Opini
Opini: Jalan Sunyi Pahlawan Demokrasi
Pahlawan Demokrasi adalah mereka yang menjaga suara rakyat tetap jernih dari kecurangan. Mereka yang menegakkan keadilan pemilu
Oleh: Baharudin Hamzah
Anggota KPU Provinsi Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Setiap tanggal 10 November, bangsa ini menunduk dalam hening, mengenang mereka yang berkorban untuk kemerdekaan.
Namun, di antara gema seremonial dan karangan bunga, ada jenis kepahlawanan lain yang kerap luput dari catatan sejarah.
Para penyelenggara pemilu, mereka yang menjadi penjaga setia denyut nadi demokrasi di seluruh pelosok negeri.
Mereka bukan pejuang bersenjata, tetapi keberanian mereka diuji dalam medan yang tak kalah berat, medan tanggung jawab dan kejujuran.
Mereka membelah lautan menuju pulau-pulau terluar, menyusuri sungai dalam gelap malam, menuruni lembah dan mendaki bukit demi satu tujuan menjaga setiap suara rakyat yang tertitip di dalam kotak suara.
Baca juga: Opini: Gelar Pahlawan untuk Soeharto Mengabaikan Pahlawan Masa Kini yang Masih Berjuang
Begitu pemilu usai, sorak dan spanduk hilang, berita berganti topik, dan janji-janji mulai terdengar sayup.
Ketika janji-janji berganti arah, dan sorak kemenangan mereda, nama-nama mereka perlahan hilang dari ingatan.
Negara lupa, politisi seperti kehilangan rasa terima kasih, dan publik beranjak mencari drama politik baru.
Padahal, tanpa mereka, demokrasi tak mungkin berdiri tegak, kepercayaan rakyat pada hasil pemilu hanyalah ilusi tanpa pengawal integritas di garis terdepan.
Mereka inilah pahlawan demokrasi garda kedelapan republik yang menjaga nadi kepercayaan publik tetap berdetak.
Tak banyak yang menoleh kepada mereka yang berpeluh di garis terdepan, yang memastikan setiap suara dihitung dengan benar, dan yang sering menanggung beban moral ketika hasil pemilu dipersoalkan.
Padahal, penyelenggara pemilu adalah garda kedelapan republik ini mereka yang menjaga jantung kepercayaan publik, ketika semua yang lain goyah.
Integritas mereka adalah pagar terakhir agar demokrasi tak runtuh menjadi sekadar prosedur tanpa ruh.
Di tangan mereka, suara rakyat bukan sekadar angka dalam tabel rekapitulasi, melainkan wujud martabat bangsa.
Upah bukan problem bagi mereka, dibanding beban dan risiko yang mereka pikul.
Mereka bertugas di antara tekanan politik, cuaca yang tak bersahabat, dan situasi sosial yang sering kali tak menentu.
Mereka bekerja dalam senyap, sementara sorot lampu panggung demokrasi lebih banyak tertuju pada para kandidat, partai, dan elite politik.
Padahal tanpa tangan mereka yang sabar dan jujur, pesta demokrasi hanya akan menjadi sandiwara tanpa makna.
Mereka adalah wajah-wajah yang sering tak disebut. Bukan tokoh di layar kaca, bukan pula figur yang dielu-elukan publik.
Mereka bekerja di ruang yang sepi di tengah badai logistik, jarak, dan waktu.
Mereka menyeberangi lautan, menyusuri sungai, menuruni lembah dan mendaki bukit, hanya untuk memastikan satu hal, bahwa setiap suara rakyat sampai ke kotak suara dan dihitung dengan jujur.
Penyelenggara pemilu adalah pengawal demokrasi yang berjalan di jalan sunyi.
Mereka menanggung beban berat dalam diam diapit oleh tekanan, ekspektasi publik, dan godaan kekuasaan.
Honor mereka tak sebanding dengan tanggung jawab yang mereka pikul. Tapi mereka tetap bekerja, sebab bagi mereka, menjaga suara rakyat adalah bentuk cinta paling nyata kepada republik ini.
Kepahlawanan, dengan demikian, bukan sekadar soal gugur di medan perang. Ia juga berarti bertahan dalam kejujuran, setia pada amanah, dan berani menolak godaan yang mengaburkan nurani.
Dalam tubuh para penyelenggara pemilu, kita menemukan bentuk baru dari perjuangan.
Perjuangan melawan lupa, melawan tekanan, dan melawan ketidakpedulian bangsa terhadap fondasi demokrasinya sendiri. Maka, di hari Pahlawan ini, marilah kita perluas makna kata “pahlawan.”
Mereka tak selalu berdiri di bawah cahaya lampu upacara, tak selalu memiliki nama di prasasti, tapi kerja sunyi mereka membuat republik ini terus berdiri tegak.
Pahlawan Demokrasi adalah mereka yang menjaga suara rakyat tetap jernih dari kecurangan. Mereka yang menegakkan keadilan pemilu di tengah godaan pragmatisme.
Mereka yang bekerja dengan keyakinan bahwa setiap suara adalah harga diri bangsa.
Jika kemerdekaan ditebus dengan darah, maka demokrasi dijaga dengan keringat dan integritas.
Dan selagi masih ada mereka yang bersedia menjaga kotak suara dengan hati bersih, maka cita-cita para pahlawan 1945 masih terus berdenyut di bumi Indonesia.
Kepahlawanan masa kini bukan lagi soal mengangkat senjata, tetapi soal keberanian untuk tetap jujur ketika sistem menggoda untuk curang, soal keteguhan menolak tekanan, dan kesetiaan untuk menunaikan amanah dalam kesunyian.
Di tengah badai pragmatisme dan derasnya disinformasi, kerja mereka adalah tembok terakhir agar demokrasi tak berubah menjadi sekadar ritual lima tahunan tanpa makna.
Hari Pahlawan semestinya juga menjadi hari refleksi bagi demokrasi kita. Bahwa ada mereka yang berpeluh tanpa sorotan, yang rela mengorbankan waktu, keluarga, bahkan nyawa, demi menjaga marwah pemilu.
Mereka bukan hanya pelaksana teknis, tetapi penjaga moral bangsa.
Selama masih ada yang bersedia menjaga kotak suara dengan integritas, selama masih ada yang percaya bahwa setiap suara adalah sakral, selama itu pula cita-cita para pahlawan kemerdekaan tetap hidup di setiap TPS, di setiap surat suara, dan di setiap langkah sunyi para pengawal demokrasi.
Dalam bukunya Mereka yang Terlupakan (2020), Baharudin Hamzah menyebut penyelenggara pemilu sebagai “para pengawal demokrasi yang berjalan di jalan sunyi.”
Mereka adalah benteng moral yang tak hanya menjalankan prosedur, tetapi menjaga legitimasi dan kepercayaan publik terhadap hasil pemilu.
Di sinilah relevan pandangan Robert A. Dahl dalam Polyarchy: Participation and Opposition (1971), bahwa demokrasi hanya dapat bertahan jika dijaga oleh institusi yang menjamin partisipasi dan kontestasi secara adil.
Penyelenggara pemilu adalah manifestasi konkret dari gagasan itu mereka adalah pilar institusional yang memastikan demokrasi bukan sekadar retorika politik, melainkan sistem yang hidup dan dipercaya rakyat.
Sementara Robert D. Putnam dalam Making Democracy Work (1993) menekankan bahwa, keberhasilan demokrasi bergantung pada modal sosial pada jaringan kepercayaan, norma, dan kerja sama warga.
Penyelenggara pemilu adalah simpul penting dalam modal sosial itu. Mereka menanamkan kepercayaan dengan kerja yang jujur dan transparan, membangun legitimasi melalui keteladanan, serta memperkuat kohesi sosial di tengah kompetisi politik yang sering kali memecah belah.
Tanpa mereka, suara rakyat tak akan sampai, tanpa mereka, keadilan elektoral hanyalah mitos.
Mereka inilah pahlawan demokrasi masa kini bukan karena sorak penghargaan, tetapi karena kesetiaan mereka menjaga nurani republik.
Di bawah panas terik dan hujan badai, mereka memastikan bahwa setiap surat suara sekecil apa pun nilainya sampai dan dihitung.
Mereka menjaga martabat bangsa dalam bentuk paling sederhana namun paling bermakna integritas.
Kepahlawanan hari ini bukan hanya tentang keberanian di medan perang, tetapi tentang keberanian untuk tetap jujur di tengah sistem yang mudah tergoda untuk curang, tentang keteguhan hati untuk melayani negara tanpa pamrih.
Dalam kerja senyap para penyelenggara pemilu, kita belajar bahwa demokrasi tidak hanya berdiri di atas hukum, tetapi juga di atas keikhlasan manusia.
Hari Pahlawan seharusnya menjadi momen reflektif bagi bangsa ini untuk mengingat bahwa demokrasi bukan hadiah, melainkan perjuangan terus-menerus.
Dan dalam perjuangan itu, para penyelenggara pemilu adalah garda terakhir penjaga kotak suara sekaligus penjaga kepercayaan rakyat terhadap negara.
Selama masih ada mereka yang rela membelah lautan demi suara rakyat, selama masih ada yang memilih jujur meski tak disorot kamera, selama itu pula cita-cita para pahlawan 1945 tetap berdenyut dalam setiap tinta di jari, dalam setiap suara yang dihitung dengan hati.
Honor mereka tak sepadan dengan beban moral yang dipikul. Tugas mereka berat, menegakkan aturan, melawan tekanan, menjaga kejujuran, di tengah godaan dan keterbatasan.
Namun mereka tetap bertahan, sebab bagi mereka, bekerja untuk demokrasi bukan sekadar profesi, melainkan pengabdian.
Mereka bukan selebritas politik. Tapi mereka pembuat keputusan besar. Mereka adalah penjaga legitimasi republik, menyeberangi lautan, menuruni lembah, menyusuri sungai, mendaki bukit, demi memastikan setiap suara tiba dan dihitung dengan benar.
Tanggung jawab mereka besar. Mereka bekerja di bawah tekanan waktu, sorotan publik, dan kadang di tengah badai politik.
Namun mereka bertahan, sebab bagi mereka demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan iman sipil yang harus dijaga.
Sebab demokrasi bukanlah karya satu malam, melainkan proses panjang yang dijaga dengan kejujuran, kesetiaan, dan keberanian moral.
Mereka dipuji oleh yang menang, dan dimaki oleh yang kalah. Padahal merekalah yang memastikan keadilan tetap berdiri di antara dua sisi kepentingan.
Begitu besar jasa mereka bagi mekarnya demokrasi negeri ini, tetapi sedikit saja tergelincir dalam kebijakan, publik seakan lupa semua pengorbanan itu.
Seolah melupakan seluruh keberhasilan dan pengabdian para penyelenggara pemilu.
Mereka yang dengan dedikasi tanpa pamrih menjaga tegaknya demokrasi negeri ini. Semua pengabdian seakan lenyap ditelan ingatan publik.
Padahal di balik setiap pemilu yang berjalan damai, ada ribuan langkah penyelenggara yang bekerja dalam diam menjaga demokrasi agar tetap berdenyut di nadi republik ini. (*)
Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Hamzah-Baharudin.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.