Opini

Opini: Bendera Bajak Laut Menantang Negara

Jolly Roger, yang dalam kisah One Piece menjadi lambang kru Topi Jerami, bukan sekadar ikon hiburan. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI I PUTU YOGA BUMI PRADANA
I Putu Yoga Bumi Pradana 

Dalam pandangannya, politisi, pemerintah, dan masyarakat tidak lagi berinteraksi semata-mata melalui kebijakan atau debat rasional, tetapi melalui konstruksi media yang membentuk persepsi publik. 

Dalam ruang ini, bendera bajak laut bukan sekadar kain yang dikibarkan, melainkan narasi visual yang menantang otoritas negara. Mediatisasi telah menciptakan demokrasi yang lebih mengutamakan efek dramatis ketimbang substansi kebijakan.

Politik Simbolik

Max Weber, sosiolog Jerman yang dikenal sebagai Bapak Birokrasi Modern, menempatkan negara sebagai entitas yang mengklaim monopoli atas simbol-simbol resmi seperti bendera Merah Putih. 

Namun, fenomena pengibaran bendera bajak laut menunjukkan bahwa negara telah kehilangan sebagian legitimasi simboliknya. 

Reaksi keras pejabat pemerintah, sebagaimana diberitakan oleh Kompas, justru memperlihatkan keterputusan negara dari bahasa politik baru yang digunakan rakyat.

Michel Foucault, filsuf Prancis yang dikenal melalui kajiannya tentang relasi kuasa dan pengetahuan, mengajarkan bahwa kekuasaan bekerja tidak hanya melalui hukum, tetapi juga melalui kontrol atas makna. 

Ketika warga memilih bendera bajak laut, mereka menolak makna yang dilekatkan negara pada simbol resminya. 

Mereka meminjam bahasa tandingan untuk mengungkapkan bahwa rasa memiliki terhadap negara telah melemah, menandakan krisis legitimasi yang bersifat simbolik sekaligus politik.

Dalam kerangka ini, birokrasi yang hanya merespons secara legalistik menunjukkan ketidakpekaan terhadap lapisan kultural politik. 

Dwight Waldo, salah satu pemikir besar administrasi publik yang menegaskan bahwa administration is not value-neutral, mengingatkan bahwa birokrasi bukanlah mesin mekanis yang semata-mata mengeksekusi
aturan.  

Administrasi publik adalah arena nilai yang menuntut kepekaan moral. Ketika negara gagal membaca pesan di balik simbol, maka setiap upaya represif hanya akan memperdalam jurang antara pemerintah dan warganya.

Demokrasi yang Terperangkap Mediatisasi

Fenomena bendera bajak laut juga menyingkap bagaimana demokrasi Indonesia terperangkap dalam logika mediatisasi. 

John B. Thompson menjelaskan bahwa di era ini, politik berlangsung di bawah gaze of mediated visibility, di mana kekuatan politik diukur dari kemampuan membentuk narasi publik. Simbol menjadi senjata yang lebih ampuh daripada argumentasi prosedural.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved