Opini

Opini: Sakti Pancasila Teguh Iman, GMIT Menapaki Tugas Besar di Tanah Timor

Pancasila sakti, iya. Tapi sakti karena apa? Karena dipelihara dengan darah dan air mata rakyat kecil, bukan semata oleh seremoni negara.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI JOHN MOZES HW NERU
John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Tanpa keadilan, kesetiaan dan kerendahan hati, baik iman maupun Pancasila hanya tinggal slogan. Dengan itu, keduanya menemukan sakralitasnya dalam kehidupan sehari-hari.

Persidangan Sinode Istimewa

Di hari yang sama, GMIT menggelar Persidangan Sinode Istimewa untuk menetapkan Pokok-Pokok Ajaran (PPA). 

Momentum ini sungguh menarik. GMIT sebagai salah satu lembaga keagamaan terbesar di NTT sedang menegaskan kembali apa yang sebenarnya menjadi dasar imannya. 

Ada 57 pokok ajaran yang dirumuskan, dari soal Allah Tritunggal, keluarga, politik, kemiskinan, hingga isu kontemporer seperti artificial intelligence.

Ini bukan perkara kecil. Dalam sejarahnya, GMIT berdiri di tanah kering, tanah diaspora, tanah perbatasan. Gereja ini bukan hanya saksi iman, tetapi juga saksi penderitaan sosial. 

Karena itu, ujian lembaga ini bukan semata-mata soal kesetiaan pada tradisi rohani, melainkan juga soal keberanian untuk menjawab pertanyaan: 

Apakah ajaran yang ditetapkan di mimbar bisa menyapa mereka yang antre kapal di Tenau, yang kerja sebagai PRT di Malaysia, atau yang menanti air bersih di kampung-kampung Timor?

Kepungan Lembaga Agama dan Tantangan Sejati

Mari kita jujur sejenak. NTT adalah salah satu provinsi dengan kepadatan lembaga agama yang luar biasa. 

Gereja hampir ada di setiap kampung, sekolah Kristen dan Katolik berdiri di banyak kecamatan, pesantren juga bertumbuh. Kadang-kadang rasanya jumlahnya lebih banyak daripada puskesmas. 

Tetapi pertanyaan pedihnya: apakah kehadiran yang padat itu sepadan dengan perubahan sosial yang dirasakan?

Satir seperti ini perlu kita telan: NTT penuh dengan doa, tapi tetap miskin. Penuh dengan liturgi, tapi warganya masih banyak yang jadi korban perdagangan orang. 

Penuh dengan kotbah, tapi korupsi di birokrasi lokal tak juga surut. Kehadiran kelembagaan agama memang riuh, tetapi ujian sejati ada pada daya ubahnya terhadap kenyataan pahit.

Dalam konteks itu, Persidangan GMIT ini penting. Ia bukan sekadar rutinitas gerejawi, melainkan kesempatan untuk menunjukkan bahwa iman yang dihidupi sungguh-sungguh bisa menjadi kompas moral dan daya kritis bagi kehidupan masyarakat.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved