Opini

Opini: Tunjangan di Tanah Kering, Etika Anggaran, Kapabilitas dan Subsidiaritas yang Ditinggalkan

Hitungan mereka sederhana: dengan memangkas tunjangan, provinsi bisa menghemat Rp 20–25 miliar per tahun. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Kontras ini makin tajam jika dibandingkan dengan data kemiskinan. BPS NTT (Maret 2025) mencatat bahwa 18,60 persen penduduk atau sekitar 1,09 juta jiwa masih hidup miskin, dengan garis kemiskinan Rp 549.607 per kapita per bulan. 

Artinya, satu bulan tunjangan rumah anggota DPRD (Rp 23,6 juta) setara dengan biaya hidup 40 orang miskin selama sebulan.

Di tanah yang kering, ironi ini seperti gurun yang ditanami kolam renang pribadi.

Kapabilitas Siapa yang Diperluas?

Amartya Sen dalam Development as Freedom mengingatkan bahwa pembangunan harus dilihat dari sejauh mana ia memperluas capabilities - kebebasan nyata orang untuk “menjadi” dan “berbuat”. 

Pertanyaan etisnya jelas: apakah tunjangan Rp 41,4 miliar memperluas kemampuan rakyat NTT untuk mengakses air, sekolah, atau kesehatan?

Jawabannya menyakitkan: kapabilitas rakyat tetap terbatas, sementara kapabilitas elit yang bertambah. Dengan tunjangan itu, anggota DPRD memperluas kemampuan menyewa rumah mewah, menikmati mobilitas nyaman dan memperlebar margin representasi. 

Tetapi kapabilitas petani tetap ditentukan hujan, kapabilitas anak sekolah tetap ditentukan jarak tempuh dan kapabilitas pasien tetap ditentukan panjang antrean di puskesmas.

Ironi politik ini begitu jelas: di tanah kering, yang dialirkan bukan air ke ladang rakyat, tetapi tunjangan ke rekening pejabat.

Subsidiaritas yang Ditinggalkan

Dalam ajaran sosial Gereja, subsidiaritas adalah prinsip emas: keputusan harus dibuat sedekat mungkin dengan rakyat dan otoritas di atas hanya berperan menopang, bukan mendominasi. 

Subsidiaritas adalah penghargaan terhadap martabat komunitas kecil.

Namun, kebijakan Pergub 22/2025 justru membalik prinsip itu. Alih-alih menopang desa, sekolah atau puskesmas, anggaran justru disedot ke pusat kekuasaan DPRD.

Dalam pemberitaannya, Pos Kupang mengutip pernyataan Ombudsman NTT yang menegaskan perlunya review Pergub agar sesuai dengan Standar Biaya Umum dan harga riil, untuk menghindari masalah hukum di kemudian hari. 

Kritik ini menunjukkan kebijakan ini bukan hanya bermasalah secara moral, tetapi juga berisiko secara teknokratis dan legal.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved