Breaking News

Opini

Opini - Menggugat Nalar Kritis Kampus: Saat Rektorat Menyempil di Laboratorium

Ribuan mahasiswa Unimor turun ke jalan dalam aksi demonstrasi memprotes alih fungsi Gedung Laboratorium Terpadu

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
DOSEN - Hermina Disnawati, dosen Universitas Timor (Unimor), mahasiswa S3  Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. 

Pimpinan Unimor berdalih bahwa alih fungsi laboratorium itu hanya sementara yakni demi menyukseskan akreditasi institusi pada Juli 2025. Namun berbulan-bulan setelah asesmen, papan nama “Rektorat” masih terpampang gagah di gedung laboratorium.

Di sinilah paradoks mencuat: apakah akreditasi dipahami sebagai refleksi jujur tentang kualitas institusi atau sekadar kosmetik pencitraan.

Dalam filosofi asesmen dan evaluasi, akreditasi mestinya menjadi momentum kontemplatif, bukan kompetisi dekoratif. Asesor bukanlah wisatawan yang hendak terpukau oleh keramik mengkilap atau plafon tinggi. Mereka hadir untuk menguji denyut tridharma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian. 

Sebagaimana dikritik Will Miller (2025) dalam artikelnya “Reimagining Accreditation: From Compliance to Learning-Centered Transformation”, proses akreditasi kini terlalu sering diperlakukan sebagai ritual administratif belaka.

Dokumen tersusun rapi, gedung tampak menawan, dan asesor “disambut” dengan ritual mengesankan. Miller menyebut ini sebagai jebakan compliance: kampus berlomba menjadi taat secara formil, tetapi miskin secara substantif. 

Dalam konteks ini, ketika laboratorium sebagai jantung inovasi dikorbankan demi panggung pencitraan, maka yang lahir bukanlah transformasi akademik, melainkan deformasi nalar.

Bangunan megah bisa memukau sesaat, tetapi tak akan pernah menggantikan kualitas pembelajaran yang berpihak pada mahasiswa.

Sewa Laboratorium: Ketimpangan Wewenang dalam Tata Kelola Akademik

Masalah semakin jelas ketika mencermati penerbitan SK Rektor Nomor 307/UN.60/KU/2025 tentang Penetapan Tarif Sewa Alat Laboratorium, yang ditetapkan pada 25/07/2025.

Anehnya, SK ini terbit hanya berdasarkan usulan Kepala Biro Akademik, Perencanaan, dan Keuangan tertanggal 22/07/2025, tanpa pelibatan Kepala Laboratorium Terpadu yang secara fungsional yang paling memahami kondisi riil, risiko keselamatan, pengelolaan bahan berbahaya dan kebutuhan tridarma.

Pertanyaan pun muncul, bagaimana mungkin kebijakan strategis terkait fasilitas akademik ditentukan oleh unit administratif tanpa melibatkan pengelola utama itu sendiri? Apakah biro administrasi  kini mengambil alih otoritas akademik?

Kejanggalan ini semakin terang ketika mencermati SK Rektor Nomor 306/UN60/PG/2025 tentang Tim Penyusun Harga Sewa Alat Lab, yang justru baru ditetapkan tiga hari kemudian, yakni pada 28/07/2025.

Artinya, tarif telah ditetapkan sebelum tim penyusunnya dibentuk secara legal. Ini jelas membalikan logika prosedur administrasi yang sehat: hasil kebijakan ditentukan lebih dulu baru timnya dibentuk.

Proses penyusunan tarif sewa laboratorium yang digagas tanpa uji publik dan tanpa melibatkan struktur akademik mencerminkan lemahnya tata kelola partisipatif.

Laboratorium yang seharusnya menjadi ruang kolektif untuk riset dan pembelajaran justru diperlakukan sebagai aset birokrasi. Ketika otoritas akademik disingkirkan oleh dominasi administratif, maka yang terganggu bukan hanya fungsi melainkan juga martabat institusi. 

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved