Opini

Opini: Kritik Reflektif Terhadap Budaya Gosip di Kalangan Imam Terhadap Uskup dan Sesama Klerus

Sering kali, akar dari gosip bukanlah kebencian murni, melainkan kekecewaan pribadi, ambisi yang kandas, atau pencapaian yang gagal diraih.

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Febrian Mulyadi Angsemin 

“Imam harus senantiasa membentuk dirinya dalam kesunyian, dalam keterbukaan kepada koreksi, dan dalam relasi yang sehat dengan saudara-saudaranya, agar ia tidak menjadikan karier imamat sebagai arena kekuasaan atau balas dendam” (Pidato kepada Kongregasi Klerus, 2010).

Lebih dari itu, dibutuhkan pertobatan hati atau metanoia yang mengajak setiap imam untuk menyadari betapa berharganya kata-kata mereka di hadapan Tuhan dan betapa mudahnya lidah menyalakan api perpecahan. Amsal mengingatkan:

“Lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati” (Amsal 15:4).

Imam, sebagai pewarta Injil, tidak seharusnya menjadi pembawa luka baru. Lidah imam adalah saluran sabda Allah, bukan alat menyebar racun.

Penutup: Lidah Imam, Cermin dari Jiwa Gereja

Di zaman yang sarat dengan kata-kata, imam dipanggil bukan untuk memperbanyak suara, tetapi untuk memurnikan makna. 

Dalam dunia yang penuh gosip, seorang imam sejati adalah dia yang memilih diam daripada menghancurkan, yang memilih mendoakan daripada menghakimi, dan yang memilih menyembuhkan luka daripada menelanjangi kelemahan.

Maka, kepada setiap imam yang pernah terluka dan merasa terpinggirkan, jalan terbaik bukanlah menggugat lewat kata-kata pedas, tetapi membiarkan Tuhan menyembuhkan luka itu dalam kesunyian adorasi dan persaudaraan yang otentik.

Sebab pada akhirnya, Gereja bukan dibangun oleh ambisi dan cerita, tetapi oleh kasih yang diam-diam bekerja dalam ketaatan dan kesetiaan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved