Opini

Opini: Kritik Reflektif Terhadap Budaya Gosip di Kalangan Imam Terhadap Uskup dan Sesama Klerus

Sering kali, akar dari gosip bukanlah kebencian murni, melainkan kekecewaan pribadi, ambisi yang kandas, atau pencapaian yang gagal diraih.

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Febrian Mulyadi Angsemin 

Oleh: Febrian Mulyadi Angsemin
Mahasiswa Pascasarjana IFTK Ledalero-Maumere,tinggal  di Seminari Tinggi Ritapiret Flores, Nusa Tenggara Timur. 

POS-KUPANG.COM  - Di balik tirai pelayanan Gereja yang tampak mulia, tersembunyi dinamika-dinamika internal yang tak selalu seindah liturgi atau merdu seperti madah pujian. 

Salah satu luka yang perlahan tetapi pasti menggerogoti keutuhan tubuh Kristus adalah kebiasaan bergosip dan ironisnya, luka ini justru sering ditorehkan oleh mereka yang telah ditahbiskan untuk menyembuhkan luka dunia: para imam.

Dalam banyak komunitas, fenomena imam yang gemar membicarakan kelemahan, keputusan, atau pribadi Uskup dan sesama klerusnya secara negatif menjadi realitas yang menyakitkan. 

Gosip dalam konteks ini bukan lagi sekadar dosa kecil yang terucap dalam kelalaian, melainkan sudah menjelma menjadi pola komunikasi yang sistematis, terkadang bahkan dibungkus dengan kepiawaian retoris dan topeng keprihatinan rohani.

Gosip sebagai Simptom Luka Batin dan Ego yang Terluka

Sering kali, akar dari gosip bukanlah kebencian murni, melainkan kekecewaan pribadi, ambisi yang kandas, atau pencapaian yang gagal diraih. 

Imam yang merasa dirinya tersingkir dari jalur promosi atau tidak diberi tanggung jawab sebagaimana yang diharapkan, mudah tergoda untuk menyuarakan ketidakpuasan dalam bentuk cerita-cerita negatif tentang rekan sepelayanan atau bahkan tentang Uskupnya sendiri.

Dalam dokumen magisterial Pastores Dabo Vobis, Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa imam harus memiliki kematangan manusiawi dan emosional, yang memungkinkan mereka untuk membangun relasi yang sehat, penuh kasih, dan bebas dari luka tersembunyi yang belum terolah:

“Imam dituntut untuk mencapai kematangan manusiawi, yang mencakup keseimbangan afektif, kapasitas untuk membina hubungan antarpribadi yang tulus dan hormat, serta penguasaan terhadap ketegangan batin dan dorongan-dorongan agresif” (Pastores Dabo Vobis, No. 43).

Namun, ketika formasi ini lemah atau tidak berkelanjutan, maka luka-luka itu menjadi akar dari gosip

Gosip menjadi bentuk sublimasi: suara dari ego yang tidak didengar, sorakan dari ambisi yang tertolak.

Uskup sebagai Sasaran Kritik Terselubung

Tidak jarang, Uskup menjadi sasaran utama dalam budaya gosip di kalangan imam. 

Banyak imam merasa bahwa keputusan-keputusan pastoral, rotasi tugas, atau pengangkatan jabatan dilakukan secara tidak adil atau tidak mempertimbangkan perasaan dan kompetensi pribadi mereka. 

Ketidakpuasan itu kemudian mewujud dalam kritik terselubung, dibalut cerita-cerita negatif yang dilontarkan secara informal di meja makan, dalam kelompok kecil, atau bahkan dalam homili yang menyimpang dari semangat Injil.

Fenomena ini merupakan pengingkaran terhadap relasi sakramental antara Uskup dan imam, di mana ketaatan dan kesatuan bukan sekadar urusan tata kelola, tetapi realitas teologis yang mengalir dari struktur Gereja sendiri. 

Lumen Gentium mengajarkan: “Imam, sebagai rekan kerja para Uskup, terhubung dengan mereka dalam persatuan dan partisipasi dalam misi pastoral. Mereka dipanggil untuk melayani umat Allah dalam satu kesatuan tubuh rohani, di bawah pimpinan gembala yang sah” (Lumen Gentium, No. 28).

Ketika imam melanggar kesatuan ini dengan gosip, yang rusak bukan hanya relasi pribadi, tetapi struktur kesatuan Gereja sebagai misteri komunio.

Paus Fransiskus dengan tegas mengatakan bahwa: “Gosip di antara para klerus adalah penyakit. Ia bukan hanya menyakiti orang yang digosipkan, tetapi juga menggerogoti jiwa imam itu sendiri dan menciptakan tembok antara dirinya dan komunitas.” (Homili, Casa Santa Marta, 12 September 2016).

Gosip sebagai Dosa Struktural dalam Tubuh Gereja

Gosip di kalangan imam, terutama jika menjadi kebiasaan bersama, harus dilihat bukan lagi sebagai dosa pribadi semata, tetapi sebagai dosa struktural. 

Ia menciptakan atmosfer ketidakpercayaan, budaya saling curiga, dan memutus ikatan persaudaraan yang menjadi fondasi pelayanan imamat.

Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium mengingatkan bahaya dari sikap saling menggigit dan menjatuhkan di dalam komunitas Gereja:

“Kadang-kadang, bahkan di antara mereka yang berkarya dalam pelayanan Gereja, muncul bentuk kecemburuan, ambisi, dan keinginan berkuasa yang menghancurkan persekutuan. Mereka lupa bahwa yang membangun Gereja bukanlah kemampuan, tetapi kasih persaudaraan dan kerendahan hati” (Evangelii Gaudium, No. 100).

Sikap saling mencurigai, menghina, dan menyindir secara halus sesama klerus hanya akan menimbulkan fragmentasi dalam tubuh Gereja, yang semestinya menjadi rumah persekutuan.

Menuju Pemulihan: Formasi Relasional dan Pertobatan Sejati

Mengatasi budaya gosip di kalangan klerus bukanlah perkara mudah, tetapi bukan pula mustahil. 

Gereja perlu kembali menekankan pentingnya formasi berkelanjutan, yang bukan hanya menyangkut liturgi dan teologi, tetapi juga menyentuh kedewasaan emosional, keterampilan komunikasi, dan pengolahan luka batin.

Di sinilah formatio permanent para imam menjadi sangat penting. Paus Benediktus XVI menyebut bahwa:

“Imam harus senantiasa membentuk dirinya dalam kesunyian, dalam keterbukaan kepada koreksi, dan dalam relasi yang sehat dengan saudara-saudaranya, agar ia tidak menjadikan karier imamat sebagai arena kekuasaan atau balas dendam” (Pidato kepada Kongregasi Klerus, 2010).

Lebih dari itu, dibutuhkan pertobatan hati atau metanoia yang mengajak setiap imam untuk menyadari betapa berharganya kata-kata mereka di hadapan Tuhan dan betapa mudahnya lidah menyalakan api perpecahan. Amsal mengingatkan:

“Lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati” (Amsal 15:4).

Imam, sebagai pewarta Injil, tidak seharusnya menjadi pembawa luka baru. Lidah imam adalah saluran sabda Allah, bukan alat menyebar racun.

Penutup: Lidah Imam, Cermin dari Jiwa Gereja

Di zaman yang sarat dengan kata-kata, imam dipanggil bukan untuk memperbanyak suara, tetapi untuk memurnikan makna. 

Dalam dunia yang penuh gosip, seorang imam sejati adalah dia yang memilih diam daripada menghancurkan, yang memilih mendoakan daripada menghakimi, dan yang memilih menyembuhkan luka daripada menelanjangi kelemahan.

Maka, kepada setiap imam yang pernah terluka dan merasa terpinggirkan, jalan terbaik bukanlah menggugat lewat kata-kata pedas, tetapi membiarkan Tuhan menyembuhkan luka itu dalam kesunyian adorasi dan persaudaraan yang otentik.

Sebab pada akhirnya, Gereja bukan dibangun oleh ambisi dan cerita, tetapi oleh kasih yang diam-diam bekerja dalam ketaatan dan kesetiaan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved