Opini

Opini: Suara Moral Indonesia di Tengah Standar Ganda IOC

Sikap tegas ini menempatkan Indonesia semakin berpengaruh di panggung internasional, jadi tidak perlu gentar. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI YAYAN SAKTI SURYANDARU
Yayan Sakti Suryandaru 

Kini, penolakan Indonesia justru dipandang sebagai afirmasi prinsip yang berani.

Dampak dari penguatan posisi ini terasa nyata. Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum PBB, yang secara lugas dan berapi-api mengecam kekejaman Israel, dinilai telah mengguncang panggung global. 

Gaya retorika dan ketegasan ini mengingatkan banyak pihak pada pesona Proklamator Soekarno, menempatkan kembali Indonesia sebagai figur pemimpin negara non-blok yang memiliki daya tawar dan posisi yang jelas.

Pengaruh diplomatik Indonesia ini bukan lagi sebatas wacana. Ketika jutaan warga dunia turun ke jalan menyuarakan dukungan bagi Palestina, sikap Pemerintah RI menjadi cerminan dari hati nurani masyarakat internasional. 

Sanksi IOC, yang mengklaim menegakkan netralitas, sesungguhnya sedang berhadapan dengan volksgeist (semangat zaman) dan nurani global. 

Dalam konteks ini, suara Indonesia bukan lagi suara minoritas yang bisa diabaikan, melainkan moral anchor yang memandu kesadaran kolektif. 

Indonesia membuktikan konsistensi terhadap isu Palestina adalah aset diplomatik yang jauh lebih berharga daripada status tuan rumah ajang olahraga manapun.

Olahraga Bukan Area Netral, Melainkan Panggung Politik Moral

Klaim IOC yang menyebut penolakan Indonesia sebagai pelanggaran prinsip "netralitas politik" adalah sebuah paradoks besar. 

Di satu sisi, IOC menuntut agar olahraga hidup di ruang steril yang bebas dari moralitas dan kemanusiaan. 

Di sisi lain, sikap netral tersebut, dalam realitas konflik dan genosida, justru menjadi tindakan politik yang memihak kepada status quo dan rezim penindas. 

IOC seolah-olah menyuruh Indonesia untuk membungkam hati nurani atas genosida yang disaksikan dunia.

Ambiguitas IOC semakin kentara saat praktik standar ganda diterapkan. Kontingen Rusia dikenai sanksi tegas hingga ditolak keikutsertaannya dalam berbagai ajang Olimpiade, termasuk Olimpiade 2024, sebagai respons atas konflik di Ukraina. 

Jika IOC bisa mengambil tindakan politik yang keras atas konflik teritori, menjadi sangat aneh dan tidak berkeadilan jika mereka menekan Indonesia yang mengambil sikap atas isu pendudukan dan kejahatan kemanusiaan yang jauh lebih mendasar dan telah berlangsung puluhan tahun.

Penolakan visa terhadap atlet Israel ini adalah cermin dari tesis yang menyatakan olahraga bukanlah area netral. 

Kompetisi internasional adalah panggung yang tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari konteks sosio-politik negara pesertanya. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved