Breaking News

Opini

Opini: Jejak Tanaman dalam Dunia Sihir dan Pengobatan Alternatif

Sihir dan pengobatan tradisional lahir dari keyakinan yang sama: bahwa alam menyimpan daya hidup. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Yoseph Yoneta Motong Wuwur 

Tumbuhan digunakan dalam berbagai ritus—dari penyembuhan dan perlindungan hingga transformasi spiritual—sebagai bagian dari sistem makna yang telah hidup selama berabad-abad.

Contoh seperti daun sirih dalam budaya Asia Tenggara, Salvia divinorum di Meksiko, atau kemenyan dalam tradisi keagamaan, menunjukkan bahwa tanaman memegang fungsi simbolik dan sakral. 

Mereka hadir bukan hanya sebagai obat, tetapi sebagai penghubung
antara dunia material dan spiritual.

Meski kerap dicap tahayul, psikologi modern menunjukkan bahwa ritual semacam ini berdampak nyata terhadap kondisi emosional dan mental. 

Spiritualitas memberi ruang bagi penyembuhan batin, menjadikan pengalaman dengan tanaman sakral sebagai proses multidimensional yang melampaui sekadar intervensi medis.

Penggunaan tanaman sakral juga tunduk pada aturan khusus—konteks, waktu, dan niat yang tepat. 

Dalam kesakralan itulah letak kekuatannya: bukan sekadar senyawa kimia, tetapi jembatan antara tubuh, jiwa, dan alam semesta.

Farmakognosi dan Masa Depan Obat

Farmakognosi, cabang farmasi yang meneliti obat dari sumber alami, kini menjadi garda depan dalam menggali potensi tanaman sebagai terapi berbagai penyakit kronis. 

Tumbuhan seperti sambiloto, kencur, dan pegagan yang dulu hidup dalam tradisi dan mitos, kini terbukti mengandung senyawa bioaktif seperti flavonoid, alkaloid, dan terpenoid dengan efek antibakteri, antikanker, antiinflamasi, hingga neuroprotektif.

Kemajuan ilmiah ini membuka harapan besar, namun membawa tantangan etis. Eksplorasi tanpa kendali terhadap tanaman langka demi riset atau keuntungan ekonomi bisa merusak keseimbangan alam. 

Karena itu, konservasi lingkungan dan penghormatan terhadap kearifan
lokal harus menjadi fondasi dalam setiap langkah ilmiah.

Peran masyarakat adat sangat krusial—mereka bukan hanya penjaga pengetahuan tradisional, tapi mitra sejajar yang berhak atas pengakuan dan manfaat dari hasil riset yang bersumber dari tanah dan hutan mereka. Ilmu tanpa keadilan bisa menjadi bentuk baru kolonialisme pengetahuan.

Farmakognosi idealnya menjadi jembatan antara sains modern dan nilai budaya, antara laboratorium dan ladang. 

Dengan pendekatan yang holistik dan beretika, masa depan pengobatan bisa lebih manusiawi dan berkelanjutan—tidak hanya soal pil sintetis, tetapi juga ramuan yang diwariskan dengan cinta dan dijaga dengan ilmu.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved