Opini
Opini: Menyibak Minuman Produk Lokal Khas NTT di Balik Instruksi Sitaan Kapolda NTT
Merupakan suatu ironi bagi hukum, apabila intervensinya tidak menyasar secara tepat pada substansi penyebab
Oleh: Romo Yudel Neno, Pr
Rohaniwan asal Keuskupan Atambua, Provinsi Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Beberapa hari terakhir ini masyarakat NTT ramai dalam perbincangan media sosial pascapenyitaan sejumlah minuman keras berlabel lokal - tradisional atas instruksi dari Kapolda NTT, Irjen Pol Dr. Rudi Darmoko, S.I.K., M.Si.
Atas instruksi Kapolda NTT itu, sebagaimana dirilis dalam Media TB News Polda Nusa Tenggara Timur tertanggal 5 November; ribuan liter minuman keras produk lokal masyarakat Nusa Tenggara Timur disita tanpa pertimbangan yang arif.
Dalam operasi tiga hari yang terhitung 1-3 November 2025; jumlah sitaan mencapai 9.610 liter miras tradisional yang terdiri dari sopi, moke dan peneraci (peci).
Baca juga: Penertiban Miras Tradisional di NTT Oleh Polisi Ditentang DPR RI
Tindakan penyitaan ini menuai kritik dari kalangan masyarakat NTT, salah satunya dari Anggota DPR RI, Melkianus Markus Mekeng, sebagaimana dirilis dalam media koranntt.news tertanggal 10 November 2025.
Poinnya ialah angota DPR RI asal NTT ini menegaskan bahwa minuman tradisional yang ada di NTT seharusnya disikapi dengan bijak karena merupakan produk lokal khas tradisional, yang telah diturunkan secara turun-temurun.
Karena itu, Kapolda NTT seharusnya lebih bijak untuk mengakomodir produk lokal yang sebetulnya bernilai ekonomis dan bukan sebaliknya menghukum dengan kebijakan normatif instruksional yang nampaknya muncul secara tiba-tiba dan mengangetkan masyarakat NTT.
Kritikan lain sebagai respons atas kebijakan Kapolda NTT ditemukan pula pada sajian berita pada media regional selidikkasus.com tertanggal 9 November; pada media haluanntt.com tertanggal 10 November dan pada media okenusra.com tertanggal 10 November 2025.
Mempelajari berbagai kritik entah dalam diskusi lepas maupun dalam platform media sosial, pada akhinya memang pantas dan layak untuk dilontarkan kritik kepada kebijakan, yang menurut hemat penulis, tidak prokultur.
Kebijakan itu pantas dikritik, lantaran minuman lokal tradisional (baca : sopi, moke, peci) memiliki asal-usul yang telah lama dihidupi sebagai kearifan lokal dan bernilai ekonomis.
Disebut minuman lokal karena menunjuk pada aksesnya, yang secara territorial tidak luas dan bahkan tidak sulit untuk dijangkau.
Lokalitas ini merupakan peluang bagi akses ekonomi dalam transaksi jual beli dengan harga terjangkau, dan pada umumnya berlangsung dalam situasi penuh persaudaraan saat transaksi itu terjadi.
Status dan keadaan lokal memberi ciri mudah pada akses ekonomi tanpa harus melibatkan banyak sarana transportasi dan mengeluarkan banyak tenaga.
Tidak jauh juga, jarak yang harus ditempuh. Karena merupakan produk lokal maka konsistensinya dipastikan terus berkelanjutan mengingat bahwa sumber produksinya, secara personal langsung didapatkan dari lahan sendiri ataupun dari lahan yang saling berdekatan.
Proses untuk mendapatkannya, pada umumnya dikerjakan secara bersama dan secara bergiliran.
Dengan demikian, selain inovasi produk lokal dalam hal ekonomi, juga terdapat nilai sosial dan terbina semangat kerja sama entah dalam proses memulainya maupun dalam proses memanfaatkannya.
Tak dapat dipungkiri dampaknya bahwa meningkatnya fenomena kriminal turut disebabkan karena konsumsi miras lokal.
Tetapi sejauh ditelusuri, hal seperti itu dapat saja terjadi, karena aktivitas konsumsi melebihi kemampuan atau berlebihan, alhasil; dampaknya tidak terkontrol entah oleh konsumen itu sendiri maupun oleh orang lain.
Itu artinya selama masih dalam batas yang wajar, konsumsi alkohol dipandang sebagai normal dan bahkan dalam tradisi kultur NTT, merupakan sarana untuk mempererat persaudaraan dan merajut perdamaian.
Nilai kebersamaan, persaudaraan dan bahkan perdamaian inilah yang sesungguhnya memberi perspektif bahwa yang perlu disikapi ialah lebih kepada tindakan krinimal oknum yang bercorak kasuistik dan bukan pertama-tama pada produk lokal.
Merupakan suatu ironi bagi hukum, apabila intervensinya tidak menyasar secara tepat pada substansi penyebab.
Secara filosofis dapat dipahami bahwa manusia sebagai subjek, ia berkesadaran, dan karena itu, edukasi yang tepat sasar seharusnya menyasar pada manusia dalam segala kesadarannya bukan malah mengkriminalisasi produk lokal tradisional.
Hukum seharusnya menemukan cara edukasinya tanpa harus mengorbankan produk lokal.
Kebijakan yang bersifat instruksional tanpa peduli pada azas tradisional sebetulnya merupakan suatu model kekerasan yang pertama-tama melukai setiap upaya masyarakat lokal yang telah berupaya sekuat tenaga untuk mendongkrak hidup ekonominya.
Sebagai cara untuk menjembatani ketegangan antara moral publik dan produk lokal masyarakat, seharusnya diupayakan dan dibangun komunikasi lintas sektor dalam semangat kolaborasi yang kritikal.
Kebijakan tanpa kolaborasi justru mencirikan tipical pemimpin bertangan besi, yang terkesan menunjukkan arogansinya di hadapan masyarakat, tatkala masyarakat sedang berjuang untuk mempertahankan tradisi dalam praktek dan produk sembari mendongkrak hidup ekonomi.
Mengapa langkah strategis kolaborasi itu harus diambil?
Mengingat bahwa aktivitas produksi sebagaimana dilakukan oleh sebagian masyarakat bukan untuk mencari suatu popularitas atau viralitas semata, melainkan pada hakekatnya merupakan sebuah mata pencaharian, yang selama ini belum diakomodir secara normatif melalui pendekatan yuridis oleh pemerintah entah melalui perda atau sejenis aturan lainnya, yang kiranya dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam mendistribusikan apa yang telah diproduksi.
Pada akhirnya, kita semua diajak untuk berbenah. Secara prinsipil; setiap kebijakan yuridis harus prokultur dan bukan sebaliknya menenggelamkan atau mengkriminalisasi produk kultur.
Hukum di manapun, ia menjunjung tinggal kultur. Itulah sebabnya dikatakan bahwa hukum; sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkan apalagi mengabaikan martabat manusia, melainkan untuk menjunjung tinggi martabat manusia.
Termasuk di dalamnya ialah segala aktivitas yang dipandang bermartabat karena bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Yudel-Neno.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.