Opini
Opini: Ricky dan Alma, Oebelo dan Atambua
Saat itu, “aku” dalam puisinya bukanlah persona lain, sebagaimana para tokoh dalam puisi-puisinya di buku Lalu Kau Menulis Atambua.
Karena itu pula, ketika menulis pengantar penerbit untuk buku Lalu Kau Menulis Atambua, buku puisi yang mendapat sambutan hangat dari para pembaca ketika didiskusikan di Makassar International Writers Festival 2025, saya memberi penekanan di akhir tulisan tersebut:
“Puisi-puisi terbaik dalam buku ini justru memperlihatkan kewajaran-kewajaran yang dikerjakan dengan sejenis kelihaian sebagaimana pesan-pesan bernuansa politis disembunyikan dalam jukstaposisi, wacana pascakolonial melintas di baris kisah tentang duka, dan perubahan kota dilesapkan sebagai bagian dari kisah nostalgia.
Dengan demikian, kejujuran yang ditampilkan tokoh-tokoh dalam buku puisi hadir tanpa kecenderungan mengeksotisasi latar kulturalnya, sehingga puisi-puisi di dalam buku ini bisa lebih jauh menarik pembaca ke dalam ruang hening dan terpencil untuk menawarkan kemungkinan-kemungkinannya yang tidak terbatas.”
Meskipun Jacques Lacan telah memperingatkan bahwa bahasa selalu tidak pernah lengkap menyampaikan maksud seseorang, pengalaman menyaksikan Ricky mengucapkan puisi dan menyatakan “aku” autentiknya pada momen pernikahannya adalah sebuah pengalaman berharga bagi saya. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.