata pendidikan di Nusa Tenggara Timur. Meskipun kebijakan Merdeka Belajar telah membuka ruang bagi inovasi guru, praktik pembelajaran di banyak sekolah masih berorientasi pada hafalan dan bersifat teoritis. 

Proses belajar belum sepenuhnya berpihak pada konteks kehidupan peserta didik. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran yang dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari mampu meningkatkan motivasi, literasi ilmiah, dan hasil belajar siswa (Rahmawati & Wibowo, 2021). 

Oleh karena itu, sudah saatnya pendidikan di Kupang bertransformasi dengan menjadikan alam dan budaya lokal sebagai sumber inspirasi serta ruang belajar yang autentik dan bermakna.

Alam sebagai Sumber Belajar Terbuka

Pendekatan contextual teaching and learning (CTL) menekankan pentingnya mengaitkan pengetahuan akademik dengan pengalaman nyata peserta didik. 

Dalam konteks Kota Kupang, pendekatan ini dapat diimplementasikan melalui kegiatan belajar langsung di alam sekitar. Misalnya, siswa melakukan observasi di pantai Lasiana untuk memahami ekosistem pesisir atau melaksanakan eksperimen sederhana tentang konservasi tanah di kawasan perbukitan Oesapa. 

Melalui kegiatan semacam ini, peserta didik belajar bukan hanya dari buku, tetapi juga dari lingkungan yang menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.

Belajar di alam terbuka memiliki dimensi pedagogis yang luas. Selain memperkuat aspek kognitif, kegiatan tersebut juga membangun kesadaran ekologis dan tanggung jawab sosial terhadap kelestarian lingkungan. 

Siswa dapat mengamati bagaimana vegetasi lokal beradaptasi dengan kondisi kering, memahami pentingnya konservasi air, serta menumbuhkan rasa kagum terhadap ciptaan Tuhan. Pembelajaran berbasis lingkungan memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai keberlanjutan sejak dini. 

Dengan demikian, anak-anak kota Kupang tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga tumbuh sebagai penjaga alam dan agen perubahan di lingkungannya sendiri.

Budaya Lokal sebagai Basis Pembentukan Nilai dan Identitas

Selain lingkungan alam, budaya lokal masyarakat Timor merupakan sumber pembelajaran yang sangat berharga. Nilai-nilai seperti gotong royong, kerja keras, solidaritas, dan penghormatan terhadap orang tua telah lama menjadi fondasi kehidupan sosial masyarakat kota Kupang. 

Nilai-nilai ini seharusnya diintegrasikan dalam kurikulum sekolah agar menjadi bagian dari pembentukan karakter peserta didik. Integrasi budaya lokal dalam pendidikan tidak hanya memperkaya materi pelajaran, tetapi juga memperkuat identitas kultural siswa serta menumbuhkan moralitas sejak usia dini.

Guru dapat mengadaptasi berbagai unsur budaya seperti cerita rakyat, musik tradisional, tarian daerah, dan permainan lokal sebagai media pembelajaran yang kontekstual dan menarik. 

Misalnya, kisah “Batu Kapur dan Angin Timur” dapat dijadikan bahan bacaan literasi sekaligus refleksi moral tentang keteguhan menghadapi kesulitan hidup. Lagu dan permainan tradisional seperti “Lia Nain” dan “Sonaf” juga dapat digunakan untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya daerah. 

Ketika nilai-nilai budaya diangkat dalam proses belajar, peserta didik tidak hanya memahami isi pelajaran, tetapi juga menginternalisasi identitas, kebanggaan, serta sikap hormat terhadap warisan leluhur mereka. 

Dengan cara ini, pendidikan di Kupang dapat menjalankan fungsi ganda: memperluas wawasan akademik sekaligus memperkuat akar budaya dan karakter bangsa.

Kolaborasi antara Sekolah dan Komunitas Lokal

Mewujudkan pendidikan berbasis lingkungan dan budaya lokal tidak dapat dilakukan secara parsial. Dibutuhkan kolaborasi lintas pihak antara sekolah, masyarakat, pemerintah daerah, dan lembaga pendidikan tinggi. 

Sekolah hendaknya membuka diri terhadap partisipasi komunitas lokal dalam kegiatan pembelajaran. Petani, nelayan, pengrajin, dan tokoh adat dapat berperan sebagai “guru tamu” yang berbagi pengalaman nyata kepada peserta didik. 

Model pendidikan berbasis komunitas ini terbukti efektif dalam menumbuhkan empati sosial, keterampilan kolaboratif, serta kemampuan komunikasi.

Beberapa sekolah di Kupang telah mengimplementasikan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning). Contohnya, siswa membuat taman sekolah dengan menanam tanaman khas NTT seperti kelor dan pohon asam (Ardithayasa et al., 2022). 

Kegiatan tersebut bukan hanya menumbuhkan kecintaan terhadap lingkungan, tetapi juga melatih tanggung jawab, kreativitas, dan kepemimpinan. Kolaborasi dengan masyarakat sekitar membuat sekolah menjadi lebih hidup dan bermakna. 

Pemerintah daerah juga dapat berperan dengan menyediakan dukungan kebijakan, pelatihan guru, dan pengembangan kurikulum berbasis potensi lokal agar gerakan pendidikan kontekstual ini berkelanjutan.

Pembelajaran berbasis alam dan budaya lokal bukan sekadar inovasi metodologis, tetapi bentuk penghormatan terhadap identitas dan kearifan daerah. Alam Kupang mengajarkan ketangguhan, sementara budaya Timor menanamkan nilai kebersamaan, kesederhanaan, dan kebijaksanaan hidup. 

Ketika sekolah berani menjadikan lingkungannya sendiri sebagai laboratorium belajar, maka pendidikan akan kembali pada hakikatnya: memanusiakan manusia.

Belajar dari alam berarti memahami kehidupan secara utuh belajar tentang ketekunan, kebersahajaan, dan harmoni dengan lingkungan. 

Dari timur Indonesia, kita menemukan bahwa pendidikan sejati tidak selalu bergantung pada kemewahan fasilitas, melainkan pada kesadaran kolektif untuk menjadikan bumi dan budaya lokal sebagai sumber nilai dan inspirasi. 

Saat sekolah di Kupang mengakar pada lingkungannya, maka akan tumbuh generasi pembelajar yang berdaya, berkarakter, dan mencintai tempat di mana mereka berpijak. (*)

Ikuti berita berita POS-KUPANG.COM lain GOOGLE NEWS 

 

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved