Opini
Opini: Manusia Terkoneksi tetapi Terasing
Ketika teknologi menjanjikan kemudahan dan kedekatan, justru muncul gelombang baru keterasingan.
Oleh: Goldy Ogur
Alumnus Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Flores, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Manusia zaman ini bisa berbicara lintas benua dalam hitungan detik, namun sulit menyapa tetangga sendiri. Kita terhubung sepanjang waktu di dunia digital, tetapi sering merasa kesepian.
Kita tahu banyak hal, tetapi sering kehilangan arah. Inilah paradoks besar manusia modern: semakin terkoneksi, semakin merasa terasing.
Ketika teknologi menjanjikan kemudahan dan kedekatan, justru muncul gelombang baru keterasingan.
Muncul kecemasan sosial, kehilangan makna, dan keterputusan dari dunia nyata. Dalam sinyal yang terus menyala, ada ruang batin yang perlahan meredup.
Yuval Noah Harari dalam Homo Deus dan Homo Sapiens menyajikan narasi tentang bagaimana manusia berevolusi dari makhluk yang mencari makan menjadi makhluk yang mengejar kekekalan dan kebahagiaan lewat teknologi.
Namun pertanyaannya: apakah kemajuan itu membuat kita lebih manusiawi, atau justru menjauhkan kita dari kemanusiaan?
Titik ini menjadi penting untuk direnungkan, apalagi ketika manusia mulai menggantungkan eksistensinya pada kehadiran digital.
Seperti kritik dalam buku Aku Klik Maka Aku Ada karya Budi A. Hardiman, identitas manusia hari ini lebih lekat pada status online daripada pada keberadaan sejatinya (Hardiman, 2010:56).
Dari Eksistensi menuju Esensi
Fenomena ini menunjukkan bahwa manusia modern tak lagi menjalani hidup sebagai peziarah makna, melainkan sebagai penumpang dalam sistem yang terus bergerak cepat tanpa arah.
Jean-Paul Sartre menyebut bahwa “eksistensi mendahului esensi”, artinya, manusia harus menciptakan sendiri makna hidupnya.
Tetapi bagaimana bisa menciptakan makna jika waktu untuk menyendiri dan merenung pun tergerus oleh jadwal rapat daring, scrolling media sosial, dan distraksi tanpa henti?
Jika manusia modern terus kehilangan ruang untuk diam dan merenung, maka hidup akan bergulir tanpa arah, seperti mesin yang bekerja tanpa makna.
Kehilangan esensi berarti kehilangan arah, dan pada akhirnya, kehilangan kemanusiaan itu sendiri.
Kita harus berani mengambil jeda untuk menolak kehidupan yang semata-mata produktif tapi hampa, agar kita tidak tersesat dalam keberadaan yang tak dimengerti.
Manusia modern kehilangan ruang kontemplatif, padahal dari sanalah kesadaran spiritual dan moral bisa tumbuh.
Kita butuh kembali kepada soi-même- diri yang sejati. Seperti dikatakan oleh Simone Weil, akar dari keterasingan adalah lupa terhadap jiwa, terhadap keheningan yang menjadi rumah makna.
Mungkin saat ini kita tak perlu lebih banyak informasi, tetapi lebih banyak diam; tidak lebih banyak koneksi, tetapi penghayatan. Dalam diam, manusia menemukan esensinya, bukan hanya eksistensinya.
Menjadi Data, Bukan Diri
Di era digital, manusia bukan lagi subjek aktif, tetapi objek dari sistem digital yang terus mencatat perilakunya. Kita bukan lagi pemilik data, tetapi produk dari data itu sendiri.
Dalam masyarakat yang digerakkan oleh algoritma, keputusan kita sering kali tidak lahir dari kehendak bebas, melainkan dorongan yang ditanamkan oleh iklan, rekomendasi, dan notifikasi yang dikurasi oleh kecerdasan buatan.
Ketika manusia direduksi menjadi kumpulan data dan perilaku digital, maka kita sedang menghadapi erosi nilai yang paling mendasar. Kita tak lagi dilihat sebagai pribadi, melainkan sebagai objek yang ditargetkan.
Refleksi ini menuntut kesadaran baru bahwa kebebasan digital harus disertai dengan literasi etis, agar manusia tetap menjadi tuan atas teknologinya, bukan budaknya.
Kita mungkin merasa bebas, padahal kebebasan itu telah dikondisikan. Seperti yang ditulis Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism, manusia perlahan kehilangan subjektivitasnya karena dikepung oleh “arsitektur pilihan” yang tak kita sadari.
Di sini, muncul pertanyaan etis: siapa yang memiliki diri kita? Apakah kita masih memiliki ruang untuk mengatakan “tidak”, atau kita hanya berjalan mengikuti alur yang sudah digariskan oleh mesin?
Kebebasan sejati bukan sekadar memilih dari opsi yang disediakan, tetapi kemampuan untuk menciptakan pilihan sendiri, berdasarkan kesadaran akan nilai, bukan dorongan impuls.
Teknologi Menghubungkan, Tetapi Tak Menyentuh
Kita bisa bertukar pesan dalam hitungan detik, tetapi kehilangan kemampuan untuk saling memandang dengan tulus.
Teknologi mempercepat komunikasi, namun sering memiskinkan makna. Kita berbicara, tetapi tak mendengar. Kita hadir di ruang digital, tetapi absen secara emosional.
Ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi persoalan antropologis: manusia kehilangan seni untuk menyentuh jiwa sesamanya.
Jika kita tak lagi menyentuh jiwa sesama, maka konektivitas kehilangan maknanya.
Dunia digital bisa saja memperluas jangkauan, tetapi jika relasi antar manusia hanya bersifat dangkal, maka kita sedang membangun menara babel baru yang tinggi namun kosong.
Kita perlu membangkitkan kembali keberanian untuk hadir secara utuh bagi orang lain, agar teknologi kembali menjadi alat, bukan penghalang relasi.
Dalam filsafat dialogis Martin Buber, relasi manusia dibedakan menjadi dua: “Aku-Kamu” dan “Aku-Itu”. Dalam relasi “Aku-Kamu”, kita hadir sepenuhnya, mengakui keunikan orang lain sebagai pribadi.
Tetapi dalam dunia digital, relasi kita cenderung menjadi “Aku-Itu”, di mana orang lain dilihat sebagai objek, konten, atau statistik.
Kita melihat, tetapi tidak merasakan. Kita terhubung, tetapi tidak terlibat.
Maka, tantangan besar zaman ini bukan menciptakan lebih banyak koneksi, tetapi lebih banyak perjumpaan yang menyentuh.
Menuju Konektivitas yang Memanusiakan
Kita tidak bisa lagi mengandalkan teknologi untuk menyelesaikan persoalan manusia jika nilai-nilai kemanusiaan tidak menjadi fondasinya.
Pendidikan digital harus dimaknai ulang, bukan hanya sebagai alat akses, tetapi sebagai ruang untuk menghidupkan nalar kritis, empati dan dialog.
Komunitas perlu menjadi tempat di mana teknologi mendukung hubungan, bukan menggantikannya.
Manusia bukan makhluk yang cukup hanya dengan efisiensi, tetapi makhluk yang mendambakan makna. Seperti ditulis Viktor Frankl, pencarian akan makna adalah motivasi terdalam manusia.
Jika konektivitas tidak membawa kita lebih dekat dengan yang sejati, maka itu hanyalah gangguan yang didandani sebagai kemajuan.
Konektivitas sejati baru terjadi saat kita bisa hadir dengan seluruh diri, mengakui kehadiran orang lain, dan menjalin relasi yang melampaui layar.
Di tengah derasnya arus teknologi dan koneksi digital, kita sedang menghadapi pertaruhan eksistensial: menjadi manusia yang sepenuhnya hidup, atau sekadar eksis sebagai akun, data, dan jejak digital.
Manusia modern harus belajar menyaring mana koneksi yang menghidupkan dan mana yang menyesatkan.
Kita perlu ruang batin untuk kembali merumuskan makna menjadi manusia bukan sekadar yang terkoneksi, tetapi yang mampu mencintai, merasakan, dan hadir dalam dunia nyata.
Karena pada akhirnya, hidup yang bermakna tidak diukur dari seberapa banyak notifikasi yang kita terima, tetetapi dari seberapa dalam kita hadir untuk sesama. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.