POS-KUPANG.COM - Bapak Gubernur, saya, sebagai akademisi pendidikan di NTT, menulis surat ini untuk menyampaikan beberapa hal. Saya setuju dengan ide Bapak untuk membuka sekolah-sekolah unggul di NTT.
Melalui sekolah unggul itu, NTT akan lebih mampu menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang juga unggul – Syukur kalau super unggul – dari segi kognitif, psikomotorik, dan karakter.
Selama ini, Bapak Gubernur, sudah ada SDM dengan keunggulan seperti itu dari NTT. Mereka berkiprah di NTT. Juga di luar. Di negara lain, bahkan.
Namun, jumlahnya, kita tahu, (sangat) terbatas sehingga NTT, provinsi kesayangan kita ini tetap saja berpredikat kurang sedap, misalnya, salah satu provinsi termiskin dengan mutu pendidikan yang kurang menggembirakan.
Urgensi Sekolah Unggul
Untuk keluar dari cap negative tersebut, Bapak Gubernur, semua orang NTT yang berkehendak baik, saya kira, sadar bahwa keberadaan sekolah unggul sangat penting. Sebab sekolah unggul itu, pada gilirannya, pasti mampu menciptakan SDM yang dapat membawa NTT keluar dari sebutan tak enak itu. Pada titik ini, saya setuju 100 persen dengan Bapak.
Namun, maaf, Bapak Gubernur, cara yang Bapak tempuh untuk menciptakan SMA/K unggul dengan, antara lain, mengharuskannya mulai sekolah pada jam 05:30, salah.
Sudah ada ulasan, misalnya, oleh Prof. Maxs U.E. Sanam (https://warta.edukasipublik.com/2023/03/ritme-sirkadian-dan-jam-masuk-sekolah.html?m=1) mengapa kebijakan itu salah dari segi waktu tidur para remaja.
Baca juga: Opini Januar J Tell: Mengkritisi Kebijakan Masuk Sekolah Jam 5 Pagi
Saya setuju dengan Prof. Sanam, Bapak Gubernur, dalam konteks itu. Namun, kali ini, saya melihatnya dari segi esensi, hakekat, keberadaan sebuah sekolah.
Kebijakan Bapak memulai sekolah pada jam sepagi itu, saya pikir, salah, karena fokusnya lebih pada pembelajaran formal (formal teaching) dari pada belajar (learning), baik informal maupun formal.
Ketika fokusnya pada pembelajaran, apalagi seperti yang terjadi sekarang ini, seorang anak SMA/K harus mempelajari sekitar 15 mata pelajaran yang pada umumnya, jauh dari bakat, minat, dan kebutuhan belajar (BMKB) seorang murid, pembelajaran itu menjadi hamper tanpa makna, Bapak Gubernur.
Adakah, misalnya, anak yang ber-BMKB dalam begitu banyak mata pelajaran? Ada, tentu, tetapi jumlahnya sedikit. Mungkin, satu di antara satu juta anak; secara umum, mereka ber-BMKB dalam satu, dua atau tiga mata pelajaran saja.
Dalam tautan dengan itu, anak-anak kita, di NTT atau di mana saja, Bapak Gubernur, secara umum, tidak bisa total dalam mengikuti pembelajaran di sekolah.
Cerita tentang tawuran yang sering terjadi antarsekolah, murid yang memukul gurunya atau dipukul gurunya, dan hasil pendidikannya yang tidak selalu baik, termasuk para koruptor yang lahir dari lembaga pendidikan kita, adalah, antara lain, buah dari hilangnya focus pembelajaran seperti itu.
Itu, Bapak Gubernur, hasil dari pembelajaran di sekolah yang selama ini dilakukan secara normal, sekitar pukul 07:15 hingga 13.45. Jika sekolah mulai jam 05:30, sesuai instruksi Bapak (baca, misalnya, https://www.detik.com/edu/sekolah/d-6595553/ortu-tolak-siswa-masuk-jam530-gubernur-ntt-monggo-geser-ke-sekolah-lain, 1 Maret, 2023), maaf, saya pesimistis, hasil pendidikan kita akan jadi jauh lebih jelek.
Baca juga: Opini Yohanes Mau: Aturan Prematur Masuk Sekolah Jam 5 Pagi
Membangun Optimisme
Untuk mengubah pesimisme itu menjadi optimisime, artinya semua sekolah di NTT dan melalui NTT, semua sekolah di Indonesia, menjadi sumber terciptanya SDM unggul, Bapak Gubernur, kiranya, berkenan mengubah focus kebijakan pendidikan Bapak.
Fokusnya, sebaiknya, beralih dari pembelajaran (teaching) yang kurang relevan dengan BMKB siswa kepada aktivitas belajar (learning) siswa yang 100 persen sesuai dengan BMKB-nya.
Dalam konteks Indonesia, Bapak Gubernur, saya sudah sampaikan ide ini kurang lebih 12 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 28 Desember, 2011, ketika saya menulis sebuah artikel di Harian Umum Kompas dengan judul “Desentralisasi Pendidikan” (hlm. 7).
Ide itu kemudian dipertegas melalui sebuah artikel saya lainnya yang juga diterbitkan di media yang sama dengan judul “Menggagas Pendidikan Khas Indonesia” (18 November, 2014).
Demikian juga, ketika di Harian Umum Pos Kupang ini, saya menulis sebuah artikel berjudul “Tentang Pendidikan Bermutu” (5 Mei, 2003,hlm. 4). Intinya sama, yaitu ini: saya mengingatkan bahwa kalau Indonesia mau menjadi bangsa yang besar, tidak ada jalan lain selain mengubah system pendidikannya untuk membuatnya lebih mampu menjawab tantangan jaman bagi masa depannya yang lebih baik.
Namun, Indonesia, rupanya, tidak mau dengar. NTT juga demikian. Akibatnya, Indonesia, memang semakin maju. Itu harus diakui, Bapak Gubernur, tetapi kemajuannya tidak sehebat seperti yang dialami negara maju seperti Singapura, Korea Selatan, Australia, dan Jepang.
Baca juga: Opini Teguh Prakoso: Mengenal Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh
Dengan demikian, mengubah system pendidikan yang selama ini salah itu bersifat mendesak supaya ke depan kita tidak gagal lagi dalam menghasilkan SDM yang unggul.
Sudah tiba saatnya untuk kita berhenti “memroduksi” SDM dengan mutu buruk seperti para pemalas yang hidupnya tetap saja miskin di tengah alam Indonesia yang kaya raya hanya karena mereka tidak mau berusaha untuk keluar dari kungkungan kemiskinan itu.
Hal ini, tentu, sangat relevan dengan Provinsi NTT dengan predikatnya yang tidak selalu harum seperti yang saya singgung sebelumnya, Bapak Gubernur.
Berharap pada Gubernur
Dengan demikian, Bapak Gubernur, kita sepakat persoalan kemikiskinan dan mutu pendidikan yang rendah di NTT, dalam konteks Indonesia, atau di Indonesia, dalam konteks dunia, tidak sepenuhnya masalah rakyat/murid.
Seperti yang disampaikan di atas, Bapak Gubernur, system pendidikan yang salah tersebut berandil besar dalam menciptakan kemiskinan dan “kebodohan” di NTT secara khusus, di Indonesia secara umum.
Karena itu, Bapak Gubernur, ketika Bapak muncul dengan ide besar untuk menghasilkan sekolah unggul di NTT ini, saya amat sangat senang.
Namun, saya takut ketika fokus Bapak salah seperti yang saya kemukakan di atas, mimpi besar itu akan tetap jadi mimpi. Dia tidak akan bisa diwujudnyatakan.
Dengan demikian, Bapak Gubernur, supaya itu mimpi, yaitu adanya sekolah-sekolah unggul yang menghasilkan SDM unggul untuk NTT dan, melalui NTT, untuk Indonesia dan dunia, bisa diwujudnyatakan, saya mohon dengan hormat, Bapak ubah system pendidikan di NTT dan menjadikannya contoh di Indonesia dan, bahkan, dunia, tentang bagaimana pendidikan formal itu seharusnya dijalankan untuk membuatnya lebih mampu menjawab tantangan jaman, termasuk mengeluarkan orang dari belenggu kemiskinan dan kebodohan akibat mutu pendidikan yang jelek.
Baca juga: Opini Theresia Wariani: Belajar Etos dan Ilmu Mendidik dari Negeri Sakura
Bapak Gubernur, saya sangat yakin, Bapak bisa melakukan itu. Sebagai pemimpin tertinggi di provinsi ini, Bapak berwewenang untuk mengubahnya. Bapak Gubernur bisa, saya yakin.
Momentum untuk melakukan perubahan yang substansial, yang hakiki, terkait system pendidikan itu di NTT, Bapak Gubernur, adalah saat ini, ketika Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, menelurkan Program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (PMBKM). Program tersebut sangat strategis untuk meningkatkan mutu sekolah dan kampus kita dan, tentu, melalui sekolah dan kampus yang bermutu itu, mutu SDM kita.
PMBKM, pada intinya, mendorong semua sekolah dan kampus menerapkan kegiatan belajar dan mengajar secara bebas-merdeka sesuai bakat, minat dan aspirasi siswa/mahasiswa dalam konteks NKRI dan Pancasila.
Bapak Gubernur, tiga kata itu, yaitu bakat, minat, dan aspirasi siswa/mahasiswa adalah tiga kata kunci PMBKM. Hanya berbeda sedikit dengan yang saya gunakan dalam berbagai tulisan saya, baik di Harian Umum Pos Kupang ini maupun di Harian Umum Kompas yang saya sebut di atas, Bapak Gubernur; saya menggunakan kata “kebutuhan belajar”, Mendikbudristek menggunakan istilah “aspirasi.” Subtansinya tetap sama.
Namun saya takut, Bapak Gubernur, di seluruh Indonesia tidak ada satu pun gubernur, bupati, wakli kota dan pengambil keputusan pendidikan, termasuk rektor, kepala sekolah dan guru serta dosen, yang berani menerapkannya secara taat azas.
Akibatnya, PMBKM yang, sejatinya, amat sangat bernas itu menjadi semacam tong kosong yang nyaring bunyinya.
Baca juga: Opini Frans X Skera: Era Vuca
Dalam konteks surat terbuka ini, Bapak Gubernur, persoalannya adalah bagaimana cara kita menciptakan sekolah unggul yang, pada gilirannya, mampu menghasilkan SDM unggul yang mampu membawa NTT secara khusus, Indonesia secara umum, keluar dari masalah kemiskinan dan kebodohan serta berbagai masalah lainnya.
Untuk menjawab persoalan tersebut, Bapak Gubernur, kita, tentu, tetap butuh sekolah. Kita, tentu, tetap butuh guru. Namun sekolah dan guru yang kita butuhkan bukan lagi sekolah dan guru yang melaksanakan tugasnya secara biasa-biasa saja.
Business as usual. Bukan. Apakah itu berarti sekolah dimulai pada jam 05:30 seperti yang Bapak Gubernur kehendaki? Maaf, Bapak Gubernur, saya sudah sampaikan di atas tadi bahwa itu bukan yang NTT kehendaki. Karena itu, kebijakan itu, kiranya, segera dicabut.
Kebijakan penggantinya, saran saya, kiranya, ini, Bapak Gubernur: Menjadikan NTT yang terdepan dan yang terutama dalam melaksanakan PMBKM dari Menteri Nadiem Anwar Makarim.
Dalam kebijakan itu, menurut saya, Bapak Gubernur bisa “paksakan” implementasi PMBKM secara taat azas. Secara konsisten.
Di setiap sekolah di NTT. Semua sekolah, karena itu, Bapak Gubernur, sejatinya, bisa dan harus menjadi sekolah unggul di provinsi kesayangan kita ini. Yang tidak menerapkannya, silakan “monggo” dari sekolah. Dari NTT, bila perlu.
Namun bagaimana persisnya PMB itu diimplementasikan? Gampang, Bapak Gubernur! Kita hanya butuh guru yang mengajar dan mendidik sekaligus, yang focus kegiatan pembelajarannya jelas, sifatnya student-centered murni.
Artinya, dalam mengajar, para guru itu tidak lagi hanya sekadar memberitahu, mentransfer keterampilan, dan memberikan informasi dan nilai tertentu dari guru ke murid, tanpa tanya jawab kritis; mereka benar-benar mengajar sesuai dengan BMKB murid (baca, misalnya, Implementasi Program Merdeka Belajar: Sebuah Alternatif oleh Feliks Tans dkk., 2022).
Dalam bahasa Howard Gardner, para guru itu mengajari muridnya sesuai dengan kecerdasan utamanya (Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, 1983).
Artinya, seorang murid yang cerdas bermusik, misalnya, harus diberi waktu 99 persen di sekolah untuk mempelajari itu saja; demikian juga yang cerdas membuat kursi atau meja, yang cerdas berpuisi dan/atau yang cerdas bermatematika; dan lain sebagainya.
Bapak Gubernur, pembelajaran (teaching) seperti itu membuat murid belajar atau melakukan kegiatan belajar secara total yang, menurut Carl R. Rogers (1983, Freedom to Learn in1980s, hlm. 20), berciri khas sebagai berikut.
Pertama, kegiatan belajar dimulai oleh murid itu sendiri. Tanpa disuruh, dia belajar. Dia berinisiatif sendiri untuk belajar.
Kedua, dia menilai/mengevaluasi sendiri hasil belajarnya. Apakah dia sudah bisa atau belum, dia tahu.
Baca juga: Opini Albertus Muda S.Ag: Pendidikan, Pengajaran dan Kekerasan
Ketiga, jiwa dan raganya 100 persen berada dalam kegiatan belajarnya. Ada totalitas dalam belajarnya.
Keempat, hasil belajarnya berpengaruh terhadap seluruh kepribadiannya, yaitu bahwa ketika dia belajar, misalnya, mencuri itu tidak baik, dalam perjalanan hidup selanjutnya dia tidak akan pernah mencuri atau melakukan korupsi.
Ini didukung Paul Tough (2012, How Children Succeed: Confidence, Curiosity and the Hidden Power of Character, hlm. xv) yang mengatakan bahwa untuk sukses, orang butuh karakter seperti tahan banting, control diri, keingintahuan, kesabaran, dan rasa percaya diri.
Kelima, apa yang dipelajarinya bermakna untuk masa depannya yang lebih baik dan, karena itu, dia belajar secara total supaya sukses.
Bapak Gubernur, dalam kegiatan belajar yang bermakna seperti itu, disadari atau tidak, empat kompetensi Abad XXI, yang dikenal dengan nama 4C, yaitu critical thinking, communication, collaboration, creativity atau berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan memiliki kreativitas (dalam Yuval Noah Harari, 21 Lessons for the 21st Century, 2018, hlm. 268) dipelajari secara all out.
Dengan atau tanpa guru, secara mandiri atau kolektif, siang atau malam, di pagi atau malam hari. Kapan pun. Di manapun.
Bapak Gubernur, jika semua alumni SMA/K dan para sarjana kita dilatih secara total dalam konteks PMBKM dan, karena itu, memiliki kemampuan yang mumpuni dalam 4C itu di dan setelah sekolah/kuliah, predikat tak sedap bagi NTT seperti yang disematkan padanya selama ini segera hilang lenyap. (Dosen FKIP/Pascasarjana, UNDANA)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS