Breaking News

Opini

Opini: Aset Rakyat Masuk Pegadaian, Tanda Dapur Ekonomi Sedang Terbakar Senyap

Kini, Pegadaian menjadi titik pertama saat kebutuhan ekonomi mengetuk pintu secara paksa. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Ricky Ekaputra Foeh.,MM 

Oleh: Ricky Ekaputra Foeh, MM
Dosen FISIP Undana Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Di saat pemerintah masih percaya diri menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional berada pada tren positif, kenyataan di lapangan menunjukkan wajah berbeda. 

Pegadaian penuh, sementara rekening tabungan masyarakat justru semakin tipis.  Gejolak ekonomi mikro ini tidak muncul dalam grafik pertumbuhan atau rilis BPS. 

Baca juga: Harga Emas di Pegadaian Pagi Hari Ini Senin 13 Oktober 2025, Menguat Tipis, Cek Rinciannya

Ia hadir dalam bentuk antrean warga membawa cincin kawin, HP, hingga alat kerja untuk ditukar dengan uang cepat.

Fenomena ini terjadi diam-diam. Tidak ada keributan, tidak ada demonstrasi. Tetapi diam-diam, dapur ekonomi rakyat sedang terbakar.

Pegadaian Bertransformasi Menjadi “ATM Darurat” Keluarga Miskin-Produktif

Dulu, masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi akan mendatangi bank, koperasi simpan pinjam, atau BUMDes. 

Kini, Pegadaian menjadi titik pertama saat kebutuhan ekonomi mengetuk pintu secara paksa. 

Yang lebih mencemaskan, uang hasil gadai bukan lagi dipakai untuk modal kerja atau perputaran ekonomi, melainkan untuk bertahan hidup.

Contoh faktual yang mudah ditemui: Seorang ibu di Kupang menggadaikan cincin kawin hanya untuk membeli beras dan susu bagi anaknya.

Driver ojek online menaruh HP cadangan ke Pegadaian demi menutup tunggakan cicilan motor.

Petani melepas alat semprotnya, lalu ironisnya menyewa alat baru setiap hari hanya agar tetap bisa bekerja.

Inilah tanda bahwa rumah tangga tidak lagi dalam fase membangun, tetapi dalam fase bertahan. 

Pegadaian bukan sedang membantu masyarakat “mengembangkan aset”, tetapi mengulur waktu sebelum aset benar-benar hilang.

Tabungan Mengering: Fondasi Ekonomi Rumah Tangga Mulai Retak

Tabungan kecil yang selama ini menjadi penyangga darurat keluarga pekerja kini menghilang lebih cepat dari jadwal gajian. 

Bank daerah mencatat lonjakan penarikan rekening-rekening dengan saldo di bawah Rp500.000.

Pola ekonomi keluarga kelas bawah kini berubah tajam:

> Dulu: Gaji → Konsumsi → Sisakan sedikit → Tabung

Sekarang: Gaji → Bayar cicilan → Cairkan tabungan → Gadai barang → Bertahan hidup

Inilah gejala awal disintegrasi ketahanan ekonomi rumah tangga. Bukan karena mereka tidak bekerja, tetapi karena penghasilan tidak lagi cukup untuk menebus apa yang mereka gadaikan.

Lahirnya Kemiskinan Generasi Baru

Ketika tabungan habis dan barang mulai berpindah tangan, bel berlambatnya intervensi negara seharusnya sudah berbunyi keras. 

Cincin, ponsel, alat kerja, bahkan sepeda motor — yang selama ini menjadi jaring pengaman ekonomi — pelan-pelan berpindah ke etalase Pegadaian

Jika barang tak ditebus, aset itu akan dibeli orang lain, dan rakyat kehilangan kesempatan untuk memulihkan daya ekonominya.

> Kita sedang menuju fase baru: masyarakat bukan lagi hanya miskin uang, tetapi miskin alat untuk bangkit kembali.

Langkah Intervensi: Pemerintah Harus Turun Sebelum Aset Rakyat Hilang Total

Krisis ini tidak bisa dihadapi hanya dengan seminar dan imbauan umum. Diperlukan langkah operasional, langsung menyentuh ruang dapur, bukan sekadar ruang rapat.

1. Bentuk Tim Tanggap Ekonomi Rumah Tangga di Level Kelurahan

Komposisi praktis: Lurah – RT/RW – Pegadaian – Bank Daerah

Tugas utama: Mendata warga yang sudah gadai lebih dari dua kali dan yang saldonya di bank terus menipis sebelum gajian.

Data ini menjadi detektor kemiskinan dini — bukan setelah mereka masuk kategori miskin secara administratif.

2. Terapkan Mekanisme Tebus Barang Harian

  • Buat kebijakan penebusan bertahap Rp10.000–Rp20.000 per hari
  • Pegadaian tetap untung, rakyat masih punya kesempatan menebus aset
  • Lebih baik warga mencicil asetnya kembali daripada barang langsung berpindah kepemilikan.

3. Dana Bergulir Ultra-Mikro Tanpa Proposal

  • Nominal fleksibel: Rp300.000 – Rp700.000
  • Tanpa proses birokrasi rumit, cukup KTP domisili RT
  • Pembayaran harian melalui agen BUMDes/kelurahan
  • Dana hanya untuk usaha mikro berputar cepat, bukan konsumsi semata

> Rp500.000 jika hanya untuk bayar listrik memang habis. Tapi jika diputar jual kopi atau gorengan, bisa menciptakan arus kas harian Rp30.000–Rp50.000.

4. Program “Pendampingan dari Uang Gadai”

Setiap warga yang menggadai barang harus diarahkan ke Posko Ekonomi Kelurahan.

Melalui one-hour coaching, mereka diajarkan:

  • Cara mengubah uang gadai jadi modal putar
  • Cara mengatur pemasukan kecil agar bisa menebus barang kembali
  • Biayanya murah, dampaknya signifikan menyelamatkan aset dari hilang permanen

5. Wajibkan Bank Daerah Melaporkan Rekening Rakyat yang ‘Gundul’

Selama ini bank hanya sibuk mengumumkan kredit. Pemerintah justru butuh laporan saldo mikro yang terus tergerus. Ini adalah sensor dini tekanan ekonomi rumah tangga.

Penutup

Ekonomi rakyat tidak selalu jatuh karena badai besar, resesi, atau krisis global. 

Kadang ia runtuh karena satu cincin yang digadaikan dan tidak pernah kembali. Dari situ, martabat pelan-pelan memudar, dan negara baru sadar ketika semuanya sudah terlambat.

Jika kebijakan hanya mengejar statistik, kita akan kalah oleh realitas yang berjalan di lorong Pegadaian.

Namun, jika negara mau menatap antrean itu sebagai alarm, bukan sekadar transaksi, maka masih ada harapan menyelamatkan aset dan martabat rakyat kecil. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved