Breaking News

Opini

Opini: Pergeseran Makna Manusia sebagai Makhluk Politik, Dari Polis ke Platform

Polis menjadi tempat manusia belajar mengenali dirinya melalui keterlibatan dalam kehidupan publik. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Bernabas Unab 

Manusia sebagai subjek politik perlahan kehilangan otonominya. Ia bukan lagi penggerak sejarah, melainkan bagian dari mekanisme yang digerakkan oleh teknologi dan pasar. 

Heidegger pernah memperingatkan bahwa teknologi bukan sekadar alat, melainkan cara berpikir yang menata dan membatasi dunia. 

Dalam kerangka itu, politik kini diatur oleh logika kecepatan dan efisiensi, bukan oleh refleksi dan kebajikan. 

Segala sesuatu yang lambat dianggap usang, dan yang mendalam dianggap tidak relevan.

Michel Foucault menambahkan dimensi lain: kekuasaan tidak hanya datang dari atas, melainkan tersebar dalam jaringan sosial kehidupan sehari-hari. 

Di era digital, kekuasaan itu menjadi lebih lembut namun total. Korporasi teknologi menentukan apa yang kita lihat, pikirkan, dan percayai. 

Negara mungkin masih berdaulat secara hukum, tetapi secara epistemik kekuasaan berpindah ke tangan mesin dan algoritma. 

Inilah bentuk baru "biopolitik"—pengelolaan kehidupan manusia melalui data. 

Kita merasa bebas, tetapi kebebasan itu beroperasi di dalam ruang yang telah dikonstruksi oleh sistem.

Dalam situasi seperti ini, etika politik menjadi panggilan mendesak. Emmanuel Levinas mengingatkan bahwa tanggung jawab moral lahir dari kesadaran akan "Wajah Liyan"—pengakuan terhadap kehadiran orang lain yang menuntut kita untuk tidak acuh. 

Setiap tindakan, termasuk di ruang digital, memiliki konsekuensi etis terhadap kehidupan orang lain. 

Menulis, berbicara, atau membagikan informasi di media sosial bukan sekadar ekspresi diri, melainkan tindakan politik yang mengandung tanggung jawab moral. 

Etika digital yang sejati menuntut kebebasan yang disertai kesadaran, bukan kebebasan yang liar tanpa arah.

Jürgen Habermas pernah menegaskan bahwa komunikasi politik yang sehat harus didasarkan pada dialog dan saling pengertian. 

Namun ruang digital lebih sering mendorong polarisasi daripada pemahaman. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved