Opini

Opini: Kritik Reflektif Terhadap Budaya Gosip di Kalangan Imam Terhadap Uskup dan Sesama Klerus

Sering kali, akar dari gosip bukanlah kebencian murni, melainkan kekecewaan pribadi, ambisi yang kandas, atau pencapaian yang gagal diraih.

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Febrian Mulyadi Angsemin 

Ketidakpuasan itu kemudian mewujud dalam kritik terselubung, dibalut cerita-cerita negatif yang dilontarkan secara informal di meja makan, dalam kelompok kecil, atau bahkan dalam homili yang menyimpang dari semangat Injil.

Fenomena ini merupakan pengingkaran terhadap relasi sakramental antara Uskup dan imam, di mana ketaatan dan kesatuan bukan sekadar urusan tata kelola, tetapi realitas teologis yang mengalir dari struktur Gereja sendiri. 

Lumen Gentium mengajarkan: “Imam, sebagai rekan kerja para Uskup, terhubung dengan mereka dalam persatuan dan partisipasi dalam misi pastoral. Mereka dipanggil untuk melayani umat Allah dalam satu kesatuan tubuh rohani, di bawah pimpinan gembala yang sah” (Lumen Gentium, No. 28).

Ketika imam melanggar kesatuan ini dengan gosip, yang rusak bukan hanya relasi pribadi, tetapi struktur kesatuan Gereja sebagai misteri komunio.

Paus Fransiskus dengan tegas mengatakan bahwa: “Gosip di antara para klerus adalah penyakit. Ia bukan hanya menyakiti orang yang digosipkan, tetapi juga menggerogoti jiwa imam itu sendiri dan menciptakan tembok antara dirinya dan komunitas.” (Homili, Casa Santa Marta, 12 September 2016).

Gosip sebagai Dosa Struktural dalam Tubuh Gereja

Gosip di kalangan imam, terutama jika menjadi kebiasaan bersama, harus dilihat bukan lagi sebagai dosa pribadi semata, tetapi sebagai dosa struktural. 

Ia menciptakan atmosfer ketidakpercayaan, budaya saling curiga, dan memutus ikatan persaudaraan yang menjadi fondasi pelayanan imamat.

Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium mengingatkan bahaya dari sikap saling menggigit dan menjatuhkan di dalam komunitas Gereja:

“Kadang-kadang, bahkan di antara mereka yang berkarya dalam pelayanan Gereja, muncul bentuk kecemburuan, ambisi, dan keinginan berkuasa yang menghancurkan persekutuan. Mereka lupa bahwa yang membangun Gereja bukanlah kemampuan, tetapi kasih persaudaraan dan kerendahan hati” (Evangelii Gaudium, No. 100).

Sikap saling mencurigai, menghina, dan menyindir secara halus sesama klerus hanya akan menimbulkan fragmentasi dalam tubuh Gereja, yang semestinya menjadi rumah persekutuan.

Menuju Pemulihan: Formasi Relasional dan Pertobatan Sejati

Mengatasi budaya gosip di kalangan klerus bukanlah perkara mudah, tetapi bukan pula mustahil. 

Gereja perlu kembali menekankan pentingnya formasi berkelanjutan, yang bukan hanya menyangkut liturgi dan teologi, tetapi juga menyentuh kedewasaan emosional, keterampilan komunikasi, dan pengolahan luka batin.

Di sinilah formatio permanent para imam menjadi sangat penting. Paus Benediktus XVI menyebut bahwa:

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved