Opini
Opini: Suara Moral Indonesia di Tengah Standar Ganda IOC
Sikap tegas ini menempatkan Indonesia semakin berpengaruh di panggung internasional, jadi tidak perlu gentar.
Oleh: Yayan Sakti Suryandaru
Dosen di Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya
POS-KUPANG.COM - Keputusan tegas Pemerintah Republik Indonesia (RI) menolak penerbitan visa bagi atlet Israel telah menuai konsekuensi, yakni teguran hingga potensi sanksi dari Komite Olahraga Internasional (IOC).
Bagi sebagian pihak, langkah ini dianggap kontraproduktif terhadap prinsip pemisahan politik dan olahraga. Namun, Indonesia tidak perlu bergeming.
Sikap ini sejatinya bukanlah manuver sesaat, melainkan bagian perjalanan panjang politik luar negeri bebas dan aktif yang menempatkan kemanusiaan dan keadilan di atas segala perhitungan pragmatis.
Di tengah hiruk-pikuk diplomasi global yang seringkali sarat hipokrisi, Indonesia membuktikan bahwa ia adalah negara yang konsisten menjalankan amanat konstitusi "Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan".
Baca juga: Opini: Konflik Israel-Palestina dan Dekontruksi Hati Nurani
Penolakan visa ini adalah tindakan moral yang paling manusiawi. Menolak kolaborasi simbolik, sekecil apa pun, dengan sebuah rezim yang oleh banyak pihak dinilai melakukan kebiadaban sistematis terhadap bangsa Palestina.
Sikap tegas ini menempatkan Indonesia semakin berpengaruh di panggung internasional, jadi tidak perlu gentar.
Keberanian moral ini didukung oleh gelombang kesadaran global yang menolak sikap diam atas genosida.
Gaya Komunikasi Internasional RI Didukung Masyarakat Internasional
Sejak era pendiri bangsa, Indonesia telah memposisikan diri sebagai pemain yang "bebas" menentukan sikap dan "aktif" memperjuangkan kemerdekaan serta melawan segala bentuk imperialisme baru.
Sikap ini telah terinternalisasi menjadi DNA diplomasi negara, bahkan melampaui perubahan rezim.
Dalam kasus hubungan dengan Israel, garis kebijakannya sangat jelas: tidak ada hubungan diplomatik hingga Palestina merdeka dan berdaulat.
Sikap konsisten ini telah teruji sebelumnya. Penolakan Timnas Israel dalam Piala Dunia U-20 di Indonesia pada 2023.
Meskipun berujung pada pencabutan status tuan rumah, kini menemukan pembenaran moral yang lebih kuat.
Jika dahulu sempat ada kalangan yang menyayangkan, situasinya kini berbalik 180 derajat.
Agresi dan krisis kemanusiaan di Gaza telah membuka mata banyak bangsa di dunia.
Kini, penolakan Indonesia justru dipandang sebagai afirmasi prinsip yang berani.
Dampak dari penguatan posisi ini terasa nyata. Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum PBB, yang secara lugas dan berapi-api mengecam kekejaman Israel, dinilai telah mengguncang panggung global.
Gaya retorika dan ketegasan ini mengingatkan banyak pihak pada pesona Proklamator Soekarno, menempatkan kembali Indonesia sebagai figur pemimpin negara non-blok yang memiliki daya tawar dan posisi yang jelas.
Pengaruh diplomatik Indonesia ini bukan lagi sebatas wacana. Ketika jutaan warga dunia turun ke jalan menyuarakan dukungan bagi Palestina, sikap Pemerintah RI menjadi cerminan dari hati nurani masyarakat internasional.
Sanksi IOC, yang mengklaim menegakkan netralitas, sesungguhnya sedang berhadapan dengan volksgeist (semangat zaman) dan nurani global.
Dalam konteks ini, suara Indonesia bukan lagi suara minoritas yang bisa diabaikan, melainkan moral anchor yang memandu kesadaran kolektif.
Indonesia membuktikan konsistensi terhadap isu Palestina adalah aset diplomatik yang jauh lebih berharga daripada status tuan rumah ajang olahraga manapun.
Olahraga Bukan Area Netral, Melainkan Panggung Politik Moral
Klaim IOC yang menyebut penolakan Indonesia sebagai pelanggaran prinsip "netralitas politik" adalah sebuah paradoks besar.
Di satu sisi, IOC menuntut agar olahraga hidup di ruang steril yang bebas dari moralitas dan kemanusiaan.
Di sisi lain, sikap netral tersebut, dalam realitas konflik dan genosida, justru menjadi tindakan politik yang memihak kepada status quo dan rezim penindas.
IOC seolah-olah menyuruh Indonesia untuk membungkam hati nurani atas genosida yang disaksikan dunia.
Ambiguitas IOC semakin kentara saat praktik standar ganda diterapkan. Kontingen Rusia dikenai sanksi tegas hingga ditolak keikutsertaannya dalam berbagai ajang Olimpiade, termasuk Olimpiade 2024, sebagai respons atas konflik di Ukraina.
Jika IOC bisa mengambil tindakan politik yang keras atas konflik teritori, menjadi sangat aneh dan tidak berkeadilan jika mereka menekan Indonesia yang mengambil sikap atas isu pendudukan dan kejahatan kemanusiaan yang jauh lebih mendasar dan telah berlangsung puluhan tahun.
Penolakan visa terhadap atlet Israel ini adalah cermin dari tesis yang menyatakan olahraga bukanlah area netral.
Kompetisi internasional adalah panggung yang tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari konteks sosio-politik negara pesertanya.
Partisipasi atlet Israel, di tengah serangan brutal yang terjadi di Gaza, secara inheren mengandung muatan simbolik, yakni normalisasi dan pengakuan de facto atas negara tersebut.
Dengan menolak visa, Indonesia mengirimkan pesan tegas: Tidak ada normalisasi selama pendudukan dan kekejaman berlangsung.
Memang, langkah ini tidak terlepas dari ambiguitas, seperti yang diungkap oleh para pengamat.
Namun, penolakan visa atlet adalah afirmasi prinsip yang paling mendasar dan terlihat.
Itu adalah sikap politik yang memilih berprinsip, meskipun berisiko dijatuhi sanksi.
Pada akhirnya, Indonesia telah memilih untuk menjadi negara yang berani menanggung risiko demi menjunjung martabat kemanusiaan.
Sanksi IOC hanyalah harga yang harus dibayar oleh sebuah bangsa yang berani berprinsip.
Indonesia telah membuktikan, ia tidak hanya sekadar mengikuti arus diplomasi global, tetapi menjadi kompas moral di tengah badai standar ganda.
Di panggung dunia, Indonesia berdiri kokoh, mengirimkan pesan bahwa keadilan.
Dukungan bagi Palestina bukanlah urusan politik semata, melainkan amanat universal yang tak terpisahkan dari semangat olahraga itu sendiri. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Yayan Sakti Suryandaru
suara moral
IOC
standar ganda
Prabowo Subianto
Komite Olahraga Internasional
Universitas Airlangga
| Opini: Neka Hemong Kuni agu Kalo- Salinan Kerinduan dalam Mimbar Filosofis |
|
|---|
| Opini: Dari Cogito Ergo Sum ke Aku Klik Maka Aku Ada |
|
|---|
| Opini: Satu Data untuk Kemajuan Nusa Tenggara Timur |
|
|---|
| Opini: Pergeseran Makna Manusia sebagai Makhluk Politik, Dari Polis ke Platform |
|
|---|
| Opini: Manusia, Makhluk yang Tak Pernah Selesai Berbahasa |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.