Opini

Opini: Ryan Silet Open Up, Juan Reza, Piche Kota, Pemuda Titisan Suara Leluhur Nusantara

Mereka datang dengan suara, dengan energi panggung, dengan daya tarik hiburan yang sederhana tetapi mengguncang jiwa.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI AVEN JAMAN
Aven Jaman 

Oleh: Aven Jaman
Peneliti Lembaga Pemilih Indonesia, asli NTT, berdomisili di Yogyakarta.

POS-KUPANG.COM - Tiga anak muda dari Nusa Tenggara Timur ( NTT) — Ryan Silet Open Up, Juan Reza, dan Piche Kota — pantas untuk dilihat sebagai bukan sekadar bintang hiburan. 

Ketiganya sukses merajai trending topik platform media sosial tanah air sejak awal tahun ini.

Menariknya, ketiga-tiganya memiliki darah Ende di nadinya. Sementara kita tahu, Ende adalah rahim yang melahirkan Pancasila, Dasar Negara kita. 

Sedangkan, pada tahun 2025 ini negara kita genap berusia 8 dekade, usia yang tergolong matang dalam bernegara. 

Baca juga: Opini: Istana Merdeka Tabola Bale

Melihat fenomena ketiga pemuda di hadapan realitas kehidupan bernegara kita saat ini, satu keyakinan seketika menyeruak bahwa mereka bisa jadi merupakan titisan suara leluhur Nusantara. Mari kita kupasnya perlahan!

Suara yang Datang dari Timur

Di tengah gegap gempita perayaan 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, negeri ini menyaksikan sesuatu yang tak biasa. 

Bukan lewat pidato panjang pejabat, bukan pula lewat parade senjata di jalan raya, melainkan lewat munculnya tiga pemuda dari Nusa Tenggara Timur: Ryan Silet Open Up, Juan Reza, dan Piche Kota.

Mereka datang dengan suara, dengan energi panggung, dengan daya tarik hiburan yang sederhana tetapi mengguncang jiwa. Kehadiran mereka sepertinya bukan sekadar hiburan semata. 

Seakan ada sesuatu yang lebih dalam: sebuah gema dari leluhur bangsa yang ingin berkata, “Indonesia, jangan retak. Ingat kembali persatuanmu!”

Hal itu diyakini mengingat bagaimana jalur yang mereka pakai adalah musik, sebuah entitas yang mampu menyatukan semua lapisan masyarakat tanpa sekat SARA dan usia. 

Sedangkan Indonesia pada usianya yang ke-80 tahun ini masih saja diwarnai aksi-aksi intoleran dan sovinisme kultur. 

Jadi, ketiga pemuda fenomenal berdarah Ende ini tak pantas dilihat hanya sebagai aktor panggung hiburan semata. Ada yang lebih dari sekadar itu. 

Bukan Kebetulan Katolik, Melainkan Tanda

Fenomena mencuatnya tiga pemuda asal NTT ini diperkuat pula oleh latar mereka yang Katolik. Sebuah kebetulan? Bukan! 

Untuk diingat, Pancasila bisa ditemukan di Ende adalah berkat pergaulan Soekarno yang di sela-sela pengasingannya, beliau terlibat dalam diskusi mendalam tentang konsep negara-bangsa dengan para misionaris Katolik dari Belanda. 

Alhasil, menonjolnya ketiga pemuda Katolik asal NTT ini sepanjang tahun 2025, pun sebaiknya tidak dilihat sebagai kebetulan belaka. 

Lihat! Mereka lahir di tempat berbeda, tumbuh dengan cara masing-masing, tetapi dalam nadi mereka mengalir darah yang sama yakni darah Ende, keyakinannya juga sama yakni Katolik. 

Padahal, Ende adalah kota yang masyarakatnya tak hanya Katolik melainkan juga muslim. Tapi mengapa ketiganya Katolik? 

Ini harus dilihat pula dalam konteks kebangkitan rohani Katolik beberapa tahun belakangan ini. 

Di tengah derasnya ancaman hilangnya peradaban humanis akibat munculnya kecerdasan buatan (AI), umat Katolik malah tampil menakjubkan. 

Jumlah umatnya sedunia meningkat signifikan seiring dengan bermunculannya konten-konten Katolik di berbagai platform media. 

Katolik sendiri berarti umum. Agama umum, sintesis dari segala tesis agama-agama di dunia. 

Kemurnian ajarannya terjaga utuh sejak zaman Yesus dan para rasul-Nya hingga hari ini, melewati berbagai tantangan zaman bahkan sampai pernah nyaris tinggal nama tatkala berada di abad kegelapan (Dark Ages) masa renaisance. 

Ini tentu menyiratkan satu hal bahwa janji Tuhan yang akan menyertai umat-Nya sampai akhir zaman terbukti. 

Pembuktian itu juga berlaku saat ini, tepat ketika kita satu bumi ini dilanda kecemasan akibat serbuan AI. 

Dan di tengah situasi itu, tiga pemuda  berdarah Ende ini hadir. Tidakkah ini pertanda bahwa sekalipun mereka berkarir di jalur profan, latar belakang Katolik mereka perlu dilihat sebagai cara lain dari Tuhan merahmati peradaban kontemporer khususnya kita di Indonesia. 

Terima kasih banyak untuk Ende dan masyarakatnya. Karena di sana Pancasila bisa ditemukan Soekarno, berkat persentuhan sejarahnya dengan para misionaris Katoliik. 

Seandainya Soekarno tak dibuang di Ende kala itu (1934-1938), barangkali Pancasila kita tak pernah ada. 

Bung Karno sendiri sampai mengaku bahwa gagasan Pancasila lahir dari permenungan panjang di bawah sebuah pohon sukun di pinggir pantai Ende. 

Dari tempat yang sederhana itu, ide besar yang hingga kini menjadi fondasi bangsa bernama Pancasila itu bisa lahir.

Maka, apakah aneh bila kini, dari rahim sejarah yang sama, tiga pemuda, Pice, Juan dan Ryan pantas dilihat sebagai titisan leluhur yang menolong Soekarno menemukan Pancasila? 

Di mata saya, mereka tiga adalah tiga suara yang menggaungkan kembali semangat persatuan kita. 

Mereka memang tak tegas berseru untuk bersatu, tapi daya pikat yang mereka hadirkan sudah mampu melampaui itu sampai-sampai semuanya bisa terkumpulkan di sekitaran panggung yang sama, tak lagi peduli SARA yang melatari mereka masing-masing. 

Dan di tengah-tengah itu semua, Tuhan yang mengizinkan Soekarno menemukan Pancasila ikut hadir merahmati semuanya. 

Tiga Cahaya dari Ende

Demikianlah, dalam diri ketiga anak muda ini kita patut melihat nilai-nilai yang tak sekadar aktor hiburan. 

Ryan dengan gebrakan Open Up-nya, Juan dengan kekuatan energi panggungnya yang meggetarkan jiwa, lalu Piche dengan pesona yang merangkul generasi muda, adalah seperti tiga obor yang dinyalakan dari Ende dengan sentuhan Katolik nan lembut, lalu dibawa ke panggung nasional.

Obor itu bukan sekadar cahaya hiburan. Obor itu adalah tanda zaman: bahwa roh persatuan dan kesatuan bangsa tengah hadir karena sedang tak baik-baik saja. 

Polarisasi politik, luka perpecahan dan retaknya rasa kebangsaan seolah membuat Indonesia kehilangan arah. Lalu, lewat karya sederhana anak-anak muda ini, kita kembali diingatkan bahwa Indonesia hanya akan kuat bila tetap bersatu.

Titisan Suara Leluhur Nusantara

Mengapa harus mereka? Mengapa harus dari Timur? Mengapa harus dari Ende?

Jawabannya bisa jadi karena leluhur bangsa ini, mereka yang berkorban darah dan nyawa demi merah putih, tak rela bila bangsa ini terkoyak. 

Maka mereka meniupkan roh itu ke dalam suara tiga pemuda ini, agar lewat musik dan hiburan, pesan persatuan bisa kembali menggema di seluruh nusantara.

Dengan demikian maka Ryan, Juan, dan Piche bukan sekadar penyanyi atau entertainer. 

Mereka adalah titisan suara leluhur Nusantara, yang berseru lewat nada dan panggung: “Bangsa ini lahir dari persaudaraan, jangan biarkan ia mati karena perpecahan.”

Pesan dari Timur untuk Nusantara

Indonesia berusia delapan dekade tahun ini. Usia yang matang, tetapi juga rawan rapuh bila tak dijaga. Di titik inilah, kehadiran tiga pemuda ini menjadi semacam alarm kebangsaan. 

Dari Timur, mereka datang membawa pesan untuk seluruh Nusantara: bahwa persatuan adalah harga mati, dan Indonesia hanya akan hidup bila tetap berpegang pada Pancasila.

Mereka bukan politisi, bukan orator, bukan pula pejabat tinggi. Justru karena itu, suara mereka lebih murni, lebih jujur, lebih mudah meresap. 

Mereka tidak berbicara dengan bahasa kekuasaan, melainkan dengan bahasa musik—bahasa yang melintasi batas agama, budaya, dan ideologi.(*) 

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved