Opini

Opini: Urgensi Satuan Pendidikan Aman Bencana di Nusa Tenggara Timur

Di tengah realitas geografis yang tak terhindarkan ini, sekolah berdiri sebagai entitas paling krusial sekaligus paling rentan dalam urusan bencana. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI DODY KUDJI LEDE
Dody Kudji Lede 

Namun, mimpi besar nan ideal ini berjumpa dengan tantangan yang berlapis ketika akan diwujudkan. 

Kendala paling fundamental adalah fragmentasi anggaran dan ironi infrastruktur. 

Sebagai contoh, alokasi dana, baik DAK Fisik maupun APBD, seringkali lebih fokus pada pemenuhan kuantitas atau pembangunan ruang kelas baru hingga ongkos seminar, alih-alih digunakan untuk kualitas dan penguatan struktur bangunan lama yang rentan. 

Persoalan fisik ini masih dibebani oleh defisit kapasitas sumber daya manusia yang inovatif dan kreatif. 

Padahal, konsep SPAB tidak hanya soal bangunan aman, tetapi juga menuntut manajemen bencana yang terencana dan pendidikan mitigasi yang terintegrasi kurikulum. 

Hal ini, bisa juga terjadi karena kemungkinan kita juga masih kekurangan guru dan tenaga kependidikan yang terlatih termasuk untuk menyusun Rencana Aksi Sekolah (RAS), yang berdasarkan hal ini, dapat menjadi inisiasi dan pedoman untuk memandu simulasi evakuasi mandiri secara rutin.

Lebih lanjut, intervensi SPAB kerap tidak tepat sasaran karena tidak adanya peta risiko detail yang spesifik untuk lokasi sekolah. 

Padahal, kita semua tahu bahwa kebutuhan sekolah di pesisir Kabupaten Kupang yang berisiko tsunami jelas berbeda dengan sekolah di bantaran sungai yang terancam banjir. 

Tantangan akhirnya berpuncak pada isu sustainabilitas. Memang sudah banyak program-program terkait SPAB, baik diinisiasi oleh pemerintah dan NGO pasca-Seroja, tetapi seringkali bersifat project-based. 

Ketika proyek selesai, keberlanjutan simulasi, pemeliharaan jalur evakuasi, dan pembaruan dokumen kesiapsiagaan juga ikut selesai. 

Sampai di sini, tentu kita tidak bisa berharap banyak bahwa implementasi SPAB menyentuh seluruh lapiran masyarakat, ujung-ujungnya cita-cita mewujudkan masyarakat tangguh bencana hanya sampai pada aras mereka yang pernah terlibat dalam program, sementara lainnya yang tidak pernah terlibat, bertahan dengan pengetahuan tradisional mereka dalam menghadapi bencana.  

Parameter Pentahelix

Berikutnya, implementasi SPAB ini tidak dapat dan tidak boleh hanya menjadi beban tunggal Dinas Pendidikan atau BPBD. Ia menuntut sebuah orkestrasi kolaboratif model Pentahelix. 

Pernyataan seperti ini sudah sering kita dengar dari workshop ke workshop, dari pelatihan ke pelatihan. 

Pangkalnya kalimat kolaboratif ini memang harus terus berkumandang untuk mengajak semua komponen terlibat dalam upaya mitigasi maupun pasca bencana. 

Namun, pelibatan ini sebaiknya tidak hanya bersifat himbauan tapi harus dibarengi dengan sikap pro-aktif yang dimulai dari pemerintah sendiri. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved