Opini

Opini: Feodalisme Modern di Ruang Pendidikan, Mentalitas Milenial  Metode Kolonial

Dari kacamata filsafat politik, ini adalah miniatur "power distance"  tinggi — Jarak kekuasaan yang lebar antara atasan dan bawahan. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Bernabas Unab 

Oleh: Bernabas Unab
STFT Widya Sasana Malang, Jawa Timur

POS-KUPANG.COM - Di tengah hingar-bingar teknologi kecerdasan buatan, wacana Kampus Merdeka, dan semangat generasi muda yang katanya “melek digital”, ada satu ironi yang diam-diam terus hidup di jantung dunia pendidikan tinggi kita: masa pengenalan kampus yang masih bermental kolonial

Setiap tahun, ribuan mahasiswa baru disambut dengan deretan instruksi aneh, peraturan kaku, dan simbol-simbol hierarki yang lebih mirip peninggalan zaman tanam paksa ketimbang gerbang menuju kebebasan intelektual.

Pemandangan itu nyaris selalu sama: mahasiswa baru berdiri berbaris di bawah terik matahari, mendengarkan teriakan senior lewat toa, menunduk ketika berbicara, hingga “dihukum” karena lupa atribut yang tidak ada hubungannya dengan isi kepala mereka.

Semua dibungkus rapi dengan kata “tradisi” dan “pembentukan mental”. Tradisi yang dimaksud tampaknya adalah tradisi tunduk, dan mental yang dibentuk adalah mental patuh pada kekuasaan tanpa bertanya “mengapa”.

Paradoks Zaman: Milenial Rasa Abad 19

Generasi yang tumbuh dengan internet di ujung jari ternyata masih harus belajar mengenali dunia kampus lewat metode yang, ironisnya, lebih cocok untuk calon pegawai kolonial Hindia Belanda. 

Di sini, “pengenalan” berarti membiasakan diri tunduk pada struktur vertikal: senior sebagai penguasa sementara, mahasiswa baru sebagai rakyat jelata yang harus taat tanpa protes.

Dari kacamata filsafat politik, ini adalah miniatur "power distance"  tinggi — Jarak kekuasaan yang lebar antara atasan dan bawahan. 

Michel Foucault menyebutnya sebagai "disciplinary power" kekuasaan yang membentuk tubuh dan perilaku, menundukkan subjek lewat aturan kecil yang diulang-ulang. 

Paulo Freire bahkan akan menyebutnya “pendidikan penindasan” (banking education), di mana mahasiswa dianggap celengan kosong yang harus diisi, bukan subjek yang diajak berdialog.

Feodalisme Sebagai Budaya yang Direproduksi

Masa orientasi ini bukan sekadar acara sambutan, tapi sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi feodalisme di lingkungan akademik. 

Logikanya sederhana: hari ini kamu tunduk, besok kamu memerintah; hari ini kamu diatur, besok kamu yang mengatur. 

Tradisi ini bertahan karena ia menciptakan lingkaran setan kekuasaan — siapa yang pernah “disiksa” akan merasa sah “menyiksa” giliran berikutnya, semua demi “solidaritas” yang tidak pernah benar-benar didefinisikan.

Pierre Bourdieu akan menyebut ini sebagai "habitus" pola pikir dan perilaku yang diwariskan dan diinternalisasi tanpa banyak disadari. 

Mahasiswa yang masuk dengan semangat kebebasan akan perlahan belajar bahwa di kampus pun, kekuasaan bekerja lewat simbol, gestur, dan ritual yang mempertahankan hierarki.

Membungkus Kekuasaan dengan Retorika Moral

Yang membuatnya semakin kompleks adalah bagaimana tradisi ini dibungkus dengan retorika moral: “Kami sedang melatih mental kalian,” atau “Kami mempersiapkan kalian menghadapi dunia nyata.” 

Dunia nyata yang dimaksud ternyata adalah dunia penuh perintah tanpa ruang bertanya, dunia di mana kekuasaan tidak perlu dijustifikasi asalkan dibungkus alasan “demi kebaikan”.

Ironinya, kampus seharusnya menjadi rumah bagi pikiran bebas, laboratorium demokrasi, dan ruang perdebatan terbuka. 

Namun, masa orientasi feodal justru mengajarkan mahasiswa baru bahwa yang penting bukan isi kepala, melainkan seberapa taat mereka pada aturan yang bahkan tidak relevan dengan proses akademik.

Pendidikan atau Simulasi Kekuasaan?

Pertanyaannya: apakah masa orientasi ini benar-benar memperkenalkan mahasiswa pada budaya akademik, atau sekadar simulasi kekuasaan? 

Apakah ini tentang membangun karakter, atau hanya melestarikan kebiasaan turun-temurun yang sudah kehilangan konteks?

Sebagian pembela tradisi ini akan berkata, “Kalau tidak seperti ini, mahasiswa baru tidak akan menghargai senior.” 

Pernyataan ini saja sudah cukup untuk menunjukkan betapa kita masih memelihara mentalitas feodal: rasa hormat diperoleh bukan dari keteladanan intelektual atau kontribusi nyata, melainkan dari posisi "lebih dulu” di dalam hierarki.

Alternatif: Pengenalan Kampus Dialogis

Kritik tanpa solusi hanya akan terdengar seperti keluhan. Karena itu, penting untuk membayangkan alternatif. 

Pengenalan kampus seharusnya menjadi ajang memperkenalkan mahasiswa pada tiga hal: budaya akademik yang berbasis kebebasan berpikir, jaringan sosial yang kolaboratif, dan kesadaran akan tanggung jawab sosial.

Model yang dialogis bisa menggabungkan mentoring, diskusi tematik, dan eksplorasi kreatif. 

Senior menjadi fasilitator, bukan penguasa. Aturan bukan untuk menundukkan, melainkan untuk mengarahkan pada pengalaman belajar yang bermakna. 

Dalam suasana ini, rasa hormat tumbuh secara alami karena ada teladan, bukan paksaan.

Kita bisa belajar dari banyak universitas di dunia yang memanfaatkan minggu orientasi untuk membangun "learning community" kelompok kecil lintas angkatan yang mengerjakan proyek sosial, penelitian mini, atau tur budaya akademik. 

Di sana, status senior hanyalah penanda pengalaman, bukan alat legitimasi untuk mengontrol.

Menutup Tas Abad Lalu

Feodalisme modern di ruang pendidikan adalah paradoks yang harus kita akhiri. Dunia sudah bergerak cepat: teknologi, cara belajar, bahkan konsep pekerjaan berubah. 

Namun tanpa sadar, kita masih membawa tas lama berisi atribut dan ritual abad lalu.

Jika kita ingin mahasiswa menjadi generasi kritis yang siap menghadapi tantangan global, kita harus mulai dari pintu masuk: masa orientasi yang membebaskan, bukan menundukkan.

Akhirnya, ini bukan sekadar soal mengubah format acara pengenalan kampus, tapi mengubah pola pikir kita sendiri tentang pendidikan. 

Selama kita masih percaya bahwa kekuasaan harus diawali dengan penundukan, kita sedang mendidik generasi untuk mengulang kesalahan yang sama.

Pertanyaannya, maukah kita membuka tas itu, mengosongkannya, dan mengisinya Kembali dengan hal-hal yang relevan untuk hidup sebagai mahasiswa merdeka? (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved