Opini
Opini: Tunjangan di Tanah Kering, Etika Anggaran, Kapabilitas dan Subsidiaritas yang Ditinggalkan
Hitungan mereka sederhana: dengan memangkas tunjangan, provinsi bisa menghemat Rp 20–25 miliar per tahun.
Oleh : John Mozes Hendrik Wadu Neru
Pendeta GMIT yang berkarya di Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Kebijakan Pergub NTT No. 22/2025 tentang tunjangan DPRD telah menyalakan polemik yang tak bisa diremehkan.
Dalam pemberitaannya, CNN Indonesia dan Derana NTT menyampaikan bahwa tunjangan perumahan DPRD mencapai Rp 23,6 juta per bulan per anggota, sementara total paket perumahan dan transportasi diperkirakan ±Rp 41,4 miliar per tahun.
Angka-angka ini cepat menjadi viral: disiarkan di radio, diperdebatkan di YouTube “VIRAL NTT”, hingga diunggah berulang kali dalam reels Instagram.
Puncak kegelisahan tampak dalam aksi mahasiswa pada 1 September 2025 di Kupang. Mereka turun ke jalan, menuntut rasionalisasi tunjangan.
Baca juga: Opini: Ekonomi Politik Kenaikan Tunjangan DPRD NTT
Hitungan mereka sederhana: dengan memangkas tunjangan, provinsi bisa menghemat Rp 20–25 miliar per tahun.
Di tengah NTT yang kerap disebut “tanah kering”, publik melihat ironi telanjang: mengapa air bersih sulit dijangkau, tetapi tunjangan mengalir deras ke rekening para wakil rakyat?
Angka, Kapabilitas dan Ironi
Mari pegang angka lebih rinci. Dalam tulisannya, GoodStats menguraikan bahwa dengan 65 anggota, tunjangan perumahan Rp 23,6 juta per bulan menghasilkan Rp 18,41 miliar per tahun.
Sementara tunjangan transportasi, yang mencapai Rp 31,8 juta untuk ketua, Rp 30,6 juta untuk wakil dan Rp 29,5 juta untuk anggota, menghabiskan Rp 23,08 miliar per tahun.
Total dua pos ini berdiri kokoh di angka Rp 41,49 miliar per tahun. Namun, dalam pemberitaannya Pos Kupang melaporkan sesuatu yang lebih mengejutkan: tunjangan perumahan ini naik hampir 100 persen dari Rp 12,5 juta (Pergub 72/2024) menjadi Rp 23,6 juta (Pergub 22/2025).
Lonjakan ini sulit dijelaskan dengan inflasi atau kebutuhan riil. Apalagi, survei harga sewa rumah di Kota Kupang menunjukkan tarif wajar untuk rumah yang layak berada di kisaran Rp 5–7 juta per
bulan.
Artinya, tunjangan yang diberikan tiga hingga empat kali lipat dari Harga pasar.
Hal serupa terjadi pada transportasi. Pos Kupang menulis bahwa tunjangan Rp 29–31 juta per bulan per anggota melampaui Standar Biaya Umum Pemprov NTT, yang menetapkan biaya sewa kendaraan 2.600–2.800 cc dalam kota sekitar Rp 17,5 juta per bulan.
Maka, tunjangan DPRD bukan hanya lebih tinggi dari realitas pasar, tetapi juga melampaui standar resmi pemerintah.
Kontras ini makin tajam jika dibandingkan dengan data kemiskinan. BPS NTT (Maret 2025) mencatat bahwa 18,60 persen penduduk atau sekitar 1,09 juta jiwa masih hidup miskin, dengan garis kemiskinan Rp 549.607 per kapita per bulan.
Artinya, satu bulan tunjangan rumah anggota DPRD (Rp 23,6 juta) setara dengan biaya hidup 40 orang miskin selama sebulan.
Di tanah yang kering, ironi ini seperti gurun yang ditanami kolam renang pribadi.
Kapabilitas Siapa yang Diperluas?
Amartya Sen dalam Development as Freedom mengingatkan bahwa pembangunan harus dilihat dari sejauh mana ia memperluas capabilities - kebebasan nyata orang untuk “menjadi” dan “berbuat”.
Pertanyaan etisnya jelas: apakah tunjangan Rp 41,4 miliar memperluas kemampuan rakyat NTT untuk mengakses air, sekolah, atau kesehatan?
Jawabannya menyakitkan: kapabilitas rakyat tetap terbatas, sementara kapabilitas elit yang bertambah. Dengan tunjangan itu, anggota DPRD memperluas kemampuan menyewa rumah mewah, menikmati mobilitas nyaman dan memperlebar margin representasi.
Tetapi kapabilitas petani tetap ditentukan hujan, kapabilitas anak sekolah tetap ditentukan jarak tempuh dan kapabilitas pasien tetap ditentukan panjang antrean di puskesmas.
Ironi politik ini begitu jelas: di tanah kering, yang dialirkan bukan air ke ladang rakyat, tetapi tunjangan ke rekening pejabat.
Subsidiaritas yang Ditinggalkan
Dalam ajaran sosial Gereja, subsidiaritas adalah prinsip emas: keputusan harus dibuat sedekat mungkin dengan rakyat dan otoritas di atas hanya berperan menopang, bukan mendominasi.
Subsidiaritas adalah penghargaan terhadap martabat komunitas kecil.
Namun, kebijakan Pergub 22/2025 justru membalik prinsip itu. Alih-alih menopang desa, sekolah atau puskesmas, anggaran justru disedot ke pusat kekuasaan DPRD.
Dalam pemberitaannya, Pos Kupang mengutip pernyataan Ombudsman NTT yang menegaskan perlunya review Pergub agar sesuai dengan Standar Biaya Umum dan harga riil, untuk menghindari masalah hukum di kemudian hari.
Kritik ini menunjukkan kebijakan ini bukan hanya bermasalah secara moral, tetapi juga berisiko secara teknokratis dan legal.
Lebih jauh, laporan Pos Kupang menyebut organisasi mahasiswa bahkan sudah mengadukan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi NTT dengan dugaan mark-up dan ketidakwajaran.
Artinya, isu ini sudah melangkah dari ruang moral ke ruang hukum.
Kilah dan Jawaban
Dua alasan klasik sering dikemukakan pembela kebijakan ini. Pertama: “tunjangan tinggi mencegah korupsi.” Seakan-akan integritas bisa dibeli. Faktanya, integritas lahir dari budaya transparansi, sistem pengawasan dan partisipasi publik.
Tanpa itu, tunjangan tinggi hanya menjadi bantalan empuk dan bukan benteng moral.
Kedua: “Pergub sah secara hukum.” Benar, sah secara legal. Tetapi legalitas bukanlah legitimasi moral.
Pertanyaannya: apakah kebijakan ini selaras dengan prinsip keadilan sosial dan memperluas kapabilitas rakyat? Jika jawabannya tidak, maka kebijakan itu tetap cacat di mata publik.
Rasionalisasi: Dari Efisiensi ke Etika
Rasionalisasi bukan memiskinkan DPRD, melainkan mengembalikan proporsi. Pemotongan 30–50 persen pada pos perumahan dan transportasi akan menghemat Rp 12–20 miliar per tahun.
Jika skema transportasi diubah menjadi pooling kendaraan dinas atau reimburse berbukti, tambahan hemat Rp. 7–9 miliar bisa diperoleh. Total efisiensi realistis Rp 20–25 miliar per tahun.
Namun, penghematan hanya langkah awal. Pertanyaan yang lebih penting: ke mana dana ini dialirkan? Jika diarahkan dengan prinsip capability dan subsidiaritas, maka sasaran utamanya jelas:
- Air bersih dan sanitasi desa - lewat sumur bor, embung kecil atau jaringan pipa sederhana.
- Puskesmas dan posyandu - dengan alat medis dasar, rantai dingin vaksin dan tenaga kontrak berbasis kinerja.
- Jalan tani dan akses sekolah - agar hasil panen tidak berhenti di jalan berlumpur dan anak-anak tidak putus sekolah.
Setiap rupiah hasil efisiensi harus melewati uji capability: apakah ini menambah kebebasan nyata rakyat untuk hidup bermartabat?
Refleksi: Cermin Moral Publik
Ironi paling pahit justru datang dari data itu sendiri. Dalam pemberitaannya, Pos Kupang menulis bahwa garis kemiskinan di NTT Rp 549.607 per bulan.
Maka, satu bulan tunjangan rumah anggota DPRD setara dengan biaya hidup 43 orang miskin.
Inilah kontras yang tak bisa ditutupi dengan retorika pembangunan. Pertanyaan reflektifnya sederhana namun tajam yang patut diajukan kemudian:
- Apakah tunjangan DPRD benar memperluas kapabilitas rakyat atau hanya memperlebar jurang sosial?
- Apakah subsidiaritas sungguh dijalankan, atau hanya jargon yang dipajang di atas kertas?
- Apakah pantas menyebut diri “wakil rakyat” bila rakyat bertahan hidup dengan setengah juta rupiah, sementara wakilnya menerima Rp. 23 juta hanya untuk rumah?
Etika anggaran adalah cermin moral.
Di tanah yang kering, ia seharusnya menjadi hujan pertama yang menyuburkan kehidupan. Tetapi jika ia hanya memperbesar kolam renang rumah dinas, rakyat akan terus menimba air dari sumur kosong. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.