Opini

Opini: Menyambut Ajakan Gubernur NTT Soal Literasi

Bagaimana di NTT? Meskipun Gerakan Literasi Sekolah sudah berjalan 10 tahun, tampak Gerakan literasi di NTT belum gebyar. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/EKLESIA MEI
Emanuel Kolfidus 

Oleh: Emanuel Kolfidus
Pegiat Literasi, tinggal di Kota Kupang
 
POS-KUPANG.COM- Sudah bukan rahasia, tingkat literasi Indonesia  rendah. 

Sebuah survei internasional memperlihatkan bahwa tingkat literasi di Indonesia sebesar 0,001 persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya seorang yang memiliki minat membaca. 

Tahun 2016, Pusat Penelitian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelengarakan tes INAP (Indoneian National Assesment Programme) untuk siswa klas IV SD dengan hasil tidak berbeda jauh dari hasil tes PISA (Programm of International Student Assesment). 

Kecakapan literasi peserta didik dalam bidang baca tulis, sains, dan numerasi masih tertinggal. Maka tahun 2015, Kementerian mengeluarkan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS); 10 tahun yang lalu. 

Baca juga: Literasi Berbuah di Taman Hati

Bagaimana di NTT? Meskipun Gerakan Literasi Sekolah sudah berjalan 10 tahun, tampak Gerakan literasi di NTT belum gebyar. 

NTT masih berada di peringkat 12 literasi nasional dalam hal Indeks Kegemaran Membaca (survei tahun 2023) oleh Perpustakaan Nasional. 

Peringkat yang lumayan baik, tentu atas dukungan dari sekolah-sekolah, lembaga dan orang per orang yang cukup gemar dan berminat dalam literasi. 

Benar saja, belum lama, Gubernur NTT, Melki Laka Lena mengeluh soal kecakapan literasi di NTT. 

Mengeluh berarti masih terdapat masalah, singkatnya masih rendah. Muncul terminologi yang agak horror: darurat literasi (Kompas, 19/9/2025). 

Selain keluhan, Gubernur NTT bergerak cepat dengan menetapkan satu kebijakan melalui Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Jam Belajar. 

Kami teringat saat NTT dipimpin Gubernur Frans Lebu Raya, diterbitkan program Gong Belajar. Hasil Gong Belajar saat itu cukup efektif. 

Tentunya dua nomenklatur kebijakan ini memiliki tarikan napas yang sama yaitu meningkatkan kecakapan literasi alias meningkatkan kualitas SDM anak-anak NTT. Kualitas SDM merupakan anak kandung dari kecakapan literasi. 

Suara Gubernur NTT harus ditanggapi serius. Pertama oleh OPD-OPD terkait yang berurusan langsung dengan literasi dan Jam Belajar melalui program literasi dan jam belajar. 

NTT sudah memiliki dasar yuridis soal literasi yakni Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pengembangan Budaya Literasi. 

Perda ini memiliki nomeklatur pengembangan yang mengindikasikan adanya penciptaan lingkungan sebagai kultur (cara hidup) literasi atau dalam bahasa kekinian, bagaimana menciptakan ekosistem literasi. 

Dalam terminologi ekosistem maka masalah literasi bukan hanya urusan pemerintah dan dinas terkait, tetapi menjadi masalah bersama, secara teknis, menjadi masalah para pihak (stake holders) : semua pihak yang memiliki kepentingan atau kepedulian terhadap suatu proyek dan dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan atau tindakan proyek tersebut. 

Para pihak bisa berupa individu, kelompok atau entitas lain. Ekosistem merujuk pada suatu istilah dalam ilmu biologi yang mengalami pengembangan konteks; sebagai suatu sistem yang terdiri dari gabungan makhluk hidup (komponen biotik-hidup) dan lingkungan fisiknya (komponen abiotik) yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain. 

Keluhan gubernur sangat serius baik sebagai kepedulian individu maupun menjadi kegelisahan bersama. Keluhan ini harus direspons dengan langkah-langkah strategis dan konkret bagaimana cara menumbuhkan kecakapan literasi di NTT dengan segera. 

Komitmen itu akan tergambar dari desain program dan anggaran pengembangan literasi di NTT dan bagaimana pemerintah mengajak kerja kolaborasi atau kerja gotong royong untuk ini. 

Paling tidak,  pemerintah memperkuat program Gerakan Literasi Sekolah, karena kelompok sasarannya sangat jelas : peserta didik yang menjadi fokus program; mereka terkonsentrasi, jumlah terbanyak dan dapat lebih efektif didekati oleh gerakan ini.

Untuk itu, pemerintah dapat mengundang pelaku-pelaku literasi di luar Satuan Pendidikan Formal guna berkolaborasi dengan komunitas literasi non formal dalam menggenjot atau mengakselerasi tingkat keberhasilan program. 

Sambil itu sejumlah pendekatan perlu dikembangkan menjadi bagian dari inovasi, seperti : 1) Menumbuhkan Lingkungan Kaya Literasi, 2) Menumbuhkan Keasyikan dalam Membaca/Menarik Minat baca, 3) Menumbuhkan Jejaring Literasi;

4) Angkat duta-duta literasi dan 5) Mengembangkan Literasi berbasis Digital sesuai dengan dunia para milenial dan gen Z. 

Pendekatan digitalisasi penting dan mutlak dalam memanfaatkan teknologi AI (Artificial Intelligence atau juga disebut Akal Imitasi). 

Ajak pelaku-pelaku literasi baik individu maupun komunitas di luar komunitas formal (sekolah) serta menciptakan iklim baru literasi yang up to date sebagai program literasi yang tumbuh dari bawah (bottom up). 

Mari sama-sama berbenah dan berjuang secara serius. Infrastruktur literasi harus dikuatkan dengan regulasi (payung hukum), inisiatif program dan alokasi anggaran yang sungguh berpihak guna menjawab keluhan gubernur. 

Kami sering melihat dan membaca berita, Jogyakarta sebagai juara satu literasi nasional menyelenggarakan Jogya Book Fair setiap tahun secara rutin. 

Rasanya tidak berlebihan, NTT boleh menghargai para pegiat literasi dengan menyelenggarakan event yang sama. 

Event ini akan memacu geliat literasi karena orang merasa dihargai karyanya. Orang tidak terlalu melirik setiap karya tulis semisal buku atau artikel-artikel. 

Belanja rokok, tembakau, sirih pinang, make up dan ongkos pesta, jauh lebih besar berlipat-lipat daripada belanja buku. Pada kenyataan, penghargaan kepada para penulis di NTT belum maksimal. 

Karena itu sekali lagi, Pemda perlu melibatkan publik dengan ragam pengalaman karena ciri utama dari Gerakan Literasi adalah pelibatan publik. Pemda dianjurkan merangkul dan memfasilitasi semua pemangku kepentingan Gerakan Literasi. 

Sebuah pesan spiritual berkata demikian: ikatlah ilmu dengan menuliskannya (Ali Bin Abi Thalib) atau pesan menohok lain oleh filsuf Romawi Kuno, Marcus Tullius Cicero yang mengatakan ruangan tanpa buku seperti tubuh tanpa jiwa. 

Mari dengan yakin memandang langit literasi NTT yang akan semakin cerah. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved