Opini
Opini: Menata Ulang Tata Kelola Anggaran Daerah, Refleksi dari OBS 2023 dan Temuan BPK NTT
Skor transparansi sebesar 70 dari 100 menandakan bahwa akses masyarakat terhadap dokumen anggaran sangat terbatas.
Oleh: Wilhelmus Mustari Adam,SE.,M.Acc
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Sektor Publik Universitas Brawijaya, Malang
POS-KUPANG.COM - Tata kelola keuangan publik yang baik bukan hanya tentang disiplin anggaran, tetapi juga soal bagaimana anggaran dikelola secara transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Tiga pilar ini bukan hiasan normatif, melainkan prasyarat bagi pembangunan yang demokratis dan berkeadilan ( open government).
Di tingkat daerah, misalnya, regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, telah memberikan suatu mekanisme dalam upaya mewujudkan governance.
Demikian pula audit keuangan rutin setiap tahun oleh BPK juga demi mencapai harapan baik tersebut.
Baca juga: Opini: Temuan BPK 2024, Alarm Sistemik Korupsi Struktural Indonesia
Namun, laporan Open Budget Survey (OBS) 2023 yang dirilis pada Mei 2024 oleh International Budget Partnership (IBP) melalui Seknas FITRA (2024), menunjukkan bahwa Indonesia belum bergerak ke arah yang menggembirakan.
Skor transparansi anggaran stagnan di angka 70 (dari skala 0–100), partisipasi publik hanya 26, dan pengawasan oleh legislatif dan BPK berada di angka 59.
Ini menegaskan bahwa reformasi tata Kelola anggaran berjalan lambat, bahkan cenderung stagnan.
Situasi ini juga tercermin secara kasat mata di tingkat daerah.
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), hasil pemeriksaan BPK Perwakilan NTT atas LKPD tahun 2022, yang dirilis pada 2023, mencatat 464 temuan dengan 920 permasalahan senilai lebih dari Rp65,6 miliar, dan 1.066 rekomendasi yang harus ditindaklanjuti Pemda.
Permasalahan yang ditemukan diklasifikasikan ke dalam tiga jenis:
1. Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan (315 masalah).
2. Kelemahan sistem pengendalian intern (251 masalah).
3. Kinerja yang tidak efisien dan tidak efektif (354 masalah).
Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan sebuah cermin betapa rentannya mismanagement dalam sistem pengelolaan keuangan daerah kita.
Fakta ini semakin sulit dikendalikan tatkala hasil pemeriksaan BPK hanya sebagai laporan pemeriksaan biasa oleh pemerintah dan DPRD dan belum menjadikanya sebagai dasar pengambilan keputusan yang membudaya dalam mendorong good governance.
Berangkat dari dua sumber data ini, skor nasional OBS dan audit daerah oleh BPK, kita perlu mengambil jarak, merefleksi, dan menata ulang tata Kelola anggaran daerah agar tidak terus terjebak dalam pola lama yang tidak produktif.
Ketertutupan Informasi: Akar dari Banyak Masalah
Skor transparansi sebesar 70 dari 100 menandakan bahwa akses masyarakat terhadap dokumen anggaran sangat terbatas.
Padahal, keterbukaan informasi publik adalah fondasi utama dari pengawasan sosial.
Tanpa informasi yang memadai, publik kehilangan daya untuk mengkritisi dan mengawal kebijakan anggaran.
Banyak pemerintah daerah masih menganggap dokumen anggaran sebagai dokumen internal yang hanya dikonsumsi oleh elit birokrasi dan legislatif.
Dalam banyak kasus, portal keuangan daerah tidak menampilkan dokumen anggaran secara utuh dan aktual.
Keterbukaan bukan hanya soal mengunggah dokumen, tetapi menyajikannya dalam bentuk yang mudah dipahami, relevan, andal, dan terhubung dengan kepentingan publik.
Padahal, transparansi pengelolaan keuangan daerah menjadi tuntutan dan kebutuhan utama.
Misalnya, undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik yang mewajibkan setiap badan publik, termasuk pemerintah daerah untuk mempublikasikan informasi publik atas aktivitasyang dilaksanakanya.
Transparansi adalah kunci utama dan menjadi salah satu pilar utama pengelolaan keuangan modern dan dalam mewujudkan good governance.
Partisipasi yang Bersifat Simbolik
Partisipasi masyarakat dalam penganggaran belum menjadi instrumen pengambilan keputusan yang bermakna.
Skor OBS sebesar 26 mengonfirmasi bahwa forum-forum seperti Musrenbang lebih sering bersifat procedural daripada deliberatif.
Aspirasi masyarakat sering kali tidak masuk dalam prioritas anggaran yang final, atau dipangkas dalam proses teknokratis di tingkat SKPD.
Padahal, partisipasi yang otentik adalah jalan untuk memastikan anggaran benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, terutama kelompok rentan.
Tanpa partisipasi bermakna, alokasi anggaran cenderung berpihak pada kepentingan elite politik dan birokrasi serta bersifat formalitas.
Lemahnya Pengawasan DPRD dan BPK
Fungsi pengawasan anggaran di daerah juga masih lemah dan belum optimal.
Skor pengawasan sebesar 59 mencerminkan bahwa baik DPRD sebagai lembaga representatif rakyat maupun BPK sebagai auditor eksternal Pemda belum berfungsi maksimal dalam mengawasi siklus pengelolaan anggaran secara ekonomis, efisien, efektif, dan taat pada peraturan perundang-undangan.
Hasil audit BPK NTT yang menunjukkan ratusan masalah, sebagian besar bersifat berulang.
Ini menandakan bahwa rekomendasi audit tidak cukup ditindaklanjuti, atau tidak memiliki daya tekan yang kuat terhadap pejabat pelaksana.
Di sisi lain, DPRD sering kali tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam mengindentifikasi, dan menganalisis persoalan teknis dan substantif anggaran serta keberanian politik untuk menjalankan fungsi pengawasan yang kritis.
Saran dan Rekomendasi Kebijakan
Untuk mendorong tata kelola anggaran daerah yang lebih baik, perlu dilakukan langkah-langkah strategis dan sistemik sebagai berikut:
1. Mendorong regulasi keterbukaan anggaran yang lebih kuat dan mengikat.
Setiap pemerintah daerah wajib menyediakan dokumen anggaran dalam bentuk yang terbuka, lengkap, dan mudah diakses publik.
Peraturan daerah dapat mewajibkan pengelolaan portal anggaran interaktif dan pelibatan publik dalam penyusunan anggaran sejak awal.
2. Melembagakan partisipasi publik secara substantif.
Musrenbang harus direformasi menjadi forum partisipatif yang inklusif. Diperlukan mekanisme penilaian dan umpan balik terhadap usulan warga, serta keterlibatan CSO, akademisi, dan media dalam penajaman prioritas anggaran.
3. Memperkuat peran dan kapasitas pengawasan DPRD.
Anggota DPRD harus diberi pelatihan rutin mengenai keuangan daerah dan tata kelola anggaran.
Selain itu, dibutuhkan sistem pendukung seperti tim ahli dan komite pengawasan independent untuk mendampingi fungsi pengawasan.
4. Menindaklanjuti temuan audit dengan kebijakan korektif.
Pemda harus menindaklanjuti setiap rekomendasi BPK dengan rencana aksi yang jelas dan terukur.
Evaluasi atas tindak lanjut audit harus dipublikasikan secara terbuka sebagai bentuk akuntabilitas publik.
5. Memanfaatkan teknologi informasi sebagai enabler governance.
Digitalisasi pengelolaan keuangan publik harus diarahkan untuk memperkuat transparansi dan efisiensi, bukan sekadar pelaporan administratif.
Pemanfaatan dashboard anggaran dapat membantu publik memantau secara langsung proses belanja dan capaian kinerja daerah.
Penutup
Transparansi, partisipasi, dan pengawasan adalah tiga elemen utama dalam sistem keuangan daerah yang sehat, dan menjadi variabel utama OBS oleh terhadap 125 negara setiap dua tahun sekali.
Ketika ketiganya lemah, maka yang lahir bukan pembangunan yang merata, tetapi ketimpangan, inefisiensi, dan pemborosan sumber daya.
Lebih mengkwatirkan lagi, asimetri informasi, adverse selection, moral hazard dan prilaku korup juga akan menjadi sebuah celah yang tidak terdeteksi dan dikendalikan.
Temuan BPK Perwkilan Provinsi NTT (2023) dan skor buruk Indonesia dalam OBS 2023 bukan sekadar catatan statistik, melainkan alarm keras bahwa tata kelola anggaran kita perlu ditata ulang.
Momentum ini harus digunakan untuk melakukan koreksi arah dari tata kelola yang tertutup dan elitis, menuju sistem yang inklusif, terbuka, dan bertanggung jawab kepada publik.
Karena sejatinya, APBD adalah dana publik. Setiap rupiah keuangan Negara-daerah harus memberikan kontribusi pembangunan masyarakat di daerah serta dapat dipertanggungjawabkan secara jelas.
Hal tersebut mencerminkan etika pemerintahan dalam melayani rakyat guna mewujudkan good government governance. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.