Opini

Opini: Keluarga sebagai Tempat Utama Humanisasi

Anak-anak mulai memberlakukan tubuh mereka sebagai kanvas atau objek nafsu dan bukan sebagai Bait Roh Kudus.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-FOTO BUATAN AI
ILUSTRASI 

Vitz menulis bahwa sudah saatnya kita mengenali “orang tua yang dianiaya” secara psikologis sebagai sindrom yang lazim.  

Persis di sini, kita melihat bahwa banyak anak tidak bertumbuh di tempat, di dalam komunitas di mana mereka seharus berada dengan nilai dan imajinasi yang mendukung pertumbuhan yang integral dan sehat secara spiritual. 

Sebaliknya, mereka berada di tempat atau grup media sosial berdasarkan apa yang menarik hasrat mereka. 

Dalam hal ini masyarakat, dan terutama orang tua tidak perlu heran kalau ternyata anaknya termasuk dalam grup WhatsApp dengan isi pembicaraannya memusat pada persoalan seksualitas yang tidak sehat. 

Harus dikatakan bahwa orang tua bertanggung jawab atas penyimpangan yang dilakukan anak-anak mereka.

Mengembalikan Keluarga

Dalam konteks pendidikan, salah satu kehilangan terbesar dari peminggiran keluarga adalah kita kehilangan imajinasi moral dalam tumbuh-kembang anak-anak. 

Kehilangan ini memiliki akibat. Kekristenan percaya bahwa manusia adalah imago Dei, bahwa hidup ini bermartabat dan punya tujuan yang melampaui urusan duniawi semata. 

Ketika imajinasi moral runtuh, kita kehilangan hal ini. Kita mulai melihat diri dan orang lain melalui lensa kegunaan, produktivitas, persaingan maupun tampilan. 

Anak-anak mulai memberlakukan tubuh mereka sebagai kanvas atau objek nafsu dan bukan sebagai Bait Roh Kudus. Melalui media sosial mereka mengkurasi identitas online mereka demi mendapatkan like and followers.

Ini berarti bahwa ketika mereka bertumbuh tanpa kesadaran akan panggilannya dalam hidup, mereka mulai dipengaruhi mentalitas dominan bahwa apa yang menggerakkan hidup adalah kesuksesan, bahkan persaingan dan penaklukan. 

Di sekolah, siswa mulai melihat guru sebagai musuh yang harus dikalahkan. Teman menjadi objek bullying dan seterusnya. Mereka tidak dibentuk untuk mencintai dan menyukai hal-hal yang indah dan benar. 

Mereka dibiarkan kelayapan sendirian dalam labirin komoditi imaji yang anti-tatanan moral yang sehat. Ini terjadi ketika peran asali keluarga dalam pendidikan anak dihilangkan dari wawasan tentang masa depan. 

Berhadapan dengan situasi ini, Gereja percaya bahwa keluarga adalah tempat utama humanisasi, medan pertama berseminya hubungan-hubungan antarmanusiawi dan merupakan sel-sel dasar dan sel-sel kehidupan masyarakat. 

Keluarga adalah institusi ilahi, Gereja Domestika, dan menjadi prototipe setiap tatanan sosial yang membentuk dasar kehidupan pribadi-pribadi. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved