Opini
Opini: Membaca Polemik Pungutan Iuran Pendidikan
Biaya pendidikan, khusus sekolah negeri dibiayai negara, mahal karena orang tua dibebankan untuk membiayai beberapa item pendidikan.
Oleh: Gerardus Kuma Apeutung
Sekretaris PGRI Cabang Wulanggitang, mengabdi di SMPN 3 Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Salah satu persoalan yang selalu menjadi sorotan setiap tahun ajaran baru adalah mahalnya biaya pendidikan.
Uang sekolah yang mahal menjadi beban bagi orang tua siswa dari keluarga miskin.
Tidak heran, mereka selalu menjerit ketika uang sekolah anaknya yang selalu naik dari tahun ke tahun.
Biaya pendidikan, khusus sekolah negeri dibiayai negara, mahal karena orang tua dibebankan untuk membiayai beberapa item pendidikan.
Bila ditelisik, ada item pungutan yang memang masuk akal. Namun ada juga pungutan yang terbilang aneh dan terkesan diada-adakan.
Di awal tahun ajaran 2025/ 2026, investigasi Kompas menemukan adanya pungutan di beberapa sekolah di NTT dengan nomimal yang beragam.
Di SMAN 5 Kota Kupang, terdapat 14 jenis pungutan dengan total Rp. 2,2 juta. Di SMAN 1 Adonara, jumlah pungutan untuk siswa baru sebesar Rp 2 juta (Kompas.id, 01/07/2025).
Pungutan yang terasa membebankan orang tua dari keluarga miskin ini membuat sejumlah pihak geram dan mengecam sekolah. Sekolah dinilai melakukan pemalakan terhadap orang tua siswa.
Sorotan tajam datang dari Ombudsman perwakilan NTT. Kecaman ini beralasan karena konstitusi kita yang menjamin pendidikan dasar tanpa biaya.
Merespons polemik ini, Pemerintah Propinsi NTT melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran meminta sekolah untuk tidak boleh melakukan pungutan apapun terhadap siswa baru.
Publik pun bereaksi: memuji sikap Pemprov NTT sebagai ”malaikat” penyelamat dan menjadikan sekolah sebagai ”tersangka.”
Sebagai guru, saya sedih atas pungutan – pungutan yang memberatkan orang tua siswa dan prihatin atas reaksi publik yang ”mentersangkakan” sekolah dalam kasus pungutan iuran pendidikan.
Tetapi bukan maksud tulisan ini untuk membela apalagi membenarkan pungutan iuran pendidikan oleh sekolah.
Intensi saya adalah mengajak kita untuk melihat persoalan ini secara utuh dan mencari solusi bersama atasnya.
Tesis utama tulisan ini adalah ”Mengapa sekolah masih memungut biaya dari orang tua siswa padahal pemerintah sudah menjanjikan pendidikan gratis?”
Amanah Konstitusi
Konstitusi kita menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan negara wajib membiayainya (Pasal 31 UUD 1945).
Amanah ini dipertegas lagi dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 34) bahwa ”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
Secara yuridis, pemerintah diamanatkan untuk membiayai pendidikan warganya.
Amanat ini ditunaikan pemerintah lewat penyaluran dana Bantuan Operasiona Sekolah (BOS) untuk membiaya operasional di sekolah.
Dana BOS adalah dana khusus non fisik untuk mendukung biaya operasional non personalia bagi satuan pendidikan.
Dana BOS digunakan untuk biaya operasional sekolah seperti gaji guru dan karyawan, kebutuhan belajar mengajar seperti buku dan alat tulis, serta keperluan lain seperti biaya listrik, air dan perawatan gedung, dll.
Semua sekolah di Indonesia berhak mendapat dana BOS berdasarkan jumlah siswa yang terdaftar pada sekolah tersebut.
Besaran dana BOS yang diterima setiap satuan Pendidikan bervariasi tergantung dari tingkatan sekolah yakni SD, SMP, atau SMA.
Namun secara faktual, implementasi kebijakan di lapangan belum sepenuhnya tercapai. Dana BOS memang sudah disalurkan ke sekolah.
Tetapi dana itu seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional dan pengembangan kualitas sekolah. Kasarnya janji
pemerintah menggratiskan pendidikan hanya omon–omon saja.
Ini menempatkan sekolah dalam dilema. Di satu sisi sekolah dituntut untuk menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas, tapi di sisi lain sekolah kekurangan dukungan dana yang memadai dari negara. Sekolah seringkali berada pada posisi sulit.
Kebutuhan operasional meningkat, tetapi dana BOS dari pemerintah tidak mencukupi.
Problemnya adalah penyaluran dana BOS dengan skema seragam: berdasarkan jumlah siswa. Bukan berdasarkan kebutuhan sekolah.
Pola ini menimbulkan ketimpangan. Sekolah kecil akan mendapat anggaran yang terbatas. Sementara sekolah besar menerima anggaran melimpah.
Padahal kebutuhan setiap sekolah itu beragam. Sekolah kecil belum tentu kebutuhannya sedikit.
Sebagai ilustrasi, misalnya, di sekolah A yang jumlah muridnya sedikit, masih ada guru berstatus honorer; sementara di sekolah B yang jumlah murid banyak, tidak ada guru honorer.
Dalam kondisi ini, anggaran BOS sekolah A yang minim masih harus digunakan untuk membayar gaji guru honorer. Otomatis biaya untuk item pendidikan lain akan berkurang.
Selain itu, tantangan antara satu daerah dengan daerah lain berbeda – beda. Biaya dan kebutuhan sekolah di kota tidak sama dengan sekolah di desa.
Begitu pula sekolah di Jawadengan di luar Jawa. Harga barang di kota lebih murah dibandingkan dengan harga barang di daerah terpencil yang biasanya sangat mahal.
Sebagai guru di kampung, saya melihat sendiri bagaimana sekolah harus pontang–panting memenuhi biaya operasional pendidikan yang kurang dan atau tidak tercover oleh dana BOS.
Kondisi paling sengsara dirasakan sekolah–sekolah di kampung dengan jumlah murid sedikit.
Contoh paling konkret adalah biaya untuk gaji guru dan pegawai honorer. Sudah jadi rahasia umum, guru – guru kita diupah dengan rendah. Gaji guru yang rendah itu karena dana BOS sedikit.
Karena itu pola penyaluran dana BOS mesti dievaluasi kembali. Pola penyaluran selama ini yang hanya menguntungkan sekolah tertentu harus diubah.
Dana BOS harus diberikan berdasarkan kebutuhan riil sekolah. Menyamaratakan BOS adalah pendekatan yang tampak adil di atas
kertas, tetapi timpang dalam praktik.
Tanggungjawab Bersama
Alokasi dana BOS yang tidak mencukupi kebutuhan operasional sekolah menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu mendanai pendidikan walau konstitusi sudah mengamanatkan alokasi anggaran 20 persen APBN/ APBD untuk pendidikan.
Dalam kondisi ini, kontribusi publik juga diperlukan. Karena pendidikan adalah tanggungjawab bersama pemerintah, orang tua, masyarakat, termasuk dalam hal pembiayaan.
Ruang partisipasi masyarakat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 tentang Komite Sekolah.
Bentuk partisipasi orang tua/ masyarakat dalam mendukung pendidikan anak berupa iuran pendidikan.
Saya tahu masyarakat pasti akan mengecam walau iuran pendidikan ini bertujuan untuk menunjang kebutuhan operasional dan peningkatan mutu pendidikan.
Untuk itu penerimaan dana publik harus memperhatikan catatan berikut. Pertama, transparansi.
Pengelolaan keuangan IPP harus dilakukan secara transparan. Ini harus dimulai dari perencanaan di mana penentuan item didanai dan besaran dana harus berdasarkan kebutuhan nyata dan diputuskan secara bersama.
Rencana dan penggunaan anggaran ini harus diumumkan secara terbuka di media yang bisa diakses publik.
Penggunaan dana ini juga harus diaudit oleh lembaga negara seperti dana BOS. Karena satu sen pun uang publik yang dipakai harus dipertanggungjawabkan.
Kedua, partisipasi publik tidak berarti menggantikan tanggung jawab pemerintah memenuhi hak pendidikan warga. Pemeritah harus tetap bertanggungjawab dalam membiayai pendidikan.
Saya berharap, Pergub tentang pendanaan pendidikan yang sedang disusun harus mengatur tanggung jawab pemprov/ pemda dalam pembiayaan pendidikan.
Pemerintah jangan hanya melarang dan atau membatasi pungutan iuran tanpa memberi solusi.
Lakukan intervensi ke sekolah. Jangan membiarkan sekolah merana dan mencari cara sendiri untuk menghidupi diri. Konsekuensi dari semua ini adalah siswa akan menjadi korban.
Layanan pendidikan yang diperoleh tidak akan maksimal. Ya, tidak mungkin sekolah memberikan pelayanan maksimal di tengah kondisi minimalis.
Saya menutup tulisan ini dengan satu pesan untuk publik NTT: Mari kita bergotong royong membangun pendidikan bagi anak-anak kita. Jangan terlalu berharap pada pemerintah kita.
Komitmen pemimpin kita terhadap dunia pendidikan sangat diragukan. Coba cek, berapa persen APDB yang dialokasikan untuk pendidikan! Apakah sudah sesuai amanat UU: 20 persen?
Pemimpin kita tidak punya political will yang kuat dalam memajukan pendidikan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Gerardus Kuma Apeutung
Pungutan Masuk di SMA/K
Wulanggitang
Flores Timur
Opini Pos Kupang
biaya pendidikan
POS-KUPANG.COM
iuran pendidikan
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.