Opini
Opini: Konflik Israel-Palestina dan Dekontruksi Hati Nurani
Konflik keduanya sudah berlangsung lama, kurang lebih sudah seabad lamanya sejak setahun sebelum Israel mendeklarasikan kemerdekaannya.
Oleh: Gebrile Mikael Mareska Udu
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
POS-KUPANG.COM - Ketika saya menulis artikel ini, rasa-rasanya substansi artikel ini mungkin sekali dianggap telang “usang”.
Sebab saya percaya membahas konflik antara Israel-Palestina adalah topik yang tidak ada habis-habisnya.
Konflik keduanya sudah berlangsung lama, kurang lebih sudah seabad lamanya sejak setahun sebelum Israel mendeklarasikan kemerdekaannya.
Namun satu poin yang mesti direnungkan dari konflik terpanjang ini yakni kemanusiaan kita.
Sudah terkelupaskah nilai kemanusiaan dalam ingatan kolektif kita? Ataukah “ budaya kematian” sedang membingkai historisitas peradaban manusia di semua sudut bumi ini?
Baca juga: Israel Serang Pimpinan Hamas di Qatar
Kita bisa menyaksikan jumlah kematian satu orang, dua orang, ribuan orang, puluhan ribu orang yang tergeletak begitu saja di atas tanah Israel dan Palestina.
Belum lagi kesengsaraan mengerikan yang dialami oleh sisa-sisa manusia sebelum kematian menjemput.
Kompetisi ekonomi global, politik pengakuan, penetrasi budaya dan dominasi politik menjadi biang kerok dibalik peristiwa memilukan ini.
Ironi kemanusiaan yang dialami warga Israel dan Palestina adalah sesuatu yang wajar dari sisi “bayaran” untuk pergulatan itu.
Palestina dan Israel, entah berapa kilometer jaraknya dari tempat kita.
Berapa lembar dollar yang mesti dikeluarkan agar sampai di sana untuk menyaksikan macam apa bentuknya, sedahsyat apa teknologinya, dan sehangat apa persahabatan antar masyarakatnya — pada jarak manapun kita berdiri — saat cerita tentang perang Israel-Palestina masuk ke telinga kita— tetaplah mengundang rasa duka, terharu, trenyuh, yang tak terkirakan besarnya.
Kita yang begitu jauh dari Israel dan Palestina, dari asap duka yang mengepul, bau daging manusia yang terbakar, dan tangisan anak-anak yang merindukan pertolongan— terasa begitu dekat. Bahkan kita sepertinya menjadi bagian dari tragedi itu.
Hanya satu hal — ya satu-satunya — yang dapat menjelaskan mengapa jarak antara Palestina/Israel terasa dekat dengan kita atau kita sepertinya turut merasakan peristiwa yang dialami jutaan orang di sana yakni “kemanusiaan” kita.
Ia melampaui kategori atau spesifikasi geografis. Karena “kemanusiaan”, kita tergerak untuk menolong sebagaimana dilakukan oleh para sukarelawan dari berbagai negara yang memberi bantuan pangan kepada rakyat kecil di sana.
Tak dapat dimungkiri konflik Israel-Palestina yang telah menyengsarakan banyak masyarakat sipil mengindikasikan krisisnya “kemanusiaan” di antara kedua belah pihak.
Hal tersebut bukan karena ulah rakyat kecil melainkan rendahnya komunikasi para pemimpin kedua pihak.
Di sana tampaknya kemanusiaan menjadi urusan kedua setelah kepentingan politik.
Tak pelak jalan keluarnya ialah kematian dan kesengsaraan. Lantas konflik Israel-Palestina menyiratkan betapa sejarah peradaban kita telah dirampok oleh kedurhakaan segelintir orang (baca: pemimpin).
Peradaban kemanusiaan kita terpaku dalam kerangkeng ketamakan. Memang, kita tidak ada secara fisik menyaksikan ancaman kemanusiaan di balik konflik Israel-Palestina tetapi awan duka yang tersiar melalui pemberitaan media baik nasional maupun internasional telah menyentuh hati nurani kita.
Meskipun kita juga tidak berada di dalam ruang pertemuan para pemimpin kedua pihak ketika merancang operasi maut membombardir beberapa titik di wilayah masing-masing pihak, namun tentunya kita bertanya dimanakah hati nurani mereka akan sesama manusia.
Mengapa Tuhan begitu tega melahirkan orang-orang semacam ini? Mengapa Tuhan tidak mencabut nyawa mereka saja dibandingkan ribuan orang yang tak bersalah? Betapa manusia bangga bisa “mengkloning” sesamanya.
Patut diakui bahwa dunia dewasa ini telah menjadi “rahim” bagi kematian yang terjadi di sepanjang waktu.
Tatkala pola kekuasaan, politik, pemerintahan, kebudayaan, dengan seenaknya menjungkalkan nurani, ia serentak kehilangan kesempatan yang paling mulia untuk mendedikasikan diri pada kemanusiaan— selain kepada kepongahan dan kerakusan yang berujung kematian.
Betapa jelas semua ini telah mewarnai kehidupan umat manusia di seluruh dunia.
Ketika politik dijalankan tanpa nurani, niscaya rakyat kecil yang dijadikan korban.
Konflik antara Israel dan Palestina sejatinya mengandung pesan kemanusiaan yang harus dimaknai oleh siapa pun.
Pertama-tama, sebagai sesama ciptaan, penting untuk turut merasakan apa yang dirasakan oleh sesama dalam situasi apapun.
Di sini hati nurani menjadi sarana penyeimbang rasa kemanusiaan di antara sesama manusia.
Penderitaan yang dialami oleh masyarakat Israel-Palestina harus menjadi pengalaman menyakitkan bagi kita.
Oleh karena itu kita tergerak untuk tidak mengorbankan “kemanusiaan” kita demi tujuan tertentu.
Pesan kemanusiaan kedua hendak menggarisbawahi kedudukan martabat manusia yang jauh melampaui kekuasaan atau sistem politik. Martabat manusia mestinya tidak menjadi korban ambisi kekuasaan, kepentingan geopolitik dan agenda ideologis.
Sekiranya konflik antara Israel dan Palestina tidak menjadi contoh untuk dilakukan di lain tempat.
Nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi opsi utama dalam setiap sistem kekuasaan karena sejatinya tidak ada kemenangan kuasa yang sah dibangun di atas penderitaan manusia.
Pesan kemanusiaan terakhir adalah pentingnya usaha merubah cara pandang kita terhadap konflik ini.
Terkadang konflik dilihat sebagai sesuatu yang “biasa-biasa saja” dan lebih ironisnya menjadi ajang untuk mencari pembenaran politik padahal telah meluluhlantahkan kehidupan banyak orang.
Kita tidak sedang mencari siapa yang paling benar dan hebat tetapi bagaimana kita harus menyelamatkan mereka yang menderita.
Oleh karena itu penting sekali usaha untuk mencari jalan damai dalam setiap konflik. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Gebrile Mikael Mareska Udu
konflik Israel Palestina
Opini Pos Kupang
Kemanusiaan
Jalur Gaza
Palestina
budaya kematian
| Opini: Warisan Sehat dari Leluhur, Saatnya Kembali ke Akar Budaya Nusantara |
|
|---|
| Opini: Pendidikan Katolik dan Dunia yang Tabola Bale: Footnote dari Muspas KAK 2025 |
|
|---|
| Opini: Bahasa Multimedia |
|
|---|
| Opini: Fee Rujukan Pasien, Antara Marketing dan Kode Etik Profesi Kesehatan |
|
|---|
| Opini: Sebuah refleksi di Hari Pangan Sedunia 2025 |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.