Opini

Opini: Sekolah Mahal Guru Sengsara, Ironi Pendidikan Kita

Sekolah negeri maupun swasta menarik pungutan dalam berbagai rupa: dari seragam, sumbangan bangunan, daftar ulang, hingga ekskul wajib. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Heryon Bernard Mbuik 

Banyak orang tua tidak tahu hak mereka untuk menolak, bahkan takut jika anaknya akan diperlakukan berbeda jika tidak ikut. 

Rapat komite pun sering hanya menjadi formalitas legalisasi, bukan forum dialog demokratis.

Ketimpangan Kesejahteraan Guru

Ironisnya, di balik besarnya pungutan, guru tetap hidup dalam keterbatasan. Di beberapa sekolah swasta di Kecamatan Alak, Maulafa dan Oebobo, guru hanya digaji Rp400.000–Rp600.000 per bulan, tanpa BPJS dan tanpa tunjangan. 

Bahkan di sekolah negeri, guru honorer banyak yang menerima honor di bawah UMK Kota Kupang (sekitar Rp2,1 juta).

Mereka tetap mengajar penuh waktu, menyusun administrasi pembelajaran, menghadapi tekanan dari orang tua, dan harus tetap profesional. 

Tetapi sistem belum menempatkan mereka secara adil. Dalam banyak kasus, dana yang dikumpulkan melalui pungutan tidak menyentuh peningkatan kesejahteraan guru sama sekali.

Ketimpangan ini menunjukkan sistem yang pincang: orang tua membayar mahal, tapi guru tetap dalam kemiskinan. Sekolah menjadi arena transaksi, bukan transformasi.

Sekolah Bukan Pasar

Pendidikan seharusnya menjadi hak warga negara, bukan produk yang dijual. Namun kenyataannya, sekolah kerap berubah fungsi menjadi "pasar pendidikan". 

Seragam dijual oleh vendor eksklusif sekolah, buku wajib melalui koperasi, ekskul menjadi ladang pemasukan, dan pungutan dibungkus dengan istilah sumbangan.

Regulasi sudah jelas. Permendikbud No. 75 Tahun 2016 melarang komite sekolah memungut dana yang bersifat memaksa atau dijadikan syarat layanan. 

Sayangnya, banyak sekolah masih menyalahgunakan celah ini. Pungutan dilakukan atas nama “kesepakatan”, padahal tanpa musyawarah yang inklusif dan transparan.

Negara Harus Hadir

Pemerintah Kota Kupang dan Dinas Pendidikan perlu bertindak. Selama ini, respons terhadap kasus pungutan baru muncul setelah viral di media sosial atau dilaporkan ke Ombudsman. Ini mencerminkan lemahnya pengawasan.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved