Opini
Opini: Elaborasi Pendidikan Bermakna, Mengembalikan Jiwa dalam Ruang Kelas
Pembelajaran akan lebih bermakna ketika informasi baru dikaitkan secara substantif dengan struktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik.
Ketika pendidikan direduksi menjadi sekadar kompetensi teknis, maka dimensi etis dan eksistensial siswa hilang dari pandangan.
Mengapa Pendidikan Sering Tak Bermakna?
1. Kurikulum Tekstual dan Terfragmentasi
Kurikulum kita sering kali berorientasi pada penguasaan konten dan capaian kognitif yang terfragmentasi.
Menurut Sugrue & Day (2021), kurikulum semacam ini cenderung melupakan integrasi nilai, pengalaman hidup, dan keterkaitan lintas bidang.
Akibatnya, siswa kesulitan mengaitkan apa yang dipelajari dengan kehidupan nyata mereka.
2. Dominasi Penilaian Kuantitatif
Sistem asesmen yang terlalu menekankan angka telah mengubah orientasi belajar menjadi kompetisi, bukan proses pemaknaan.
Brookhart (2020) menyatakan bahwa asesmen bermakna seharusnya memfasilitasi refleksi dan pemahaman mendalam, bukan sekadar mengukur hafalan.
3. Ketimpangan Relasi Guru-Siswa
Dalam banyak ruang kelas, relasi guru-siswa masih bersifat vertikal dan otoritatif.
Padahal, menurut Nel Noddings (2021), pendidikan bermakna tumbuh dalam relasi pedagogis yang etis dan penuh kasih.
Guru bukan hanya pemberi instruksi, tetapi harus menjadi “pribadi yang peduli” ( a caring teacher).
4. Minimnya Integrasi Konteks Lokal
Di daerah seperti Nusa Tenggara Timur, kita menemukan fakta bahwa pengetahuan lokal, kearifan budaya, dan bahasa ibu jarang dijadikan bahan ajar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.