Opini

Opini: Merawat Solidaritas Fiskal di Republik yang Tumbuh dari Daerah

Desentralisasi dibangun atas kepercayaan — bahwa kekuasaan publik harus dekat dengan rakyat agar negara bisa belajar. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI FAHMI PRAYOGA
Fahmi Prayoga 

Oleh: Fahmi Prayoga, S.E
Economist, Public Policy Analyst, and Researcher of SmartID

POS-KUPANG.COM - Dua puluh tahun lebih setelah reformasi, desentralisasi bukan lagi sekadar agenda administratif; ia adalah fondasi cara kita bernegara. 

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, arah itu seperti bergerak mundur perlahan — bukan dalam bentuk larangan eksplisit, tetapi melalui bahasa yang lebih halus: konsolidasi fiskal, efisiensi belanja, harmonisasi kebijakan pusat-daerah.

Kata-kata itu terdengar teknis, bahkan modern. Tapi jika dibaca dengan hati-hati, tersimpan kegelisahan yang lebih dalam: apakah republik ini masih percaya bahwa daerah adalah subyek pembangunan, bukan sekadar pelaksana kebijakan pusat?

Desentralisasi dibangun atas kepercayaan — bahwa kekuasaan publik harus dekat dengan rakyat agar negara bisa belajar. 

Baca juga: Dana Transfer Pusat ke Daerah Tahun 2026 Dipangkas, Kabupaten Belu Akan Kehilangan Rp 105 Miliar

Ketika ruang fiskal daerah mulai dipersempit, kepercayaan itu ikut menyusut. 

Kita mungkin sedang menulis ulang kontrak sosial tanpa menyadarinya, mengganti prinsip kedekatan dengan efisiensi, dan mengorbankan pembelajaran lokal demi keseragaman nasional yang belum tentu efektif.

Negara yang Tumbuh dari Pinggiran

Indonesia tidak pernah dibangun dari pusat. Ia lahir dari pinggiran — dari kota kecil, lembah, dan pesisir, di mana ide tentang “negara” hidup dalam wujud yang paling sederhana: layanan publik. 

Di sinilah rakyat berjumpa dengan negara, bukan dalam pidato, tetapi dalam tindakan. Karena itu, kesehatan fiskal daerah sejatinya adalah denyut vital negara itu sendiri.

Ketika pusat memutuskan untuk menahan atau mengurangi aliran dana ke daerah dengan alasan pengendalian defisit, ia mungkin sedang menjaga neraca nasional, tetapi sekaligus melemahkan otot republik di lapangan. 

Akibatnya, beban pelayanan publik di tingkat lokal meningkat, sementara kemampuan fiskal menurun.

Masalahnya bukan semata soal uang, melainkan soal rasa memiliki terhadap negara. 

Begitu daerah merasa kebijakan nasional hanya lahir dari kalkulasi teknokratik tanpa empati sosial, maka jarak politik akan melebar — bukan karena niat separatis, tapi karena ketidakmengertian. 

Negara yang terlalu sering bicara dari menara data lupa bahwa pembangunan selalu lahir dari ruang dengar, bukan ruang hitung. 

Ia kehilangan kemampuan mendengar denyut kecil dari daerah yang selama ini menjaga kestabilan republik dengan caranya sendiri.

Keadilan Fiskal sebagai Ekosistem Bukan Formula

Keadilan fiskal sering dibahas seolah persoalan angka dan proporsi. Padahal, ia adalah ekosistem kepercayaan. 

Ia tumbuh dari transparansi, partisipasi, dan kesediaan berbagi antarwilayah. 

Dalam ekosistem yang sehat, transfer fiskal bukan sekadar distribusi dana, tetapi mekanisme solidaritas nasional yang mengikat pusat dan daerah dalam satu kontrak moral yang saling memperkuat.

Daerah yang kaya sumber daya perlu merasa bahwa berbagi hasil bukan bentuk hukuman, melainkan ekspresi tanggung jawab sosial. 

Sebaliknya, daerah yang masih bergantung pada transfer pusat perlu menyadari bahwa kemandirian fiskal bukan berarti pemutusan relasi, tetapi bentuk kesetaraan yang bertanggung jawab.

Seperti ditegaskan Yilmaz dan Venugopal (2008), keberhasilan hubungan keuangan antarpemerintah bergantung pada the politics of intergovernmental trust — politik kepercayaan antarpemerintah. 

Tanpa kepercayaan itu, kebijakan transfer hanyalah pertukaran administratif tanpa makna kebangsaan. 

Maka keadilan fiskal harus dipahami sebagai ruang membangun solidaritas, bukan sekadar instrumen menutup defisit antarwilayah.

Desentralisasi yang Belajar, Bukan Meniru

Tantangan kita hari ini bukan menambah atau mengurangi desentralisasi, tetapi menjadikannya cerdas dan adaptif. 

Desentralisasi yang belajar adalah desentralisasi yang mampu mengolah pengalaman lokal menjadi sumber inovasi nasional.

Artinya, daerah harus menjadi tempat belajar bagi negara — bukan  sekadar penerima perintah. 

Bayangkan jika inovasi fiskal lokal seperti obligasi daerah, digital budgeting, atau pembiayaan kolaboratif antarwilayah diangkat menjadi inspirasi kebijakan nasional. Negara akan belajar dari pinggiran, bukan sebaliknya.

Itu pula semangat yang dibangun OECD (2021) dalam konsep multi-level governance learning system — bahwa stabilitas nasional hanya mungkin lahir dari interaksi pembelajaran antarlevel pemerintahan. 

Dalam tatanan seperti ini, kolaborasi menjadi bentuk baru dari kekuasaan, dan belajar menjadi wujud baru dari kepemimpinan.

Kita perlu bergeser dari logika kontrol menuju logika kolaborasi. Karena pada akhirnya, kekuasaan yang paling kuat bukanlah yang memerintah, tetapi yang bersedia belajar dari bawah. 

Dalam logika itu, pemerintahan bukan lagi sistem komando, melainkan jejaring pengetahuan yang hidup.

Mengembalikan Politik Fiskal ke Hati Republik

Konsolidasi fiskal tidak salah. Tetapi ketika ia dijalankan tanpa membangun narasi keadilan, ia kehilangan legitimasi moralnya. 

Yang dibutuhkan hari ini bukan sekadar neraca yang seimbang, tetapi politik fiskal yang berkeadaban — kebijakan yang menghitung tanpa melukai, yang menata tanpa menundukkan.

Kita memerlukan keberanian untuk mengatakan bahwa efisiensi tidak boleh menggantikan empati. 

Bahwa governance tidak bisa hanya soal prosedur, tetapi juga soal perasaan — tentang bagaimana kebijakan dirasakan di tempat paling jauh dari Jakarta.

Jika republik ini ingin bertahan sebagai satu kesatuan yang bermartabat, maka ia harus kembali menegaskan: keadilan fiskal adalah bahasa baru dari persatuan nasional. 

Negara hanya sekuat kemampuan daerah-daerahnya untuk bertahan, belajar, dan berharap.

Karena pada akhirnya, republik ini tidak dibangun dari kemampuan pusat menjaga keseimbangan angka, tetapi dari ketulusan daerah menjaga keseimbangan makna. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved