Opini

Opini: Tunjangan di Tanah Kering, Etika Anggaran, Kapabilitas dan Subsidiaritas yang Ditinggalkan

Hitungan mereka sederhana: dengan memangkas tunjangan, provinsi bisa menghemat Rp 20–25 miliar per tahun. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Lebih jauh, laporan Pos Kupang menyebut organisasi mahasiswa bahkan sudah mengadukan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi NTT dengan dugaan mark-up dan ketidakwajaran. 

Artinya, isu ini sudah melangkah dari ruang moral ke ruang hukum.

Kilah dan Jawaban

Dua alasan klasik sering dikemukakan pembela kebijakan ini. Pertama: “tunjangan tinggi mencegah korupsi.” Seakan-akan integritas bisa dibeli. Faktanya, integritas lahir dari budaya transparansi, sistem pengawasan dan partisipasi publik. 

Tanpa itu, tunjangan tinggi hanya menjadi bantalan empuk dan bukan benteng moral.

Kedua: “Pergub sah secara hukum.” Benar, sah secara legal. Tetapi legalitas bukanlah legitimasi moral. 

Pertanyaannya: apakah kebijakan ini selaras dengan prinsip keadilan sosial dan memperluas kapabilitas rakyat? Jika jawabannya tidak, maka kebijakan itu tetap cacat di mata publik.

Rasionalisasi: Dari Efisiensi ke Etika

Rasionalisasi bukan memiskinkan DPRD, melainkan mengembalikan proporsi. Pemotongan 30–50 persen pada pos perumahan dan transportasi akan menghemat Rp 12–20 miliar per tahun. 

Jika skema transportasi diubah menjadi pooling kendaraan dinas atau reimburse berbukti, tambahan hemat Rp. 7–9 miliar bisa diperoleh. Total efisiensi realistis Rp 20–25 miliar per tahun.

Namun, penghematan hanya langkah awal. Pertanyaan yang lebih penting: ke mana dana ini dialirkan? Jika diarahkan dengan prinsip capability dan subsidiaritas, maka sasaran utamanya jelas:

  • Air bersih dan sanitasi desa - lewat sumur bor, embung kecil atau jaringan pipa sederhana.
  • Puskesmas dan posyandu - dengan alat medis dasar, rantai dingin vaksin dan tenaga kontrak berbasis kinerja.
  • Jalan tani dan akses sekolah - agar hasil panen tidak berhenti di jalan berlumpur dan anak-anak tidak putus sekolah.

Setiap rupiah hasil efisiensi harus melewati uji capability: apakah ini menambah kebebasan nyata rakyat untuk hidup bermartabat?

Refleksi: Cermin Moral Publik

Ironi paling pahit justru datang dari data itu sendiri. Dalam pemberitaannya, Pos Kupang menulis bahwa garis kemiskinan di NTT Rp 549.607 per bulan. 

Maka, satu bulan tunjangan rumah anggota DPRD setara dengan biaya hidup 43 orang miskin.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved