Opini
Opini: Saat Beras Jadi Ketergantungan, Pangan Lokal Bisa Jadi Solusi
Ubi jalar, sorgum, jagung, dan umbi-umbian lainnya sejak lama dikenal sebagai tanaman yang tahan terhadap kekeringan dan lahan marginal.
Oleh: Hildegardis Missa
Mahasiswa Program Doktoral Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
POS-KUPANG.COM - Pangan masih menjadi isu krusial di Nusa Tenggara Timur ( NTT). Meski wilayah ini kaya akan sumber daya hayati, masyarakatnya justru rentan terhadap krisis pangan.
Fenomena stunting yang tinggi, ketergantungan pada beras impor, serta produksi pertanian yang rentan akibat iklim ekstrem menjadi gambaran nyata persoalan ini.
Ironisnya, di tengah kerentanan tersebut, pangan lokal yang adaptif terhadap kondisi alam NTT justru belum dimanfaatkan optimal.
Ubi jalar, sorgum, jagung, dan umbi-umbian lainnya sejak lama dikenal sebagai tanaman yang tahan terhadap kekeringan dan lahan marginal.
Baca juga: Opini: NTT Darurat Literasi, Dari Seremoni ke Evidensi
Ubi jalar misalnya, mampu tumbuh di tanah kering dengan input minimal, sementara sorgum memiliki keunggulan gizi serta daya tahan terhadap cuaca panas.
Namun, dalam praktiknya, pangan lokal ini sering dipandang sebagai “pangan kelas dua” dibanding beras.
Kebijakan pangan dan pola konsumsi masyarakat pun lebih banyak berorientasi pada beras, sehingga komoditas lokal hanya menjadi pelengkap, bukan penopang utama ketahanan pangan.
Persoalan lain yang memperlemah posisi pangan lokal adalah keterbatasan pengolahan pascapanen.
Ubi jalar, misalnya, lebih sering dijual dalam bentuk segar dengan harga rendah.
Padahal, jika diolah menjadi tepung, keripik, atau bahan baku industri pangan sehat, ubi jalar bisa memiliki nilai tambah tinggi.
Rendahnya diversifikasi produk membuat petani kehilangan insentif untuk mengembangkan komoditas lokal secara berkelanjutan.
Masalah distribusi dan infrastruktur juga ikut memperburuk kondisi. Banyak daerah di NTT yang sulit dijangkau, sehingga kelebihan produksi di satu wilayah tidak dapat menutup kekurangan di wilayah lain.
Akibatnya, pangan lokal yang berlimpah sering terbuang, sementara masyarakat di daerah lain menghadapi kelangkaan.
Di sisi lain, nilai sosial beras sebagai simbol kesejahteraan memperkuat pergeseran konsumsi masyarakat, yang semakin meninggalkan pangan lokal.
Namun, di balik tantangan itu tersimpan peluang besar. Pangan lokal bisa menjadi solusi strategis untuk menjawab krisis pangan NTT, sekaligus memperkuat kemandirian pangan nasional.
Pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memperkuat inovasi dalam budidaya, pengolahan, dan pemasaran pangan lokal.
Ubi jalar ungu dengan kandungan antioksidannya yang bermanfaat sebagai antioksidan dan penangkal radikal bebas, serta ubi jalar kuning dengan kandungan beta-karoten yang bermanfaat bagi kesehatan mata misalnya, bisa diposisikan sebagai bahan baku industri pangan fungsional yang sedang tren.
Jagung dan sorgum pun bisa dikembangkan menjadi berbagai produk modern yang lebih menarik bagi generasi muda.
Pangan lokal bukan hanya soal ketersediaan, tetapi juga tentang identitas dan keberlanjutan.
Mengandalkan beras impor hanya akan memperpanjang kerentanan, sementara menghidupkan kembali pangan lokal berarti memperkuat akar kemandirian daerah.
Melalui diversifikasi konsumsi, pengolahan kreatif, serta dukungan kebijakan yang berpihak, pangan lokal dapat naik kelas menjadi pilar utama ketahanan pangan NTT.
Mengangkat potensi pangan lokal bukan sekadar wacana nostalgia, tetapi langkah nyata menghadapi krisis pangan.
Sudah saatnya NTT berdiri di atas kekuatan sendiri, dengan menjadikan pangan lokal sebagai fondasi utama menuju ketahanan pangan yang berkelanjutan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.