Opini

Opini: Bahaya Ekosida

Dalam dirinya, minimal defakto, Prof David Pandie sesungguhnya telah menjadi Profesor dan Mentor sudah sejak lama. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/DOK PRIBADI LASARUS JEHAMAT
Lasarus Jehamat 

Dampak lanjutannya ialah semua kebijakan mesti diarahkan untuk tujuan konomi dan harus diukur dengan angka matematis. Ini soal dan sial. 

Dalam kerangka itu, kebijakan publik berkiblat mengabdi pada kekuasaan ekonomi dan jauh dari penanaman nilai sosial budaya termasuk dalam bidang lingkungan.

Dari Genosida ke Ekosida

Dunia tengah bergerak ke arah kehancuran. Kehancuran karena ulah manusia. Manusia yang konon merupakan mahluk paling sempurna. 

Makhluk yang memiliki akal dan rasio di atas mahluk lain. Kehancuran dunia ditandai oleh dua gejala sekaligus. Kehancuran manusia dan alam.

Di fenomena pertama, sumber utama kehancuran tersebut ialah paradoks eksistensi manusia. Fenomena kehancuran manusia disebabkan karena kealpaan manusia menerapkan nilai dalam kehidupan sosialnya. 

Homo sapien yang digadang sebagai mahluk paling cerdas di muka bumi karena kepemilikan akal budi, ternyata menjadi aktor pertama degradasi sosial dan lingkungan.

Wujud nyata kehancuran paling mudah dilihat dalam berbagai macam tragedy genosida. Laporan Journal of Peace Research (Birch & van Bergen, 2022) menyebutkan peningkatan 40 persen konflik bersenjata sejak 2022. 

Hal ini disebabkan karena absennya praksis nilai dan etika dalam kehidupan sosial. Tesis Hobbes (1651) tentang perang melawan semua mendapatkan kepenuhan di abad ini. 

Perang yang terjadi di mana-mana di belahan bumi cenderung menverifikasi tesis manusia menjadi serigala bagi yang lain tersebut. 

Pada titik yang lain, superioritas manusia nampak dalam fenomena yang lebih krusial lagi. Itulah yang oleh Prof David Pandie sebagai gejala Ekosida. 

Jika genosida merupakan perwujudan karakter rakus manusia terhadap manusia lain, ekosida adalah wajah buruk manusia terhadap alam.

Studi UNEP (2025) menunjukkan kecepatan kepunahan spesies 1000 kali lebih cepat dari evolusi alami. Dari kasus itu, 70 persen ekosistem darat mengalami kepunahan paling parah. 

Pada kasus lain, proses perusakan hutan Amazon, perusakan pantai, dan eksploitasi batu bara secara masif membalikan wajah hidup alam ke zona kematian abadi (Finn et al., 2023). 

Laporan Global Risks Report 2025 oleh World Economic Forum menyebut bahwa 93 persen perubahan populasi dunia bersifat antropogenik (disebabkan oleh manusia). 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved