Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, OMDSMY Novemy Leo
POS-KUPANG.COM, KUPANG -- Hukuman penjara terhadap empat terdakwa kasus penganiayaan hingga menyebabkan kematian terhadap transpuan Dessy Aurelia Tafuli atau Oktovianus Tafuli.
Dessy Aurelia Tafuli adalah seorang transpuan yang tergabung dalam Independent Men of Flobamora NTT atau IMoF NTT. Dessy Aurelia Tafuli meninggal setelah dianiaya oleh empat warga Kota Kupang, 23 Desember 2023 lalu.
Kini kasusnya tengah berproses pada tingkat penuntutan di Pengadilan Negeri Kelas 1 Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Empat terdakwa dimaksud diadili dalam berkas perkara berbeda.
Berkas perkara dewasa dengan terdakwa Alan Manafe dan Richie Vannes Kana serta berkas perkara anak dengan terdakwa BEK dan MAPBO. Richie Vannes Kana dan BEK adalah dua kakak beradik, yang merupakan anak dari anggota DPRD Kota Kupang.
Dalam proses hukum itu, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), telah mengajukan restitusi ke Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1 Kupang melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kupang.
Restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban tindak pidana oleh pelaku atau pihak ketiga.
Dalam sidang pembacaan tuntutan di PN Kupang, Kamis (16/5), JPU Frince Amnifu, SH, dkk, menuntut dua terdakwa dewasa, Alan Manafe dan Richie Vannes Kana, dengan tuntutan 11 tahun penjara.
Selain itu, dua terdakwa dewasa yakni Alan Manafe dan Richie Vannes Kana bersama dengan dua terdakwa anak lainnya yakni BEK dan MAPBO dalam berkas tersendiri, juga dituntut membayar biaya restitusi kepada keluarga korban sebesar Rp 67.616.000 dengan subsider 6 bulan penjara.
Terkait tuntutan JPU dan restitusi itu, salah seorang keluarga dari transpuan Dessy Aurelia Tafuli, Yusuf Tafuli, mengatakan, hingga saat ini keluarga masih merasa sangat berduka atas kematian Dessy Aurelia Tafuli.
Baca juga: Massa Aksi Minta Jaksa Beri Tuntutan Maksimal Bagi Terdakwa Pembunuhan Transpuan di Kupang NTT
Dessy Aurelia Tafuli harusnya tak mengalami kejadian tersebut. Selama ini, Dessy Aurelia Tafuli tak pernah menyakiti siapapun, namun dia mesti mengalami kejadian sangat memilukan itu.
Karena itu, Yusuf Tafuli berharap agar proses hukum yang tengah berjalan saat ini bisa menghasilkan keputusan yang adil bagi Dessy Aurelia Tafuli.
Menurut Yusuf Tafuli , selama ini proses hukum terhadap Dessy Aurelia Tafuli berjalan lamban baik di tingkat kepolisian maupun kejaksaan.
Meski demikian, Yusuf Tafuli bersyukur karena selama ini keluarga didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) NTT.
Dengan pendampingan itu, proses hukum yang lamban di tingkat kepolisian dan kejaksaan itu bisa berjalan lebih cepat. Begitupun pengajuan restitusi pun tengah berproses di tingkat pengadilan.
Bagi Yusuf Tafuli, keadilan yang sempurna bagi Dessy Aurelia Tafuli dan keluarga, bukan pada hukuman penjara terhadap pelaku ataupun jumlah restitusi yang akan diterima keluarga.
Namun, pada keadilan bagi keluarga korban adalah keputusan hakim terhadap empat terdakwa nantinya.
Baca juga: Transpuan di Kupang Babak Belur, Polisi Otopsi Jenazah
“Kami hanya minta keadilan bagi kematian keluarga kami, Dessy. Para terdakwa harus dihukum maksimal dan setimpal atas perbuatannya terhadap Dessy.
Sehingga tidak ada lagi Dessy lainnya, dan tidak ada lagi orang yang semena-mena terhadap orang seperti Dessy. Itulah keadilan yang sesungguhnya,” kata Yusuf Tafuli, Sabtu (1/6).
Sebab, kata Yusuf Tafuli, berapapun hukuman penjara bagi keempat terdakwa dan berapapun nilai restitusi yang akan diberikan terdakwa kepada keluarga nanti, hal itu tak akan bisa menggantikan nyawa atau menghidupkan kembali Dessy Aurelia Tafuli.
"Berapa lamapun terdakwa dipenjara dan berapa besarnya restitusi yang akan diterima keluarga, itu tak sebanding dengan nyawa Dessy. Dessy tak bisa hidup lagi. Kami keluarga berharap hakim bisa jatuhkan vonis kepada terdakwa itu tidak kurang dari tuntutan jaksa," harap Yusuf Tafuli.
Direktris LBH APIK NTT, Ansy Rihi Dara, SH mengatakan, Tim LBH APIK NTT menaruh konsen dalam pendampingan dan proses hukum bagi keluarga transpuan Dessy Aurelia Tafuli.
Pihaknya menurunkan tim lengkap yakni pengacara LBH APIK NTT, Ester Day, SH, Puput Joan Riwu Kaho, SH, MH, serta Dany Manu dan Adelaide Ratu Kore untuk mengawal proses hukum dan restitusi terkait kasus Dessy Aurelia Tafuli.
Ansy Rihi Dara mengatakan, secara umum sejauh ini penanganan hukum terhadap kasus kematian Dessy Aurelia Tafuli, berjalan sebagaimana amanat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Walaupun ada beberapa catatan reflektif dari LBH APIK NTT, bahwa untuk kasus-kasus seperti kasus Dessy Aurelia Tafuli ini, inisiatif baik dari pihak kepolisian, jaksa, memang belum ada atau belum maksimal.
Baca juga: Doa Bersama Keluarga dan Kerabat Transpuan Dessy di Kupang
Entah dikarenakan Aparat Penegak Hukum (APH) belum memiliki perspektif dan belum terkapasitasi dengan baik bahwa kematian Dessy itu merupakan pelanggaran HAM. Karena, kerentanan Dessy sebagai seorang transpuan yang terkuak dalam BAP atau ada unsur apa.
"Bahwa korban dibunuh karena ternyata para pelaku semula mengira korban adalah perempuan dan ternyata adalah laki-laki. Hal ini yang diduga memicu tindak pidana itu,” kata Ansy Rihi Dara, Senin (3/6).
Sedangkan pada tingkat kejaksaan pun, koordinasi dengan jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Kupang guna membahas restitusi, terkesan ditarik ulur.
“Terdapat beberapa frasa dalam komunikasi oleh jaksa yang menunjukan ketidakberpihakan Jaksa pada korban. Hal itu terlihat dari betapa inisiatif-inisiatif jaksa yang getol menanyakan terkait uang damai dari pihak pelaku,” ungkap Ansy Rihi Dara.
Bahkan untuk penanganan kasus kematian transpuan Dessy Aurelia Tafuli yang pelakunya adalah anak, yakni BRK dan MAPBO, proses hukumnya terkesan agak lambat diproses pada tingkat kejaksaan.
“Karena alasan bahwa di Kejari Kupang, tidak ada jaksa anak. Sehingga kami harus berulang kali melakukan koordinasi dengan jaksa,” ungkap Ansy Rihi Dara.
Lambannya proses hukum pelaku anak dapat dilihat dari proses tahap dua untuk pelaku anak, BEK dan MAPBO yang berjarak agak jauh dengan proses tahap dua bagi pelaku dewasa, Alan Manafe dan Richie Vannes Kana .
Hal ini bisa dilihat bahwa dua pelaku dewasa yakni Alan Manafe dan Richie Vannes Kana sudah dituntut JPU dalam persidangan, namun dua pelaku anak yakni BEK dan MAPBO baru masuk ke tahap dua.
“Kasus Transpuan Dessy ini menunjukkan bahwa di NTT tidak semua APH memiliki prespektif korban, terutama bagi teman transpuan atau minoritas gender dan seksual,” kritik Ansy Rihi Dara.
Baca juga: Polisi Ungkap Kronologi Hingga Motif Pembunuhan Transpuan di Kupang
Ansy Rihi Dara menilai, kasus penganiayaan hingga menyebabkan kematian terhadap transpuan Dessy Aurelia Tafuli bukanlah sekedar kasus kenakalan remaja atau penganiayaan biasa.
Namun, kasus Dessy Aurelia Tafuli tersebut memiliki dimensi kebencian terhadap kelompok minoritas gender dan seksual.
“Secara khusus kelompok transpuan yang secara kasat mata dapat terlihat. Kebencian ini juga muncul akibat narasi-narasi moral yang bersifat dikriminasi,” katanya.
Melihat kondisi ini, Ansy Rihi Dara berharap agar kedepannya perlu ada peraturan hukum yang melindungi setiap orang, khususnya bagi kelompok minoritas gender dan seksual, yang selama ini luput dalam perlindungan hukum.
“Hal itu pun mesti disupport dengan adanya edukasi sebagai hal penting guna menanamkan kepada masyarakat agar tidak memandang dan melakukan kekerasan. Bahkan sesederhana olok-mengolok teman-teman yang minoritas gender dan seksual,” tegas Ansy Rihi Dara.
Selain itu, bagaimana nilai Hak Asasi Manusia (HAM) juga mesti ditanamkan kepada masyarakat sejak dini.
Tujuannya, agar supaya masyarakat dapat memberikan tempat yang ramah dan aman bagi setiap warga negara Indonesia (WNI), tanpa terkecuali.
Proses Restitusi Bagi Keluarga Transpuan Desy Aurelia Tafuli
Dalam proses hukum kasus tersebut, ada upaya restitusi yang dilakukan LPSK atas permintaan keluarga korban melalui pendampingan LBH APIK NTT.
"Restitusi dalam konteks hukum merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Hal ini bertujuan untuk mengganti kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku," kata pengacara LBH APIK NTT, Puput Joan Riwu Kaho, SH, MH.
Puput Joan Riwu Kaho menilai, proses restitusi sudah berjalan sesuai mekanisme, namun prosesnya masih berjalan lamban.
“Proses restitusi yang harus dimasukkan sejak dalam proses penyidikan di kepolisian dan kejaksaan. Namun hal ini terhambat karena tidak adanya kantor LPSK disini,” kritik Puput Joan Riwu Kaho.
Karena kewenangan penghitungan dan verifikasi untuk restitusi itu haruslah dilakukan oleh LPSK, sehingga ketiadaan Kantor LPK di Kupang NTT menjadi salah satu faktor lambatnya proses pengajuan restitusi dimaksud.
“Yang disayangkan juga adalah proses birokrasi di LPSK membuat LBH APIK sebagai kuasa hukum dari keluarga korban harus terus melakukan koordinasi dengan LPSK yang berada di Jakarta. Hal ini memakan waktu lama,” jelas Puput Joan Riwu Kaho.
Dany Manu menambahkan, saat merespon restitusi korban, LPSK turun koordinasi langsung dengan pihak keluarga namun mekanismenya juga sangat lambat.
Barulah setelah diintervensi oleh LBH APIK, akhirnya pihak LPSK meresponnya untuk diajukan ke persidangan.
Besaran restitusi yang diajukan ke persidangan itu sesuai perhitungan keluarga korban yang diverifikasi oleh LPSK, dengan nilai sebesar Rp 67.616.000.
Dalam persidangan, ada beberapa problem dimana korban atau keluarga korban tidak dapat menunjukkan beberapa bukti kerugian yang dialami.
Baca juga: Keluarga Transpuan Desy Tafuli Temui Jaksa di Kejari Kota Kupang, Berkas Tersangka P21
Meski demikian, kata Dany Manu, hal itu nanti akan diputuskan oleh majelis hakim di persidangan. Ketidaksesuaian sejumlah bukti kuitansi restitusi yang diajukan LPSK itu, kata Dany Manu, tidak bisa menghapus kewajiban restitusi yang mesti diberikan oleh para terdakwa kepada keluarga Dessy Aurelia Tafuli.
“Hakim yang akan memutuskan nanti, besaran restitusi yang sudah diajukan oleh LPSK berdasarkan perhitungan LPSK. Bisa saja keputusan hakim nanti ada pengurangan atau lebih,” kata Dany Manu.
Sementara itu, Adelaide Ratu Kore mengatakan, secara umum selama ini sikap Pemerintah Kota Kupang dan Provinsi NTT terhadap hak-hak kelompok minoritas gender dan seksual, masih bersifat netral untuk semua kelompok.
Sikap tersebut sebenarnya tidak tepat, apalagi ketika ada kelompok lain misalnya kelompok rentan yang mendapatkan tindak kekerasan akibat berbeda dengan kelompok umum.
Pada posisi ini, mestinya pemerintah memberikan keberpihakan kepada kelompok yang rentan itu.
"Wujud keberpihakan adalah pemerintah perlu membuat kebijakan yang memberikan perlindungan bagi kelompok yang termarginalkan, kelompok rentan,” saran Adelaide Ratu Kore.
Pengacara LBH APIK NTT, Ester Day, SH menambahkan, hingga kini di wilayah Kota Kupang masih banyak kelompok minoritas gender dan seksual yang belum mendapatkan jaminan atas hak asasinya.
Karena faktanya, demikian Ester Day, dalam pengamatan dan temuan LBH APIK NTT, menyebutkan, bahwa masih banyak kelompok minoritas gender dan seskual yang kesulitan mengakses hak bekerja, hak memperoleh pendidikan, dan hak jaminan sosial.
“Karena kelompok rentan itu sering terlupa dalam pencatatan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) misalnya. Hak hak dasar ini juga yang jadi seruan advokasi dari teman-teman Jaringan Peduli HAM di Kota Kupang, agar ada affirmative action bagi kelompok minoritas gender dan seksual,” saran Ester Day.
Ester berharap, kedepan semua pihak, baik pemerintah, tokoh agama, LSM, pers dan pihak terkait lainnya, agar bisa terus mengedukasi masyarakat tentang penghormatan akan keberagaman, khususnya bagi kelompok minoritas gender dan seksual.
Baca juga: Anaknya Diduga Terlibat Meninggalnya Transpuan di Kupang, Edi Kana Bungkam
Hal ini tentunya menjadi syarat mutlak dalam upaya mengurangi kasus-kasus berbasis kebencian terhadap kelompok minoritas gender dan seksual.
“Kami berharap kedepan, tidak ada lagi kasus-kasus yang terjadi pada kelompok minoritas gender dan seksual dengan alasan kebencian terhadap mereka,” harap Ester Day.
Tragedi Mengenaskan bagi IMoF NTT
Sementara itu, Koordinator Independen Men of Flobamorata (IMoF) NTT, Ridho Herewila menegaskan, kehilangan nyawa salah seorang anggota IMoF NTT, Dessy Aurelia Tafuli, merupakan sebuah tragedi mengenaskan yang tidak dapat diukur dengan nilai materi atau kompensasi finansial apapun.
“Kehilangan nyawa seseorang memiliki dampak yang mendalam dan abadi bagi keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan. Tidak ada jumlah uang atau restitusi yang dapat menggantikan nilai sejati dari kehidupan manusia yang hilang,” tegas Ridho Herewila, Minggu (2/6).
Ridho Herewila mengatakan, meskipun restitusi dapat memberikan bantuan finansial kepada keluarga korban dan mungkin memberikan sedikit bantuan dalam proses pemulihan.
Namun, nilai sejati dari kehidupan manusia tidak akan dapat diukur dengan uang, restitusi itu.
“Dalam kasus kematian Dessy, restitusi mungkin hanya merupakan satu aspek dari proses keadilan dan pemulihan, sementara nilai sejati dari kehidupan yang hilang tidak dapat diukur dengan nilai financial,” kata Ridho Herewila.
Dalam konteks keadilan dan tanggung jawab, restitusi dapat dianggap sebagai langkah awal untuk memperbaiki kerugian yang telah terjadi, salah satu bentuk tanggung jawab moral dan hukum dari pelaku terhadap tindakan yang telah dilakukannya.
Menurut Ridho, restitusi dapat membantu memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya, serta memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahannya.
Namun, tentu saja nilai nyawa manusia tidak dapat digantikan dengan apapun.
Baca juga: IMoF NTT Minta JPU Tuntut Maksimal Terdakwa Kasus Pembunuhan Transpuan Desi
“Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu menghargai dan menjaga kehidupan manusia sebagai hal yang paling berharga,” kata Ridho Herewila.
Lebih lanjut Ridho Herewila mengkritisi APH dalam menangani kasus transpuan Dess Aurelia Tafuli. Ridho menilai APH belum maksimal menjalankan tugas dan fungsinya karena hal itu terlihat dari sejumlah hal-hal berikut.
Menurut Ridho Herewila, Polisi mestinya bisa memastikan penanganan kasus Desy Aurelia Tafuli itu dilakukan secara profesional, tanpa diskriminasi berdasarkan identitas gender atau seksual korban.
Polisi juga mestinya memberikan perlindungan dan dukungan kepada keluarga korban serta saksi-saksi yang terlibat dalam kasus.
“Harusnya Polisi melakukan penyelidikan menyeluruh dan mendalam terhadap kasus kekerasan yang berakibat kematian, termasuk mengumpulkan bukti-bukti yang kuat.
Namun hingga kini, salah satu saksi yakni tukang ojek, yang menjadi pemicu pertengkaran bersama Dessy, belum diketahui keberadaannya dimana,” ungkap Ridho Herewila.
Pada tingkat kejaksaan, Ridho Herewila mengatakan, Jaksa mestinya juga bisa memastikan proses penyidikan dan penuntutan dilakukan secara adil, maksimal dan transparan.
Penuntutan jaksa seharusnya bisa dilakukan tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun.
Jaksa juga mesti menyediakan bantuan hukum yang memadai bagi keluarga korban dan memastikan kepentingan mereka diwakili dengan baik selama proses hukum.
“Namun, faktanya, penanganan kasus transpuan Dessy ini terkesan bertele-tele. Proses penuntutannya, pembuatan dakwaan, dilakukan sangat lama, pasal yang digunakan pun hanya pasal tunggal,” kritik Ridho Herewila.
Baca juga: Doa Bersama Keluarga dan Kerabat Transpuan Dessy di Kupang
Pada tingkat pengadilan pun, Ridho Herewila mengatakan, hakim juga harus bisa memastikan agar persidangan berjalan secara adil, transparan, dan maksimal.
Tak boleh ada diskriminasi terhadap korban berdasarkan identitas gender atau seksualnya.
“Kami berharap hakim memiliki pemahaman yang cukup tentang isu-isu gender dan seksualitas untuk bisa memastikan putusan yang adil. Termasuk bisa memberikan vonis hukuman yang setimpal dan maksimal kepada empat terdakwa, demi keadilan bagi korban serta keluarganya,” harap Ridho Herewila.
Menurut Ridho Herewila, dengan adanya keputusan atau vonis hakim yang makismal maka akan bisa memberi efek jera bagi pelakunya.
Juga bisa memberi pelajaran kepada masyarakat agar mereka tidak melakukan diskriminasi dan penganiayaan terhadap transpuan atau kelompok rentan lainnya.
“Dengan penanganan proses hukum yang profesional, adil, dan APH nya sensitif terhadap isu-isu gender, maka keadilan dapat terwujud bagi korban dan keluarganya. Serta bisa mendorong pencegahan terhadap tindakan kekerasan berbasis gender di masa depan,” kata Ridho Herewila.
JPU : Penanganan Hukum Tak Bedakan Gender
JPU Frince W. Amnifu, SH, ditemui Pos Kupang, di PN Kelas 1 Kupang, mengatakan, Jaksa menuntut terdakwa Richie Vannes Kana dan Alan Manafe dengan tuntutan 11 tahun penjara dari hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Menurut Frince Amnifu, dalam peorses hukum, pihaknya berlaku adil dan tidak ada perbedaan tuntutan hukuman bagi dua terdakwa itu.
Frince Amnifu menjelaskan, dalam fakta persidangan di PN Kupang itu terungkap bahwa tindakan paling fatal yang menyebabkan Dessy Aurelia Tafuli meningggal dunia adalah karena pemukulan menggunakan batang bambu yang dilakukan oleh terdakwa Alan Manafe ke bagian kepala Dessy Aurelia Tafuli.
Sementara terdakwa Richie Vannes Kana, serta dua terdakwa anak yakni BEK dan MAPBO, melakukan pemukulan menggunakan tangan dan kaki.
“Pertimbangan jaksa, jika Richie tidak memulai memukuli korban, maka tentu tidak ada tindakan berikutnya yang dilakukan Alan dan terdakwa lainnya. Karena itu, dua terdakwa dewasa itu dikenakan tuntutan yang sama yakni 11 tahun. Kami berharap vonis majelis hakim sama dengan tuntutan kami,” harap Frince Amnifu.
Terkait penggunaan pasal tunggal terhadap dua terdakwa dewasa Alan Manafe dan Richie Vannes Kana, yakni Pasal 170 ayat (3) atau penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang, Frince Amnifu menegaskan, pasal tersebut sudah tepat. Sebab, para terdakwa menganiaya korban Dessy Aurelia Tafuli hingga meninggal dunia.
Baca juga: Begini Komentar Akademisi Unwira Kupang Terkait Meninggalnya Transpuan di Kupang
Untuk pengajuan restitusi, Frince Amnifu berharap majelis hakim PN Kupang bisa mempertimbangan dengan baik besaran restitusi bagi keluarga korban yang diajukan LPSK ke persidangan.
Jikapun ada ketidaksesuaian sejumlah kuitansi terkait restitusi yang diajukan dengan fakta sebenarnya, menurut Frince Amnifu, hal itu akan menjadi pertimbangan majelis hakim.
“Hakim tentu akan memutuskan vonis yang sesuai dengan fakta persidangan. Begitu pun terkait restitusi, hakim memeriksa restitusi itu dan akan memutuskan berapakah restitusi yang harus dibayarkan oleh keempat terdakwa kepada keluarga korban,” jelas Frince Amnifu, Senin (3/6).
Terkait korban Dessy Aurelia Tafuli yang adalah transpuan, Frince Amnifu memastikan, pihaknya tidak pernah membeda-bedakan dalam penanganan kasus atau perkara hukum berdasarkan perbedaan gender atau jenis kelamin atau perbedaan lainnya.
“Dimata hukum semua sama, mau dia itu korban atau terdakwa, kami aparat penegak hukum akan memberlakukan hal yang sama. Tidak ada perbedaan perlakuan bagi para pihak terkait dalam proses hukum. Siapapun yang bersalah, siapapun korbannya, diperlakukan secara sama. Dasar kami adalah peraturan perundangan yang berlaku, bukan karena perbedaan gender atau apapun,” tegas Frince Amnifu.
Baca juga: Komunitas Fitun Malaka Minta Polda NTT Usut Tuntas Kasus Transpuan di Kupang
Ditanya apakah penganiayaan itu terjadi lantaran para terdakwa mengetahui bahwa Dessy Aurelia Tafuli seorang transpuan, Frince Amnifu mengatakan, sejauh ini fakta persidangan tidak menunjuk ke arah itu. Kejadiannya terjadi secara spontan.
Namun, kata Frince Amnifu, ada fakta persidangan yang menunjukkan bahwa awal mula para terdakwa mengira yang bertengkar itu adalah sepasang kekasih, laki-laki dan perempuan.
Ketika para terdakwa menghampiri ingin melerai, tukang ojek yang saat itu bertengkar dengan Dessy Aurelia Tafuli, mengatakan bahwa Dessy Aurelia Tafuli adalah transpuan dengan menyebutkan kata dia Ban**.
Tetapi, terdakwa mengaku menganiaya Dessy Aurelia Tafuli lantaran korban terus berbicara dan bertengkar.
Sementara itu, Ishak Lalang Sir, SH selaku tim pengacara dari terdakwa Richie Vannes Kana, masih enggan berkomentar terkait tuntutan JPU dan restitusi yang diajukan keluarga korban melalui LPSK tersebut.
Hampir dalam setiap kali hendak dikonfirmasi Pos Kupang, Tim pengacara terdakwa selalu menolak berkomentar dengan alasan, kasus ini adalah kasus sensitive.
“No coment, karena ini kasus sensitive,” kata Ishak Lalang Sir, saat ditemui di depan Gedung PN Kupang, Kamis (16/5) siang.
Begitupun, Eldi Kana, orangtua dari terdakwa Richie Vannes Kana dan BEK, juga enggan memberikan komentar terkait kasus kematian trasnpuan Dessy Aurelia Tafuli yang melibatkan dua anaknya tersebut.
Sebelumnya, dakwaan JPU yang dibacakan dalan persidangan di PN Kupang menyebutkan, terdakwa anak, BEK membuka lapak jualan petasan di Jalan Amabi, Kota Kupang, dekat tempat tinggalnya.
Selanjutnya, para terdakwa dewasa yakni Alan Manafe, Richie Vannes Kana (kakak kandung dari BEK) dan terdakwa anak BEK dan MAPBO, berkumpul dan mengonsumsi minuman keras, tanggal 22 Desember 2023 malam.
Pada dini hari 23 Desember 2023, tepatnya pukul 02.00 Wita, mereka mendengar ada pertengkaran antara Dessy Aurelia Tafuli dengan seorang ojek yang terjadi di depan ruko baru, tak jauh dari lapak jualan BEK itu.
Pemicu pertengkaran itu - menurut pengakuan terdakwa - karena Dessy Aurelia Tafuli membayar Rp 5 ribu setelah diantar tukang ojek ini dari Kelurahan Sikumana ke Kelurahan Tofa, Kota Kupang.
Baca juga: 7 Saksi Dihadirkan Dalam Sidang Kedua Kematian Transpuan di Kupang
Para terdakwa, Richie Vannes Kana, Alan Manafe, BEK dan MAPBO kemudian menghampiri Dessy Aurelia Tafuli dan tukang ojek dimaksud.
Kemudian Richie Vannes Kana menegur keduanya dan Dessy Aurelia Tafuli tak terima dengan teguran tersebut.
Richie Vannes Kana lantas memukul Dessy Aurelia Tafuli satu kali di pelipis kiri korban.
Lalu MAPBO memukul Dessy Aurelia Tafuli sebanyak dua kali.
Selanjutnya, BEK melayangkan satu kali tendangan ke tubuh Dessy Aurelia Tafuli.
Usai melakukan penganiayaan itu, terdakwa lain hendak meninggalkan Dessy Aurelia Tafuli.
Namun terdakwa Alan Manafe mengambil bambu yang ada di sekitar tempat itu lalu menggunakan bambu itu untuk memukuli bagian kepala Dessy Aurelia Tafuli.
Para terdakwa kemudian mengumpulkan barang bawaan Dessy Aurelia Tafuli serta barang bukti bambu itu.
Kemudian atas ide Alan Manafe, mereka bersama-sama membawa barang tersebut ke kolam di wilayah Tofa, Kota Kupang, tak jauh dari TKP.
Disana, Alan Manafe menyuruh para terdakwa untuk menghilangkan barang bukti itu dengan cara membakar barang bukti tersebut.
Setelah itu, Alan Manafe mengajak terdakwa lain pergi mencari orang pintar atau dukun untuk bisa meredam masalah tersebut namun mereka gagal menemui orang tersebut. Mereka kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Pada pagi hari itu juga, tanggal 23 Desember 2024 sekitar pukul 07.00 Wita, Dessy Aurelia Tafuli ditemukan oleh masyarakat sudah merenggang nyawa di TKP.
Temuan itu dilaporkan ke Polisi dan aparat kepolisian tiba di TKP dan membawa korban ke Rumah Sakit Leona Kupang.
Namun setelah beberapa jam dirawat di RS Leona Kupang, transpuan Dessy Aurelia Tafuli meninggal dunia.
Kemudian, jenazah Dessy Aurelia Tafuli disemayamkan di rumah Pelangi, IMoF NTT di BTN Kolhua, Kota Kupang.
Baca juga: Jaksa Jamin Tuntut Hukuman Maksimal Bagi Terdakwa Perkara Pembunuhan Transpuan di Kupang NTT
Selanjutnya, pada tanggal 24 Desember 2024 subuh, jenazah Dessy Aurelia Tafuli dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara (RSB) Titus Uly Kupang, untuk diotopsi.
Hasil hasil otopsi terhadap jenazah Dessy Aurelia Tafuli menyebutkan, ada memar di dada dan kepala. Fatalnya, ada retak dan patah pada tulang tengkoraknya akibat benda tumpul.
Luka di kepala ini menyebabkan darah menggumpal dan rusaknya jaringan otak. Akibatnya, transpuan Dessy Aurelia Tafuli meninggal dunia.
Usai Otopsi, tanggal 24 Desember 2024 petang, jenasah Desi Aurelia Tafuli dibawa keluarga ke kampung halamannya, di Desa Ayotupas, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provins NTT.
Di kampungnya itu, dengan dihadiri sejumlah anggota keluarganya, transpuan Dessy Aurelia Tafuli dimakamkan disana. (omdsmy novemy leo)