Opini
Opini: Pantang Mengajar Sebelum Belajar
Guru sejati mengalokasikan waktunya setiap hari untuk memperbaharui diri dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang adaptif.
Oleh: Adrianus Ngongo
Guru SMK Negeri 2 Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Tulisan ini lahir dari ungkapan yang disampaikan oleh Staf Khusus Mentri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Didik Suhardi dalam Kegiatan Bimbingan Teknis Training of Trainers Fasilitator Pembelajaran Mendalam yang berlangsung di Hotel Novotel Jakarta, 16-22 Juni 2025.
Dalam acara pembukaan, Suhardi menyentil guru dengan ungkapan, “pantang mengajar sebelum belajar.”
Sebuah ungkapan yang mengiris dan menyayat hati saya sebagai guru yang kadang lalai dan alpa belajar sebelum mengajar.
Kondisi pendidikan Indonesia hari ini membuat ungkapan di atas relevan didengungkan. Kualitas pendidikan kita masih jauh tertinggal ditinjau dari beberapa aspek.
Hasil PISA (2022) menunjukkan bahwa kemampuan siswa kelas 1-3 SD di Indonesia masih sangat rendah dimana 99 persen siswa hanya mampu menjawab pertanyaan pada level lower order thinking skills (LOTS). Dan hanya 1 persen siswa yang mampu menjawab soal pada level higher order thinking skills (HOTS).
Lebih detil lagi terungkap bahwa 74,5 persen memiliki kemampuan membaca level 1; 19,3 level 2; 5,4 persen level 3 dan 0,8 persen level 4. Situasi serupa juga terjadi pada kemampuan matematika 81,7 persen level 1; 14,1 persen level 2; 3,8 persen level 3 dan 0,4 persen level 4.
Untuk kemampuan sains siswa Indonesia juga serupa 65,8 persen level 1; 26,3 persen level 2; 7,0 persen level 3 dan 0,9 persen level 4. Semakin tinggi levelnya makin tinggi level berpikir yang disyaratkan.
Faktor Guru
Guru memiliki peran sentral dalam menentukan kualitas pendidikan. Napisah dan Rasmitadila (2023) dalam penelitiannya membuktikan bahwa kualitas guru sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
Abidin (2024) juga menemukan hasil yang serupa dalam penelitiannya dimana kinerja guru sangat berpengaruh pada efektivitas pengajaran dan pembelajaran yang berdampak pada mutu peserta didik.
Namun, ketika seorang guru berhenti belajar—baik dalam hal memperbarui pengetahuan, meningkatkan keterampilan, maupun memahami perkembangan peserta didik—maka hal tersebut secara langsung berdampak pada rendahnya mutu pendidikan.
Di Indonesia, fenomena guru yang stagnan dalam pengembangan diri masih banyak ditemui, terutama di wilayah terpencil atau kurang akses informasi.
Guru yang berhenti belajar cenderung mengandalkan metode mengajar lama yang tidak lagi relevan dengan tantangan zaman.
Akibatnya, proses pembelajaran menjadi monoton, tidak kontekstual, dan tidak mampu memfasilitasi keterampilan abad 21 seperti berpikir kritis, kolaborasi, literasi digital, dan kreativitas.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.