Cerpen

Cerpen: Ketika Panggilan Hati Bersua dengan Panggilan Ilahi

Pertemuan mereka sering terjadi, terutama karena mereka sama-sama terlibat dalam persiapan perayaan Paskah. 

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/HO
ILUSTRASI 

Mereka tertawa, dalam tertawa itu Lukas merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekedar agape. Itu adalah eros, benih romantis yang dilarang bagi seorang calon imam. 

Debar jantung Lukas kini menjadi liturgi rahasia yang ia jalani sendiri. Setiap kali ia memimpin ibadat di hadapan umat, ia merasa cemas dan bersalah. 

Ia takut wajah Maya akan muncul di antara wajah-wajah kudus. Ia takut ia tidak jujur kepada Tuhan, kepada umat, dan kepada dirinya sendiri. 

Pergulatan batin ini mencapai puncaknya menjelang akhir masa TOP. Lukas harus menulis refleksi akhir dan membuat keputusan pasti: Kembali ke seminari untuk dithabiskan diakon, atau mengajukan penundaan dan mempertimbangkan kembali panggilannya.

Pastor Paroki, Romo Eman, yang bijaksana, memanggil Lukas.

“Lukas,” kata Romo Eman sambil menatap salib di dinding, “Saya perhatikan semangatmu, tapi saya juga melihat pergolakan di matamu. Ini bukan hal baru, nak. Panggilan Tuhan tidak pernah menghilangkan fitra kita sebagai manusia. Dan kebebasan untuk memilih ada di tanganmu, kebahagianmu ada padamu, jangan mengambil keputusan dalam keadaan bimbang dan gembira, tetapi putuskan pilihanmu di saat kamu mempertimbangakan semuanya itu.”

Lukas menuduk, mengakui kesalahanya. “Saya… saya rasa saya jatuh cinta pada Maya Romo. Dan saya merasa seperti telah mengkianati janji saya.”
Romo Eman tersenyum tipis. 

“Cinta tidak pernah merupakan pengkhianatan, Lukas. Ia adalah penerang. Sekarang, tugasmu adalah bertanya: Cahaya dari cinta ini, apakah ia mengarahkanmu mendekatkan pada Tuhan, atau justru menjauhkannya dari altar?”

Romo Eman melanjutkan, “Imamat adalah sebuah persembahan, kamu mempersembahakan dirimu secara utuh, termasuk hasrat dan kesempatan untuk berkeluarga. Jika kamu memilih imamat, kamu harus melepaskan Maya dengan hati yang damai, karena kamu memilih Kristus sebagai mempelaimu. Tapi jika hatimu berseru lantang untuk mencintai seorang wanita dan membangun keluarga, maka kamu harus berani meninggalkan jubah ini demi sakramen perkawinan.”

Lukas kembali ke kamarnya. Ia merenung semalaman. Ia memegang alkitab, lalu memejamkan mata, membiarkan wajah Maya dan suara imamat saling beradu di benaknya. Keeskoan paginya, ia mencari Maya. Mereka bertemu di taman gereja yang sepi. 

“Maya,” ucap Lukas, suaranya manta, meski ada sedikit rasa sakit di sana. “Masa praktik saya akan segera berakhir.” 

Maya menatapnya dengan senyum lembut. “Saya tahu, Frater Lukas. Kami akan merindukanmu.”

“Saya juga akan merindukan desa ini…dan kamu,” kata Lukas jujur. Ia mengambil napas dalam-dalam. 

“Maya, saya datang bukan untuk menyatakan perasaan. Saya datang untuk menyatakan keputusan.”

Ia menatap mata Maya. “Saya menemukan di sini, di desa ini, bahwa saya harus membuat pilihan yang paling jujur. Saya harus memilih jalan yang akan saya jalani seumur hidup. Dan saya sudah memilih.”

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved