Opini
Opini: Hela Keta, Model Kepemimpinan Pendidikan Berbasis Relasi Budaya Timor
Pertanyaannya, apakah mungkin kita membangun model kepemimpinan pendidikan yang lebih manusiawi dan kontekstual?
Kepala sekolah yang mengadopsi prinsip ini akan menghindari kepemimpinan otoriter. Ia menjadi fasilitator dialog, bukan pengambil keputusan tunggal.
4. Pembagian Peran yang Adil
Setiap pihak dalam Hela Keta memiliki peran sosial yang jelas. Hal ini bisa diterapkan dalam manajemen sekolah dengan membagi peran secara adil dan sesuai kompetensi.
Guru, staf administrasi, komite sekolah, dan siswa diberi ruang untuk berkontribusi aktif sesuai kapasitas masing-masing.
5. Pewarisan Nilai dan Karakter
Hela Keta bukan hanya soal fungsi sosial, tetapi juga pewarisan nilai. Pemimpin sekolah harus menjadi penjaga nilai (value keeper).
Ia berperan menanamkan karakter kepada siswa, menjaga spiritualitas komunitas sekolah, dan menjadi teladan bagi lingkungan sekitar.
Sekolah sebagai Komunitas Relasi, Bukan Sekadar Institusi
Jika sekolah dikelola dengan prinsip Hela Keta, maka sekolah bukan lagi sekadar institusi formal, melainkan menjadi komunitas relasi sosial.
Di sini, pendidikan bukan hanya soal mengajar, tetapi membentuk karakter, membangun solidaritas, dan menjaga harmoni sosial.
Hal ini juga selaras dengan paradigma school as community yang dikembangkan dalam teori pendidikan kritis (Freire, 1970) dan konsep pendidikan berbasis budaya (Tilaar, 2004).
Sekolah bukan menara gading, melainkan ruang perjumpaan antar manusia yang saling membentuk dan belajar satu sama lain.
Mengembalikan Marwah Kepemimpinan Pendidikan di NTT
Kepemimpinan pendidikan di NTT harus mulai berani keluar dari pola lama yang birokratis dan hierarkis. Kita perlu model kepemimpinan yang membumi dan relevan dengan konteks lokal.
Model ini bukan sekadar teori impor dari dunia Barat, melainkan bisa bersumber dari kearifan lokal kita sendiri.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.