Polres Flotim Harus Perhatikan Hak dan Kebutuhan DS Korban Perkosaan 13 Pemuda  

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK NTT meminta penyidik Polisi Polres Flores Timur, memperhatikan hak dan kebutuhan DS (16), korban kasus perkosaan.

|
POS KUPANG/NOVEMY LEO
Direktris LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara, SH 

POS-KUPANG.COM KUPANG -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK NTT meminta penyidik Polisi Polres Flores Timur, memperhatikan hak dan kebutuhan DS (16), korban kasus perkosaan yang dilakukan 13 pemuda di Flotim. 

Direktris LBH PIK NTT,  Ansy Rihi Dara, SH mengatakan, LBH APIK NTT mengutuk kasus kekerasan seksual (KS) yang dilakukan 13 pria terhadap DS, anak perempuan yang masih berusia 16 tahun, di Kabupaten Flores Timur (Flotim).

“Kasus  ini adalah bentuk KS yang sangat serius dan memerlukan penanganan hukum yang cepat dan tepat. Perlu ada penegakan hukum yang adil dan perlindungan maksimal bagi korban. Hak-hak korban mesti diperhatikan dan dipenuhi,” kata Ansy, Senin (30/6).

Menurut Ansy, Pemerintah dalam hal ini DP3A bersama UPTD PPA wilayah terkait perlu memberikan intervensi psikis dan medis bagi korban. Pemerintah pun mesti memastikan bantuan hukum bagi korban untuk penanganan masalahnya.

Baca juga: Polisi Polres Flotim Buru 2 Pelaku Perkosaan Anak 16 Tahun, 11 Pelaku Ditahan

“Kami juga mendukung agar polisi secepatnya  memastikan penyidikan yang menyeluruh dan transparan serta menangkap semua pelaku. serta orang tua korban perlu menjadi support system terdepan bagi korban untuk menguatkan korban dan mendampingi korban di setiap tahapan proses yang dijalaninya,” kata Ansy.

Polisi juga mesti segera mendatangkan psikolog dari Kupang atau daerah terdekat lainnya. Untuk sementara, sambil menunggu memanfaatkan mekanisme telekonseling dengan psikolog dalam kondisi urgent bisa juga Menghubungi LSM atau lembaga yang memiliki psikolog untuk menyediakan layanan pendampingan.

Selain itu, mesti dilakukan investigasi yang mendalam dan berupaya  menangkap semua pelaku, termasuk yang masih buron. “Harapan kami, penyidik polisi dan aparat penegah hokum (APH) lainnya,juga memberi pernyataan atau tindakan yang merendahkan atau menyalahkan korban. Atau memberi stigma baru bagi korban,” tegas Ansy.

Jika terdapat hal semacam ini, kata Ansy, bentuk tindakan tersebut dapat dilaporkan ke atasan/kanit/propam bisa juga ombudsman.

Direktris LBH APIK NTT, Ansy Rihi Dara dalam kegiatan Training Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) muda di NTT,  Kamis (9/6) di Hotel Sotis Kupang
Direktris LBH APIK NTT, Ansy Rihi Dara dalam kegiatan Training Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) muda di NTT, Kamis (9/6) di Hotel Sotis Kupang (POS-KUPANG.COM/NOVEMY LEO)

Lebih lanjut, kata Ansy, LBH APIK NTT menghimbau agar keluarga pelaku bisa bekerja sama dengan pihak berwenang dan mendorong pelaku yang masih buron untuk menyerahkan diri.

“Kami ingin mendukung korban untuk tetap kuat dan korban perlu diingatkan bahwa banyak orang mendukung dan siap membantu pemulihan korban. Korban juga jangan sungkan untuk meminta bantuan dan berbicara dengan orang yang dipercaya dan mencari bantuan professional,” saran Ansy.

Terkait pasal, Ansy mengatakan, karena korban merupakan anak sehingga pasal yang digunakan dalam kasus ini ada pada highlight 2 aturan hukum yaitu UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Perlindungan Anak dan pemberlakuan hukum formil dalam UU TPKS sudah bisa diterapkan dimana 1 saksi korban saja sudah cukup untuk memproses kasus ini.

“Disamping itu  Mengacu pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) , dengan tetap memperhatikan hak-hak anak namun juga memberikan sanksi yang tepat sesuai dengan tindakannya,” katanya.

UU SPPA juga berlaku bagi pelaku dengan usia anak sehingga dalam pengalaman kami berkasnya akan di split menjadi 2 nomor perkara. Namun perlu diketahui, sejak usia 12 tahun anak pelaku sudah dapat mempertanggunjawabkan tindak pidana yg dilakukan. 

Untuk menekan terjadinya kasus KS, demikian Ansy, LBH APIK NTT selalu menekankan pentingan edukasi di sekolah dan masyarakat tentang bahaya kekerasan seksual dan cara mencegahnya. Dengan cara mengedukasi di setiap lini masa bahkan sosialisasi sampai ke remote area daerah yang remote.

“Peran orangtua dalam pengawasan dan edukasi anak-anak mereka perlu untuk dikembangkan aspek kebijakan dan mengimplementasikan kebijakan yang mendukung perlindungan anak dan perempuan dari KS. Serta implementasi UU TPKS baik dimulai dengan pembentukan UPTD serta layanan psikososial yang sudah harus diperhatikan supaya merata disetiap daerah,” katanya.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved