Opini
Opini: Didik Anak Bukan untuk Nilai Tapi untuk Hidup
Data Riskesdas 2023 juga menyinggung masalah gizi dan kesehatan anak yang berhubungan dengan capaian belajar.
Oleh : Prima Trisna Aji
Dosen prodi Spesialis Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang
POS-KUPANG.COM - Di banyak ruang keluarga Indonesia, percakapan sederhana selalu berulang setiap kali anak pulang sekolah.
Pertanyaan klasiknya: “Dapat nilai berapa hari ini?” atau “Ranking berapa semester ini?”
Nilai di rapor masih dianggap sebagai ukuran tunggal keberhasilan anak. Namun, apakah benar angka bisa mewakili masa depan?
Baru-baru ini, seorang sahabat bercerita tentang anaknya yang selalu juara kelas. Semua nilai rapor di atas rata-rata, bahkan sering mewakili sekolah dalam lomba akademik.
Baca juga: Opini: Kearifan Lokal Sebagai Arah Baru Pendidikan di NTT
Namun, di rumah ia tak bisa membereskan tempat tidur, tidak berani menyampaikan pendapat, dan lebih sering cemas ketika menghadapi situasi baru.
Sang ibu lalu berbisik lirih, “Anakku pintar di kelas, tapi gagap dalam hidup.”
Kisah itu bukanlah hal yang langka. Banyak orangtua di negeri ini terjebak dalam budaya mengagungkan nilai akademik, padahal esensi pendidikan jauh lebih luas: mendidik anak untuk hidup, bukan hanya untuk angka di rapor.
Cermin Buram Pendidikan Kita
Indonesia sudah lama menghadapi tantangan kualitas pendidikan. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menunjukkan Indonesia masih berada di bawah rata-rata OECD dalam literasi membaca, matematika, dan sains.
Data Riskesdas 2023 juga menyinggung masalah gizi dan kesehatan anak yang berhubungan dengan capaian belajar.
Angka-angka ini kerap membuat kita panik. Namun, ada yang lebih penting daripada sekadar posisi di peringkat dunia: apakah anak-anak kita belajar untuk sekadar menjawab soal ujian, atau untuk menguasai keterampilan hidup yang nyata?
Ketika pendidikan hanya berorientasi pada ranking, kita melahirkan generasi yang pandai menghafal rumus tetapi bingung menyelesaikan masalah sehari-hari.
Mereka terbiasa menjawab pilihan ganda, tapi tidak terbiasa mengambil keputusan.
Mereka tahu teori ekosistem, tetapi tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Budaya Angka dan Tekanan Anak
Fokus pada nilai sering kali melahirkan tekanan. Banyak penelitian psikologi pendidikan menemukan bahwa anak Indonesia mengalami stres akademik sejak usia dini.
Tidak jarang anak kelas 4 SD sudah mengikuti bimbingan belajar hingga larut malam.
Ironisnya, mereka kehilangan waktu bermain padahal bermain adalah sarana alami belajar anak.
Orangtua pun sering membandingkan anaknya dengan anak lain. Kalimat “Lihat tuh, kakak sepupumu dapat 100” mungkin terdengar biasa, tetapi di telinga anak itu bisa jadi beban.
Alih-alih termotivasi, anak justru merasa tidak pernah cukup baik. Akibatnya, banyak remaja tumbuh dengan rasa cemas, minder, dan tidak percaya diri.
Belajar untuk Hidup, Bukan untuk Rapor
Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. Ki Hajar Dewantara sudah lama menekankan tujuan pendidikan bukan hanya kecerdasan otak, melainkan juga budi pekerti dan kemandirian.
Kita perlu menggeser paradigma: dari academic achievement menuju life achievement. Nilai penting, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya tolok ukur.
Anak juga perlu dibekali keterampilan hidup: berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis, dan berempati.
Misalnya, ketika seorang anak belajar memasak sederhana di rumah, ia sedang berlatih sains (reaksi bahan makanan), matematika (menghitung takaran), sekaligus kemandirian.
Saat anak dilibatkan mengatur keuangan jajan mingguannya, ia sedang belajar literasi finansial.
Inilah yang sering disebut sebagai deep learning pembelajaran yang bermakna, bukan sekadar hafalan.
Peran Orangtua di Era Baru
Pertanyaannya: bagaimana orangtua bisa mengubah pola asuh? Ada beberapa langkah sederhana.
Pertama, berhenti menjadikan nilai sebagai satu-satunya indikator. Tanyakan pada anak, “Apa yang kamu pelajari hari ini?” bukan “Dapat nilai berapa?” Fokus pada proses, bukan hasil.
Kedua, beri ruang bagi anak untuk mencoba dan gagal. Jangan buru-buru menyelesaikan masalah anak.
Biarkan mereka belajar bertanggung jawab. Anak yang terbiasa diberi kesempatan mencoba akan tumbuh lebih tangguh.
Ketiga, jadilah teladan. Anak lebih banyak belajar dari sikap orangtua ketimbang ceramah panjang.
Jika orangtua rajin membaca, anak akan meniru. Jika orangtua mampu mengelola emosi, anak pun belajar regulasi diri.
Keempat, kurangi perbandingan sosial. Setiap anak unik. Alih-alih membandingkan dengan orang lain, bandingkan anak dengan dirinya sendiri: apakah hari ini lebih baik daripada kemarin?
Sekolah dan Pendidikan Nasional
Tugas ini tentu bukan hanya pada pundak keluarga. Sekolah dan kebijakan nasional juga harus bergerak.
Kurikulum Merdeka sudah memberi ruang untuk pembelajaran berbasis proyek, di mana siswa belajar memecahkan masalah nyata.
Namun implementasinya sering kali masih terbentur budaya lama: ujian, ranking, dan nilai angka.
Guru perlu didukung agar lebih berani menerapkan pembelajaran kontekstual.
Misalnya, siswa tidak hanya belajar tentang lingkungan di kelas, tetapi juga terjun langsung membersihkan sungai atau menanam pohon di sekitar sekolah.
Pendidikan yang bermakna akan melahirkan anak-anak yang siap hidup di abad 21, bukan sekadar siap ujian nasional.
Penutup
Nilai akademik hanyalah angka di kertas, sedangkan kehidupan adalah ujian tanpa kunci jawaban.
Kita sering lupa, anak-anak tidak sedang kita siapkan untuk sekadar naik kelas, tetapi untuk menapaki kehidupan yang penuh tantangan.
Di masa depan, rapor mungkin dilupakan. Tetapi keberanian, empati, dan kemandirian yang ditanamkan sejak dini akan menjadi bekal seumur hidup.
Karena itu, mari kita ingat Bersama bahwa mendidik anak bukan untuk nilai, tapi untuk hidup. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.