Opini
Opini: Yuni Sine dan Kacang Turis NTT
Riset tidak boleh berhenti di mimbar akademik. Ia harus hadir di meja makan keluarga NTT dan mampu mengubah wajah NTT.
Oleh: Apolonius Anas
Mahasiswa Pascasarjana MPBI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
POS-KUPANG.COM - Memasuki usia ke-67 tahun sejak diresmikannya 20 Desember 2058, Provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT) terus dicap sebagai provinsi miskin, kering, dan tertinggal. Stigma itu terasa tidak adil, mengusik, dan melelahkan.
Data kerap memperkuatnya. Pada 2025, persentase stunting di NTT masih tertinggi, sekitar 37 persen.
Laporan BPS per Maret 2025 menempatkan NTT di peringkat keenam termiskin dengan 18,6 persen penduduk miskin.
Baca juga: Satgas Pangan Mabes Polri Sidak di Pasar Baru Atambua, Temukan Pedagang Jual Beras di Atas HET
Angka-angka ini menempel seperti notifikasi yang tidak pernah reda. Namun stigma itu bukanlah takdir yang harus ditangisi hingga keabadian.
Ia adalah narasi yang bisa ditantang dan diubah seiring berjalanya peradaban.
Paradoks di Tanah Flobamorata
Di balik label kemiskinan dan gizi buruk, NTT sebenarnya telah lama dikenal menyimpan kekayaan pangan lokal bergizi tinggi.
Sorgum, kelor, aneka umbi, hingga kacang turis selama ini hidup berdampingan dengan masyarakat NTT.
Sayangnya, posisi pangan lokal sering direndahkan, bukan karena miskin gizi, melainkan miskin riset, inovasi, dan edukasi dan sering diposisikan sebagai pangan alternatif.
Ambil contoh kacang turis yang di Manggarai dikenal sebagai ‘lusa’. Di banyak rumah di Timor, ia direbus bersama jagung, kacang tanah dan dedaunan yang dikenal sebagai ketemak disantap dengan sambal lu’at dalam suasana hangat keluarga.
Kesederhanaannya terpelihara lintas generasi, tetapi kandungan dan potensinya jarang dibaca dengan kacamata ilmu.
Riset Doktoral- Air Kacang Turis
Kabar baik datang dari Yogyakarta untuk Nusa Tenggara Timur. Dr. Yuni Sine, doktor Bioteknologi bidang Mikrobiologi Pangan lulusan UGM dan salah satu perintis Prodi Biologi Sains Universitas Timor (2017) berhasil mengangkat harkat kacang turis ke panggung akademik.
Ia menuntaskan ujian promosi doktor pada 21 Juli 2025 dan diwisuda pada 22 Oktober 2025.
Disertasinya berjudul “Isolasi, Identifikasi, dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat dari Air Rendaman Kacang Turis (Cajanus cajan L. Millsp) dan Potensinya sebagai Kultur Starter untuk Fermentasi Yoghurt Kacang Turis untuk Penurunan Glukosa Darah.”
Ini terobosan yang tajam sebab selama ini air rendaman kacang turis lazim dibuang.
Yuni membuktikan justru dari “air sisa” itu ia dapat mengisolasi bakteri asam laktat probiotik, lalu memfermentasikannya menjadi yoghurt nabati yang berpotensi menurunkan kadar glukosa darah.
Pangan tradisional berubah menjadi produk fungsional yang relevan bagi penyakit metabolik seperti diabetes.
Tim promotor yang dipimpin Prof. Prof. Widodo, Ph. D memuji capaian tersebut. Pesan penguji jelas.
Riset tidak boleh berhenti di mimbar akademik. Ia harus hadir di meja makan keluarga NTT dan mampu mengubah wajah NTT.
Bukan Kurang Pangan, Melainkan Kurang Pengetahuan
Sekarang anda bayangkan bahan pangan sederhana dari pulau Timor NTT setelah diintervensi oleh sentuhan ilmiah dan teknologi laboratorium, kini berubah menjadi produk kesehatan yang berpotensi melawan penyakit metabolik seperti diabetes sebagai penyakit yang banyak menyerang banyak manusia di bumi ini.
Pada temuan ini, kacang turis bukan hanya kandungan gizi tetapi jauh melampaui makna gizi itu sendiri yakni menyehatkan dan menyelamatkan nyawa para penderita diabetes.
Temuan Yuni menelanjangi ironi kita. NTT distigma malnutrisi, padahal tanahnya menumbuhkan pangan kaya nutrisi. Jarak yang sesungguhnya adalah pengetahuan.
Kita terlalu lama menganggap beras, roti, keju, dan susu impor sebagai standar gizi utama, sementara pangan leluhur di halaman sendiri disingkirkan. Ini bukan tentang perut tetapi cara berpikir.
Karena itu, kampanye gizi tidak cukup berupa bantuan paket pangan. Yang dibutuhkan adalah revolusi kesadaran riset bidang pangan yang memuliakan kekayaan lokal, edukasi gizi yang berbasis budaya, dan kebijakan yang menempatkan pangan NTT sebagai sumber martabat bukan sekadar alternatif murah.
Tugas Pemda Dari Wacana ke Kebijakan
Argumentasi dalam tulisan ini sangat jelas bahwa memang selama ini kurangnya kesadaran pemerintah provinsi NTT sebagai pemangku kebijakan untuk mengatur strategi kebijakan dalam memperlakukan pangan lokal secara komprehensif membuat masyarakat NTT mulai melupakan pangan lokalnya.
Setidaknya harus ada peraturan daerah tentang memperlakukan pangan lokal yang tersebar di berbagai daerah sebagai warisan nenek moyang orang NTT.
Pemerintah daerah perlu bergerak dengan peta jalan yang jelas melalui lima solusi berikut.
Pertama, tetapkan agenda riset terarah dan danai penelitian pangan lokal secara berkelanjutan dari hulu ke hilir, mencakup bioteknologi, pascapanen, hingga rekayasa produk.
Kedua, bangun inkubasi inovasi yang mempertautkan universitas,
UMKM, dan industri agar sorgum, kelor, umbi, serta kacang turis agar naik kelas menjadi yoghurt nabati, tepung fungsional, atau pangan siap saji bergizi.
Ketiga, jalankan edukasi masif dengan mengintegrasikan gizi berbasis pangan lokal ke kurikulum sekolah, layanan puskesmas, dan program PKK sehingga literasi gizi tumbuh sejak dini.
Keempat, arahkan pengadaan publik agar berpihak pada produk
lokal bergizi melalui rumah sakit, sekolah, dan instansi pemerintah sebagai jangkar pasar daerah.
Kelima, kembangkan standar dan label mutu daerah untuk menjamin
kepercayaan konsumen nasional.
Dengan rangkaian kebijakan ini, stunting dan kemiskinan tidak hanya diatasi di hilir tetapi didesak sejak dari hulu.
Melalui Turis, Tuhan Menolong NTT
Ada pesan sederhana sekaligus kuat dari riset doktoral Yuni Sine. Tuhan tidak menciptakan manusia NTT tanpa bekal. Di NTT, salah satu bekal itu bernama kacang turis.
Ia tumbuh di lahan kering, kaya nutrisi, berpotensi ekonomi, dan kini
terbukti bisa menjadi produk kesehatan. Yang kita perlukan adalah ilmu, keberanian, dan kemauan politik.
Dr. Yuni Sine, dosen Biologi Sains Universitas Timor, adalah teladan bahwa riset yang berakar di tanah sendiri bisa menyalakan harapan.
Dukungan LPDP, rekomendasi rektor Unimor untuk studi lanjut dari kampus dan kerja keras laboratorium bertemu dalam satu bukti otentik “potensi lokal pantas berdiri di panggung nasional”.
Dari kacang turis yang dulu dipandang biasa, lahir keyakinan
baru dimana perubahan tidak selalu datang dari luar, melainkan dari keberanian membaca ulang yang kita miliki.
Karena itu, ketika talenta pulang membawa ilmu dan solusi, tugas institusi hanyalah memberi ruang gerak agar mereka berkarya.
SDM berkualitas tidak untuk disia-siakan atau diasingkan oleh bancakan tabiat murahan para hamba yang senang dipretel miskin, tertinggal dan terbelakang.
Di sini jelas bahwa stigma bisa dipatahkan. Data bisa dibalik. Kedaulatan pangan bisa dibangun jika kaum inteletual dan para peneliti bidang pangan NTT berdiri dibarisan terdepan melawan derita dan tangisan abadi masyarakat NTT akibat terus dibulling terbelakang tertinggal, termiskin dan terburuk dalam gizi.
Jika pemerintah daerah serius, jika universitas konsisten, jika masyarakat percaya, maka narasi “ Nanti Tuhan Tolong” berubah menjadi “Hari ini kita bergerak.” Melalui kacang turis, Tuhan menolong NTT. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
| Opini: Menyambut Ajakan Gubernur NTT Soal Literasi |
|
|---|
| Opini: Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2758 dan Prinsip Satu Tiongkok Tidak Boleh Diputarbalikkan |
|
|---|
| Opini: Sebuah Komedi Situasi Fiskal di Ujung Timur |
|
|---|
| Opini: Reforma Agraria dan Kapabilitas |
|
|---|
| Opini: Popularitas, Paradoks dan Ancaman Krisis Kopi Arabika Bajawa |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.